Selasa, 10 Februari 2015

Tiga Faktor yang Menentukan Terciptanya Sebuah Kerjasama antar Negara

Dalam kajian ilmu hubungan internasional, kata kerjasama seringkali digunakan untuk sebuah interaksi antara dua negara atau lebih guna mencapai sesuatu dengan mengusahakannya secara bersama-sama. Kerjasama antar negara akan terjadi apabila kerjasama itu menghasilkan keuntungan bagi negara yang terlibat. Setiap negara memiliki kepentingan nasional masing-masing yang perlu diperjuangkan demi melanjutkan kehidupannya. Akan tetapi, tidak semua kepentingan nasional negara dapat terpenuhi dengan maksimal apabila negara bertindak individu. Oleh karena itu, kerjasama internasional menawarkan sesuatu yang lebih menguntungkan bagi negara.
Pemikir seperti Grotius, Pufendorf, Hobbes dan Smith berpendapat bahwa seseorang atau negara membutuhkan pihak lain untuk mendapatkan kepentingan atau tujuannya, maka oleh karena itu, negara terpaksa harus bergabung dan membentuk sebuah komunitas internasional atau organisasi internasional (Lebow, 2007:309).
Kalangan Liberalis menayatakan bahwa kerjasama merupakan salah satu aspek terpenting yang harus dilakukan oleh negara dalam pemenuhan kepentingan nasional. Dengan terbentuknya kerjasama, maka akan tercipta kedamaian di dunia (Jackson dan Sorensen, 2013:42). Sedangkan bagi kaum Realis, mereka mengakui bahwa kerjasama merupakan interaksi yang mungkin akan dilakukan oleh sebuah negara. Akan tetapi, negara tetap harus memaksimalkan keuntungan dalam sebuah kerjasama dengan negara lain. Negara tetap harus berkompetisi dalam sebuah kerjasama tersebut (Jackson dan Sorensen, 2013:49).
Kerjasama internasional merupakan pilihan lain yang dimanfaatkan oleh negara untuk menyelesaikan atau mencapai kepentingan nasional yang tidak bisa dicapai apabila dilakukan oleh satu negara. Kerjasama internasional dapat memecahkan berbagai masalah seperti masalah ekonomi, politik, sosial, kemiskinan, kesehatan, pendidikan, pengungsi dan lain-lain. Dalam dunia internasional, dikenal adanya Organisasi Internasional dan Rezim Internasional seperti PBB, UNHCR, UNICEF, IOM, APEC, OPEC, G20 dan lain-lain.
Organisasi Internasional merupakan kelanjutan komitmen kerjasama internasional yang dibentuk oleh negara. Negara membentuk sebuah kerjasama internasional yang kemudian diformalkan menjadi sebuah Organisasi Internasional. Saat ini, Organisasi Internasional dapat dikategorikan sebagai aktor non negara yang memiliki pengaruh dan peran penting dalam memecahkan permasalah di dunia ini.
Keohane (1989) dalam bukunya yang berjudul “International Intistutions and State Power” menjelaskan bahwa kerjasama internasional yang dibangun oleh negara akan membentuk sebuah institusi. Institusi merupakan aktor non negara yang memiliki peran sebagai wadah bagi negara-negara untuk bekerjasama.
Kerjasama dibagi menjadi dua yaitu kerjasama bilateral dan kerjasama multilateral. Kerjasama bilateral merupakan kerjasama antara dua negara dalam berbagai bidang seperti sosial, politik, budaya, ekonomi, militer dan lain-lain. Sedangkan kerjasama multilateral merupakan kerjasama yang dibangun oleh lebih dari dua negara, biasanya kerjasama multilateral ini akan dilanjutkan dengan pembentukan sebuah institusi.
                Setelah menjelaskan secara singkat mengenai definisi singkat kerjasama, maka dilanjutkan pada pertanyaan dalam paper ini yang harus dijawab yaitu kondisi atau faktor yang mempengaruhi kerjasama yang meliputi tiga komponen diantaranya, mutuality of interest, shadow of the future, dan numbers of player. Fokusnya, bagaimana ketiga komponen tersebut mempengaruhi kerjasama.
            Setelah menelisik lebih dalam mengenai ketiga komponen tersebut, rupanya itu merupakan gagasan Robert Axelrod dan Robert Keohane dalam tulisannya yang berjudul Achieving Cooperation Under Anarchy: Strategies and Institutions. Hal menarik yang perlu digarisbawahi adalah kondisi anarki, ketika tidak ada kedaulatan atau kekuasaan di atas negara. Setiap negara berhak untuk memutuskan dan menentukan nasib sendiri, tidak dapat diintervensi oleh negara lain. Walaupun pada praktiknya, hingga saat ini masih banyak negara berkembang di Asia dan negara terbelakang di Afrika yang masih disetir oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, China dan lain-lain.
            Axelrod dan Keohan berpendapat bahwa mencapai kata sepakat dan membentuk kerjasama dalam dunia internasional sangatlah sulit dan kompleks. Setiap negara memiliki kepentingan masing-masing yang patut diperjuangkan bahkan akan berbenturan dengan kepentingan negara lain. Malahan, akibat dari perbenturan kepentingan akan menciptakan konflik antar negara bahkan peperangan. Namun, pada abad 21 seperti sekarang ini, perang terbuka semakin dihindari oleh tiap negara, negara sekaliber Amerika Serikat pun mulai menyadari bahwa peperangan yang mereka lakukan di kawasan Timur Tengah hanya berdampak buruk pada keseimbangan ekonomi domestiknya.
            Pada dasarnya tidak ada kepentingan bersama pada setiap negara. walaupun sistem politik, ekonomi dan sosial memiliki kesamaan, negara berbeda pasti memiliki kepentingan yang berbeda pula. Namun, tidak berarti kerjasama tidak bisa dicapai. Yang perlu diperhatikan adalah komponen pertama yaitu mutuality of interest. Hal yang perlu dipahami oleh setiap negara adalah tidak adanya common interest, namun, perlu dipahami mengenai persepsi kepentingan itu sendiri bukan pada substansi yang menjadi kepentingan. Semisal yang bisa digambarkan pada Game Theory Prisoner Dilemma. Dalam keadaan terdesak, dua orang yang tertangkap diinterogasi secara berbeda tempat dan waktu. Dari dua keterangan tersebut, siapa yang berani bersikap kooperatif maka dia akan selamat. Apabila satu orang dari tahanan tersebut berbohong, dan temannya jujur, maka dua orang tersebut akan ditahan. Maka, jalan terbaik adalah, kedua tahanan tersebut harus bersikap kooperatif.
            Contoh kasus lain adalah pada kasus Misil Kuba. Amerika Serikat dan Uni Soviet dihadapkan pada pilihan perang nuklir terbuka atau sama-sama menurukan tensi dan menarik mundur pasukannya. Dalam kasus itu terlihat bahwa Uni Soviet memilih untuk bersikap kooperatif dan menarik misilnya dari Kuba. Sedangkan Amerika sebelumnya memilih melakukan blockade daripada melakukan serangan penuh ke Kuba. Itu menunjukan bahwa kepentingan dua negara tersebut sangatlah berbeda, akan tetapi terdapat mutuality of interest yang menyatukan mereka, yaitu menghindari perang terbuka yang menyebabkan kehancuran dua negara tersebut.
            Komponen selanjutnya adalah shadow of the future. Penjelasan mudah dari komponen ini ialah dengan adanya prospek yang baik mengenai masa depan, maka kerjasama akan lebih mudah dicapai. Maksudnya, dengan adanya kerjasama, makan negara-negara yang terlibat dalam kerjasama tersebut perlu memandang ke depan mengenai kepentingan masing-masing yang akan mudah dicapai apabila saling bekerjasama. Salah satu bukti nyata seperti Uni Eropa saat ini, kita tahu bahwa Jerman pada masa Hitler merupakan musuh bersama negara-negara Eropa pada saat itu. Namun, saat ini, dengan melupakan sejarah kelam perang dunia kedua, Jerman bersama negara Eropa lainnya bekerjasama dalam memajukan Uni Eropa.
            Terdapat tiga faktor mengapa shadow of the future dapat efektif dalam membangun kerjasama yaitu:
·         Long time horizon
·         Regularity of stakes
·         Reliability of information about the others actions
·         Quick feedback about changes in the others actions
Menurut Axelrod dan Keohane, dimensi shadow of the future berguna untuk membedakan antara isu militer dan isu politik ekonomi. Hal ini untuk menunjukan bahwa terdapat fenomena menarik mengapa kerjasama yang menyangkut isu politik ekonomi lebih mudah dicapai daripada isu keamanan internasional.
Komponen selanjutnya yaitu numbers of players. Dalam membentuk sebuah kerjasama, selain memperhatikan aspek kepentingan dan struktur kerjasama yang akan dibangun, negara juga perlu mempertimbangkan jumlah pemain yang tergabung dalam permainan kerjasama dan bagaimana mereka membangun hubungan yang terstruktur. Dalam sebuah kerjasama yang berbentuk seperti institusi atau organisasi internasional, terdapat berbagai macam sifat negara yang dapat mengganggu sistem dalam institusi tersebut.
Menurut Axelrod, untuk menstimulasi kerjasama yang melibatkan aktor negara yang memiliki kepentingan nasional masing-masing, terdapat tiga kondisi yang menjadi pertimbangan yaitu (1)players can identify the defectors,( 2)they are able to focus retaliation on defectors dan (3)they have sufficient longrun incentives to punish defectors. Pertama, para aktor yang terlibat dalam kerjasama perlu mengidentifikasi negara mana yang memiliki peluang sebagai pembelot dalam struktur kerjasama. Kedua, anggota kerjasama juga perlu fokus terhadap pembalasan dendam yang dilakukan oleh negara pembelot dalam struktur kerjasama. Terakhir, negara anggota kerjasama perlu memberikan hukuman terhadap negara pembelot kerjasama.
Masalah muncul ketika negara anggota kerjasama tidak mampu memberikan sanksi tegas terhadap negara pembelot dalam struktur kerjasama. Contoh kasus yang digambarkan oleh Axelrod dan Keohane adalah pemboman yang menimpa kedutaan besar Amerika Serikat di Lebanon pada tahun 1983. Amerika menuduh kelompok terroris Syria bertanggung jawab langsung terhadap aksi pemboman ini. Akan tetapi mereka menolak tuduhan tersebut, namun tuduhan dan kebencian terhadap Syiria sudah terlanjur berkembang. Sedangkan pihak teroris yang melakukan pemboman tersebut tidak tersentuh sama sekali dikarenakan negara tidak mampu mengidentifikasi siapa pelaku sebenarnya.


Reciprocity Sebagai Strategi Dalam Kerjasama
Setelah sebelumnya dijelaskan mengenai komponen dalam pembentukan kerjasama yaitu mutuality of interests, shadow of the future dan numbers of actors, maka selanjutnya akan dijelaskan mengenai strategi apa yang perlu dilakukan lebih lanjut oleh negara dalam membangun sebuah sistem struktur kerjasama yang saling menguntungkan dan berpotensi memenuhi kepentingan nasional.
Robert Axelrod menjelaskan mengenai sebuah strategi yang relevan diaplikasikan dalam bangunan kerjasama antar negara yaitu reciprocity as strategy in multilevel games. Dalam tulisannya bersama Keohane, Axelrod menyatakan bahwa startegi reciprocity mampu mempromosikan kerjasama antar negara, walaupun negara sebagai aktor rasional memiliki sifat egoistic.
Reciprocity apabila diartikan ke dalam Bahasa Indonesia berarti timbal-balik, pembalasan dan pertukaran (hak). Apabila dijelaskan dalam konteks pembahasan ini, reciprocity dapat diartikan sebagai strategi timbal balik. Contoh mudahnya, apabila negara saling bekerjasama dengan baik, maka dia akan mendapatkan insentif dari sifat kooperatifnya, namun apabila negara tersebut melanggar kententuan dalam kerjasama, maka dia akan mendapatkan penalty.
Strategi ini merupakan problem solver  yang dihadapi oleh struktur kerjasama yang berkaitan dengan number of actors yang terlibat. Dijelaskan pada bagian pertama bahwa seringkali sebuah institusi kerjasama mengalami kesulitan dalam memberikan sanksi bagi negara yang melanggar ketentuan. Hal ini berdasarkan fakta bahwa sistem internasional bersifat anarchy, tidak adanya kedaulatan di atas negara dan negara berhak melakukan apa saja berdasarkan kepentingan nasionalnya. Walaupun pada dasarnya, dalam sistem internasional yang terstruktur terdapat norma, kebiasaan, hukum dan rezim internasional yang secara eksplisit mengikat setiap gerak-gerik negara dalam dunia internasional.
Kunci keberhasilan dalam struktur kerjasama ialah adanya mutual of interest yang akan memuncul kan mutual cooperation antara negara. Walaupun benih-benih pelanggaran yang akan dilakukan oleh beberapa negara tetap berpotensi muncul. Namun, seringkali sanksi bagi negara yang melanggar ketentuan tidak bisa ditegakkan apabila berhadapan dengan negara besar seperti Amerika Serikat. Pada tahun 2003, ketika Amerika Serikat secara unilateral melakukan invasi langsung terhadap Irak. Padahal Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak merestui penyerangan tersebut. Secara hukum internasional, tindakan tersebut tentu saja melanggar dan secara struktur kerjasama, Amerika Serikat dapat dikategorikan tidak kooperatif.
Kata sepakat dalam kerjasama seringkali mengalami jalan buntu, kepentingan tiap negara yang berbeda-beda, sifat aktor rasional yang egois dan lain-lain. Asas timbal balik dapat dijadikan opsi bagi negara untuk mendapatkan kompensasi dalam struktur kerjasama. Contoh nyata yang akan dihadapi oleh ASEAN, yaitu ASEAN Community 2015. Sebuah sistem yang berlaku bagi seluruh anggota ASEAN berupa terbuka dan bebasnya lalu lintas barang dan jasa, keuangan, manusia di kawasan Asia Tenggara. Dalam asas timbal balik, Indonesia yang bebas melakukan perdagangan dengan negara lain tanpa pemberlakuan pajak cukai. Hal itu juga berlaku bagi segala barang dan jasa dari luar yang akan masuk ke Indonesia. Sanksi akan diberikan kepada negara yang melanggar ketentuan bersama ini, dapat berupa sanksi dikucilkan dari pergaulan internasional.
Dalam pergaulan internasional, negara akan memilih bekerjasama dengan negara yang memiliki sejarah kerjasama yang baik. Pada hakikatnya, dalam pembentukan kerjasama harus saling menguntungkan satu sama lain. Tidak ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Negara yang memiliki reputasi baik, maka akan mudah membangun kerjasama dengan negara lain. Confident Building Measures (CBM) merupakan aspek yang penting dalam pergaulan internasional saat ini. Tiap negara berlomba menciptakan kesan  kooperatif dalam setiap kesempatan. Seperti yang seringkali digaungkan oleh Indonesia, zero enemies, thousand friends. Meskipun pada konteks pertahanan, semboyan tersebut terkesan lemah dan terima apa adanya, namun tren masa kini, kerjasama lebih masuk akal daripada berkonflik. Dunia sudah terlalu sibuk dengan masalah ketahanan pangan, kesulitan air bersih, kelaparan, ebola, dan terorisme. Maka seharusnya, konflik antar negara sudah tidak masuk akal lagi dilakukan atas nama kepentingan nasional. Seperti yang dijelaskan pada bagian pertama, setiap negara perlu memahami arti mutuality of interest yaitu menjaga perdamaian dunia.


Kesimpulan
Dari penjelasan bagian pertama dan kedua, dapat disimpukan bahwa kerjasama merupakan tren pada pergaulan internasional saat ini. Setiap negara berusaha mengembangkan pasar ekonominya dengan mempromosikan kerjasama dengan negara lain. Kerjasama dapat dicapai apabila setiap negara dapat menyatukan perbedaan kepentingan nasionalnya. Memang benar negara bersifat egois bahkan licik demi kepentingan nasional, akan tetapi, negara tetap akan memperhitungkan setiap keuntungan lebih yang didapat apabila melakukan kerjasama dengan negara lain.
Asas timbal balik merupakan salah satu strategi untuk mempromosikan kerjasama. Negara yang bersikap kooperatif dalam sebuah institusi, maka akan mendapatkan insentif. Sedangkan negara yang bersifat pembelot, melanggar kententuan, maka sewajarnya mendapatkan sanksi, atau setidaknya dikucilkan dari pergaulan internasional.
Maka, kerjasama dalam situasi sistem internasional yang anarki, dapat terjadi dan sangat mungkin terjadi. Karena pada dasarnya, negara ingin survive dengan cari apapun dan bagaimanapun. Kerjasama dan konflik akan selalu menghiasi perjalanan sebuah negara, tegantung bagaimana negara tersebut menyikapi dan menghadapinya.
Lebow, Richard Ned. 2007. Coercion, Cooperation, and Ethics in International Relation. New York:Routlegde
Jackson dan Sorensen. 2013. Introduction to International Relation: Theories and Approaches. London: Oxford University Press
Axelrod R, Keohane RO 1985. Achieving cooperation under anarchy: Strategies and institutions. World Polit, 38(1): 226-254.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar