Dalam kajian ilmu hubungan
internasional, kata kerjasama seringkali digunakan untuk sebuah interaksi
antara dua negara atau lebih guna mencapai sesuatu dengan mengusahakannya
secara bersama-sama. Kerjasama antar negara akan terjadi apabila kerjasama itu
menghasilkan keuntungan bagi negara yang terlibat. Setiap negara memiliki
kepentingan nasional masing-masing yang perlu diperjuangkan demi melanjutkan
kehidupannya. Akan tetapi, tidak semua kepentingan nasional negara dapat
terpenuhi dengan maksimal apabila negara bertindak individu. Oleh karena itu,
kerjasama internasional menawarkan sesuatu yang lebih menguntungkan bagi
negara.
Pemikir seperti Grotius,
Pufendorf, Hobbes dan Smith berpendapat bahwa seseorang atau negara membutuhkan
pihak lain untuk mendapatkan kepentingan atau tujuannya, maka oleh karena itu,
negara terpaksa harus bergabung dan membentuk sebuah komunitas internasional
atau organisasi internasional (Lebow, 2007:309).
Kalangan Liberalis
menayatakan bahwa kerjasama merupakan salah satu aspek terpenting yang harus
dilakukan oleh negara dalam pemenuhan kepentingan nasional. Dengan terbentuknya
kerjasama, maka akan tercipta kedamaian di dunia (Jackson dan Sorensen,
2013:42). Sedangkan bagi kaum Realis, mereka mengakui bahwa kerjasama merupakan
interaksi yang mungkin akan dilakukan oleh sebuah negara. Akan tetapi, negara
tetap harus memaksimalkan keuntungan dalam sebuah kerjasama dengan negara lain.
Negara tetap harus berkompetisi dalam sebuah kerjasama tersebut (Jackson dan
Sorensen, 2013:49).
Kerjasama internasional
merupakan pilihan lain yang dimanfaatkan oleh negara untuk menyelesaikan atau
mencapai kepentingan nasional yang tidak bisa dicapai apabila dilakukan oleh
satu negara. Kerjasama internasional dapat memecahkan berbagai masalah seperti
masalah ekonomi, politik, sosial, kemiskinan, kesehatan, pendidikan, pengungsi
dan lain-lain. Dalam dunia internasional, dikenal adanya Organisasi Internasional
dan Rezim Internasional seperti PBB, UNHCR, UNICEF, IOM, APEC, OPEC, G20 dan
lain-lain.
Organisasi
Internasional merupakan kelanjutan komitmen kerjasama internasional yang
dibentuk oleh negara. Negara membentuk sebuah kerjasama internasional yang
kemudian diformalkan menjadi sebuah Organisasi Internasional. Saat ini,
Organisasi Internasional dapat dikategorikan sebagai aktor non negara yang
memiliki pengaruh dan peran penting dalam memecahkan permasalah di dunia ini.
Keohane (1989) dalam
bukunya yang berjudul “International
Intistutions and State Power” menjelaskan bahwa kerjasama internasional
yang dibangun oleh negara akan membentuk sebuah institusi. Institusi merupakan
aktor non negara yang memiliki peran sebagai wadah bagi negara-negara untuk
bekerjasama.
Kerjasama dibagi
menjadi dua yaitu kerjasama bilateral dan kerjasama multilateral. Kerjasama
bilateral merupakan kerjasama antara dua negara dalam berbagai bidang seperti
sosial, politik, budaya, ekonomi, militer dan lain-lain. Sedangkan kerjasama
multilateral merupakan kerjasama yang dibangun oleh lebih dari dua negara,
biasanya kerjasama multilateral ini akan dilanjutkan dengan pembentukan sebuah
institusi.
Setelah
menjelaskan secara singkat mengenai definisi singkat kerjasama, maka
dilanjutkan pada pertanyaan dalam paper ini yang harus dijawab yaitu kondisi
atau faktor yang mempengaruhi kerjasama yang meliputi tiga komponen
diantaranya, mutuality of interest,
shadow of the future, dan numbers of
player. Fokusnya, bagaimana ketiga komponen tersebut mempengaruhi
kerjasama.
Setelah
menelisik lebih dalam mengenai ketiga komponen tersebut, rupanya itu merupakan
gagasan Robert Axelrod dan Robert Keohane dalam tulisannya yang berjudul Achieving Cooperation Under Anarchy:
Strategies and Institutions. Hal menarik yang perlu digarisbawahi adalah
kondisi anarki, ketika tidak ada kedaulatan atau kekuasaan di atas negara.
Setiap negara berhak untuk memutuskan dan menentukan nasib sendiri, tidak dapat
diintervensi oleh negara lain. Walaupun pada praktiknya, hingga saat ini masih
banyak negara berkembang di Asia dan negara terbelakang di Afrika yang masih
disetir oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, China dan lain-lain.
Axelrod
dan Keohan berpendapat bahwa mencapai kata sepakat dan membentuk kerjasama
dalam dunia internasional sangatlah sulit dan kompleks. Setiap negara memiliki
kepentingan masing-masing yang patut diperjuangkan bahkan akan berbenturan
dengan kepentingan negara lain. Malahan, akibat dari perbenturan kepentingan
akan menciptakan konflik antar negara bahkan peperangan. Namun, pada abad 21
seperti sekarang ini, perang terbuka semakin dihindari oleh tiap negara, negara
sekaliber Amerika Serikat pun mulai menyadari bahwa peperangan yang mereka lakukan
di kawasan Timur Tengah hanya berdampak buruk pada keseimbangan ekonomi
domestiknya.
Pada
dasarnya tidak ada kepentingan bersama pada setiap negara. walaupun sistem
politik, ekonomi dan sosial memiliki kesamaan, negara berbeda pasti memiliki
kepentingan yang berbeda pula. Namun, tidak berarti kerjasama tidak bisa
dicapai. Yang perlu diperhatikan adalah komponen pertama yaitu mutuality of interest. Hal yang perlu
dipahami oleh setiap negara adalah tidak adanya common interest, namun, perlu dipahami mengenai persepsi
kepentingan itu sendiri bukan pada substansi yang menjadi kepentingan. Semisal
yang bisa digambarkan pada Game Theory
Prisoner Dilemma. Dalam keadaan terdesak, dua orang yang tertangkap
diinterogasi secara berbeda tempat dan waktu. Dari dua keterangan tersebut,
siapa yang berani bersikap kooperatif maka dia akan selamat. Apabila satu orang
dari tahanan tersebut berbohong, dan temannya jujur, maka dua orang tersebut
akan ditahan. Maka, jalan terbaik adalah, kedua tahanan tersebut harus bersikap
kooperatif.
Contoh
kasus lain adalah pada kasus Misil Kuba. Amerika Serikat dan Uni Soviet
dihadapkan pada pilihan perang nuklir terbuka atau sama-sama menurukan tensi
dan menarik mundur pasukannya. Dalam kasus itu terlihat bahwa Uni Soviet
memilih untuk bersikap kooperatif dan menarik misilnya dari Kuba. Sedangkan
Amerika sebelumnya memilih melakukan blockade daripada melakukan serangan penuh
ke Kuba. Itu menunjukan bahwa kepentingan dua negara tersebut sangatlah
berbeda, akan tetapi terdapat mutuality
of interest yang menyatukan mereka, yaitu menghindari perang terbuka yang
menyebabkan kehancuran dua negara tersebut.
Komponen
selanjutnya adalah shadow of the future.
Penjelasan mudah dari komponen ini ialah dengan adanya prospek yang baik
mengenai masa depan, maka kerjasama akan lebih mudah dicapai. Maksudnya, dengan
adanya kerjasama, makan negara-negara yang terlibat dalam kerjasama tersebut
perlu memandang ke depan mengenai kepentingan masing-masing yang akan mudah
dicapai apabila saling bekerjasama. Salah satu bukti nyata seperti Uni Eropa
saat ini, kita tahu bahwa Jerman pada masa Hitler merupakan musuh bersama
negara-negara Eropa pada saat itu. Namun, saat ini, dengan melupakan sejarah
kelam perang dunia kedua, Jerman bersama negara Eropa lainnya bekerjasama dalam
memajukan Uni Eropa.
Terdapat
tiga faktor mengapa shadow of the future dapat
efektif dalam membangun kerjasama yaitu:
·
Long
time horizon
·
Regularity
of stakes
·
Reliability
of information about the others actions
·
Quick
feedback about changes in the others actions
Menurut Axelrod dan
Keohane, dimensi shadow of the future berguna
untuk membedakan antara isu militer dan isu politik ekonomi. Hal ini untuk
menunjukan bahwa terdapat fenomena menarik mengapa kerjasama yang menyangkut
isu politik ekonomi lebih mudah dicapai daripada isu keamanan internasional.
Komponen selanjutnya
yaitu numbers of players. Dalam
membentuk sebuah kerjasama, selain memperhatikan aspek kepentingan dan struktur
kerjasama yang akan dibangun, negara juga perlu mempertimbangkan jumlah pemain
yang tergabung dalam permainan kerjasama dan bagaimana mereka membangun
hubungan yang terstruktur. Dalam sebuah kerjasama yang berbentuk seperti
institusi atau organisasi internasional, terdapat berbagai macam sifat negara
yang dapat mengganggu sistem dalam institusi tersebut.
Menurut Axelrod, untuk
menstimulasi kerjasama yang melibatkan aktor negara yang memiliki kepentingan
nasional masing-masing, terdapat tiga kondisi yang menjadi pertimbangan yaitu (1)players can identify the defectors,( 2)they
are able to focus retaliation on defectors dan (3)they have sufficient longrun incentives to punish defectors.
Pertama, para aktor yang terlibat dalam kerjasama perlu mengidentifikasi negara
mana yang memiliki peluang sebagai pembelot dalam struktur kerjasama. Kedua,
anggota kerjasama juga perlu fokus terhadap pembalasan dendam yang dilakukan
oleh negara pembelot dalam struktur kerjasama. Terakhir, negara anggota
kerjasama perlu memberikan hukuman terhadap negara pembelot kerjasama.
Masalah muncul ketika
negara anggota kerjasama tidak mampu memberikan sanksi tegas terhadap negara
pembelot dalam struktur kerjasama. Contoh kasus yang digambarkan oleh Axelrod
dan Keohane adalah pemboman yang menimpa kedutaan besar Amerika Serikat di
Lebanon pada tahun 1983. Amerika menuduh kelompok terroris Syria bertanggung
jawab langsung terhadap aksi pemboman ini. Akan tetapi mereka menolak tuduhan
tersebut, namun tuduhan dan kebencian terhadap Syiria sudah terlanjur
berkembang. Sedangkan pihak teroris yang melakukan pemboman tersebut tidak
tersentuh sama sekali dikarenakan negara tidak mampu mengidentifikasi siapa
pelaku sebenarnya.
Reciprocity
Sebagai Strategi
Dalam Kerjasama
Setelah
sebelumnya dijelaskan mengenai komponen dalam pembentukan kerjasama yaitu mutuality of interests, shadow of the future
dan numbers of actors, maka
selanjutnya akan dijelaskan mengenai strategi apa yang perlu dilakukan lebih
lanjut oleh negara dalam membangun sebuah sistem struktur kerjasama yang saling
menguntungkan dan berpotensi memenuhi kepentingan nasional.
Robert
Axelrod menjelaskan mengenai sebuah strategi yang relevan diaplikasikan dalam
bangunan kerjasama antar negara yaitu reciprocity
as strategy in multilevel games. Dalam tulisannya bersama Keohane, Axelrod
menyatakan bahwa startegi reciprocity mampu
mempromosikan kerjasama antar negara, walaupun negara sebagai aktor rasional
memiliki sifat egoistic.
Reciprocity apabila
diartikan ke dalam Bahasa Indonesia berarti timbal-balik, pembalasan dan
pertukaran (hak). Apabila dijelaskan dalam konteks pembahasan ini, reciprocity dapat diartikan sebagai
strategi timbal balik. Contoh mudahnya, apabila negara saling bekerjasama
dengan baik, maka dia akan mendapatkan insentif dari sifat kooperatifnya, namun
apabila negara tersebut melanggar kententuan dalam kerjasama, maka dia akan
mendapatkan penalty.
Strategi
ini merupakan problem solver yang dihadapi oleh struktur kerjasama yang
berkaitan dengan number of actors yang
terlibat. Dijelaskan pada bagian pertama bahwa seringkali sebuah institusi
kerjasama mengalami kesulitan dalam memberikan sanksi bagi negara yang
melanggar ketentuan. Hal ini berdasarkan fakta bahwa sistem internasional
bersifat anarchy, tidak adanya
kedaulatan di atas negara dan negara berhak melakukan apa saja berdasarkan
kepentingan nasionalnya. Walaupun pada dasarnya, dalam sistem internasional
yang terstruktur terdapat norma, kebiasaan, hukum dan rezim internasional yang
secara eksplisit mengikat setiap gerak-gerik negara dalam dunia internasional.
Kunci
keberhasilan dalam struktur kerjasama ialah adanya mutual of interest yang akan memuncul kan mutual cooperation antara negara. Walaupun benih-benih pelanggaran
yang akan dilakukan oleh beberapa negara tetap berpotensi muncul. Namun,
seringkali sanksi bagi negara yang melanggar ketentuan tidak bisa ditegakkan
apabila berhadapan dengan negara besar seperti Amerika Serikat. Pada tahun
2003, ketika Amerika Serikat secara unilateral melakukan invasi langsung
terhadap Irak. Padahal Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak merestui penyerangan
tersebut. Secara hukum internasional, tindakan tersebut tentu saja melanggar
dan secara struktur kerjasama, Amerika Serikat dapat dikategorikan tidak kooperatif.
Kata
sepakat dalam kerjasama seringkali mengalami jalan buntu, kepentingan tiap
negara yang berbeda-beda, sifat aktor rasional yang egois dan lain-lain. Asas
timbal balik dapat dijadikan opsi bagi negara untuk mendapatkan kompensasi
dalam struktur kerjasama. Contoh nyata yang akan dihadapi oleh ASEAN, yaitu
ASEAN Community 2015. Sebuah sistem yang berlaku bagi seluruh anggota ASEAN
berupa terbuka dan bebasnya lalu lintas barang dan jasa, keuangan, manusia di
kawasan Asia Tenggara. Dalam asas timbal balik, Indonesia yang bebas melakukan
perdagangan dengan negara lain tanpa pemberlakuan pajak cukai. Hal itu juga
berlaku bagi segala barang dan jasa dari luar yang akan masuk ke Indonesia.
Sanksi akan diberikan kepada negara yang melanggar ketentuan bersama ini, dapat
berupa sanksi dikucilkan dari pergaulan internasional.
Dalam
pergaulan internasional, negara akan memilih bekerjasama dengan negara yang
memiliki sejarah kerjasama yang baik. Pada hakikatnya, dalam pembentukan
kerjasama harus saling menguntungkan satu sama lain. Tidak ada pihak yang
merasa dirugikan oleh pihak lain. Negara yang memiliki reputasi baik, maka akan
mudah membangun kerjasama dengan negara lain. Confident Building Measures (CBM) merupakan aspek yang penting
dalam pergaulan internasional saat ini. Tiap negara berlomba menciptakan kesan kooperatif dalam setiap kesempatan. Seperti
yang seringkali digaungkan oleh Indonesia, zero
enemies, thousand friends. Meskipun pada konteks pertahanan, semboyan
tersebut terkesan lemah dan terima apa adanya, namun tren masa kini, kerjasama
lebih masuk akal daripada berkonflik. Dunia sudah terlalu sibuk dengan masalah
ketahanan pangan, kesulitan air bersih, kelaparan, ebola, dan terorisme. Maka seharusnya, konflik antar negara sudah
tidak masuk akal lagi dilakukan atas nama kepentingan nasional. Seperti yang
dijelaskan pada bagian pertama, setiap negara perlu memahami arti mutuality of interest yaitu menjaga
perdamaian dunia.
Kesimpulan
Dari penjelasan bagian pertama dan kedua, dapat
disimpukan bahwa kerjasama merupakan tren pada pergaulan internasional saat
ini. Setiap negara berusaha mengembangkan pasar ekonominya dengan mempromosikan
kerjasama dengan negara lain. Kerjasama dapat dicapai apabila setiap negara
dapat menyatukan perbedaan kepentingan nasionalnya. Memang benar negara
bersifat egois bahkan licik demi kepentingan nasional, akan tetapi, negara
tetap akan memperhitungkan setiap keuntungan lebih yang didapat apabila
melakukan kerjasama dengan negara lain.
Asas timbal balik merupakan salah satu strategi
untuk mempromosikan kerjasama. Negara yang bersikap kooperatif dalam sebuah
institusi, maka akan mendapatkan insentif. Sedangkan negara yang bersifat
pembelot, melanggar kententuan, maka sewajarnya mendapatkan sanksi, atau
setidaknya dikucilkan dari pergaulan internasional.
Maka, kerjasama dalam situasi sistem internasional
yang anarki, dapat terjadi dan sangat mungkin terjadi. Karena pada dasarnya,
negara ingin survive dengan cari
apapun dan bagaimanapun. Kerjasama dan konflik akan selalu menghiasi perjalanan
sebuah negara, tegantung bagaimana negara tersebut menyikapi dan menghadapinya.
Lebow, Richard Ned. 2007. Coercion, Cooperation, and
Ethics in International Relation. New York:Routlegde
Jackson dan Sorensen. 2013. Introduction to
International Relation: Theories and Approaches. London: Oxford University
Press
Axelrod R, Keohane RO
1985. Achieving cooperation under anarchy: Strategies and institutions. World
Polit, 38(1): 226-254.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar