Selasa, 10 Februari 2015

Kebijakan Luar Negeri

Dalam ilmu Hubungan Internasional, salah satunya membahas mengenai interaksi-interaksi antar negara dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Agar mencapai kepentingan nasional, negara akan melakukan apa saja termasuk berkompetisi, bekerjasama, berintegrasi dan berkonflik. Negara akan melakukan kebijakan luar negeri terhadap negara lain melalui alat kebijakan luar negeri yaitu diplomasi.
Dalam buku Pengantar Ilmu Hubungan Internasional yang disusun oleh Perwita dan Yanyan, dijelaskan bahwa secara umum kebijakan luar negeri atau politik luar negeri merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan dunia internasional. Maka, kebijakan luar negeri adalah sebuah instrument yang harus disusun oleh negara terhadap negara lain untuk melakukan interaksi demi mencapai kepentingan nasional.
Menurut Rosenau, kebijakan luar negeri atau politik luar negeri merupakan upaya suatu negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitasnya yang mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya (Perwita & Yani, 2006). Kebijakan luar negeri menurut Rosenau digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup sebuah negara. Sedangkan menurut Holsti, kebijakan luar negeri merupakan sebuah kebijakan yang diambil oleh pemerintahan sebuah negara atau komunitas politik lainnya dalam hubungan dengan negara dan aktor bukan negara dalam dunia internasional (Hara, 2011). Kebijakan luar negeri berguna sebagai jembatan batas wilayah dalam negeri dan lingkungan internasional. Kebijakan luar negeri dapat berupa hubungan diplomatic, mengeluarkan doktrin, membuat aliansi dan mencanangkan tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Lalu definisi klasik diberikan oleh Carlsnaes bahwa kebijakan luar negeri merupakan tindakan-tindakan yang diarahkan ke tujuan, kondisi dan aktor (negara atau non negara) yang berada di luar wilayah territorial mereka dan yang ingin mereka pengaruhi. Tindakan-tindakan itu diekspresikan dalam bentuk tujuan-tujuan, komitmen dan/atau arah yang dinyatakan secara eksplisit dan yang dilakukan oleh wakil-wakil pemerintah yang bertindak atas nama negara/komunitas yang berdaulat (Carlsnaes, 2002:335 dalam Hara, 2011).
Mempelajari kebijakan luar negeri sebuah negara, maka dalam Ilmu Hubungan Internasional dikenal dengan sub-disiplin bernama Analisis Kebijakan Luar Negeri atau Analisis Politik Luar Negeri. Menurut Hudson dalam Eby Hara, Analisis politik luar negeri adalah sub-disiplin Hubungan Internasional yang mencoba menjelaskan politik luar negeri atau perilaku politik luar negeri sebuah negara berdasarkan landasan teoritis para pembuat keputusan yang bertindak sendirian maupun berkelompok.
Analisa Politik Luar Negeri (Anapol) merupakan cabang dari ilmu politik yang terkait dengan perkembangan teori dan studi empiris mengenai proses dan outcome dari politik luar negeri. Anapol melibatkan studi tentang bagaimana sebuah Negara membuat kebijakan luar negerinya. Anapol akan menganalisa proses pembuatan keputusan oleh karena itu akan mempelajari politik internasional maupun politik dalam negeri. Anapol juga berasal dari studi tentang diplomasi, perangm organisasi antar pemerintah serta sanksi ekonomi yang masing-masing merupakan sarana bagi negara untuk mengimplementasikan kebijakan luar negerinya.
Anapol juga dianggap sebagai sub-field dari studi hubungan internasional yang bertujuan untuk memahami proses-proses di luar pembuatan keputusan kebijakan luar negeri. Tokoh terkemuka di bidang studi ini adalah Snyder, Rosenau, and Allison. Menurut foreignpolicyanalysis.org, “Sebagai sebuah bidang ilmu, anapol dicirikan dengan fokusnya pada spesifik actor. Sederhanya, dalam mempelajari proses, efek, sebab, ataupun output dari pembuatan keputusan kebijakan luar negeri baik secara perbandingan ataupun  spesifik kasus. Argument mendasar dan seringkali implisit menyatakan bahwa manusia bertindak sebagai sebuah kelompok maupun dalam sebuah kelimpok, membuat dan menyebabkan perubahan dalam politik internasional.”

Tahap-Tahap dalam Pembuatan Keputusan

Pembuatan kebijakan luar negeri melibatkan beberapa tahapan:
  • Assessment of the international and domestic political environment – (Penilaian terhadap lingkungan politik internasional dan pollitik dalam negeri):
Kebijakan luar negeri dibuat dan dijalankan dalam konteks politik internasional dan dalam negeri, yang harus dipahami oleh sebuah Negara untuk menentukan pilihan kebijakan luar negeri yang terbaik. Contohnya, sebuah Negara perlu merespon sebuah krisis internasional.
  • Goal setting (Penetuan Tujuan)- Sebuah Negara memiliki berbagai macam tujuan kebijakan luar negeri. Negara harus menentukan tujuan mana yang dipengaruhi oleh lingkungan politik international dan nasional pada saat tertentu. Selain itu tujuan-tujuan kebijakan luar negeri bisa bertentangan sehingga membutuhkan Negara untuk menyusun prioritas.
  • Determination of policy options (Menentukan pilihan-pilihan kebijakan)- Sebuah Negara harus menentukan pilihan-pilihan kebijakan apa yang tersedia untuk memenuhi tujuan atau rangkaian tujuan dalam lingkungan politik. Hal ini melibatkan sebuah penilaian atas kapasitas Negara untuk menerapkan pilihan-pilihan kebijakan serta sebuah penilaian atas konsekuensi-konsekuensi atas tipa pilihan kebijakan.
  • Formal decision making action (Tindakan pembuatan keputusan formal)- Sebuah keputusan kebijakan luar negeri formal akan diambil pada sebuah tingkatan di dalam pemerintahan. Keputusan kebijakan luar negeri biasanya dibuat oleh cabang ekesekutif dari pemerintah. Aktor-aktor atau institusi-institusi pemerintah yang umumnya membuat keputusan kebijakan luar negeri mencakup: kepala Negara (seperti presiden) atau kepala pemerintahan (seperti perdana menteri), cabinet atau pun menteri.
  • Implementation of chosen policy option (Implementasi dari pilihan kebijakan yang dipilih)- Ketika sebuah pilihan kebijakan luar negeri telah dipilih, dan sebuah keputusan formal telah dibuat, maka kebijakan tersebut harus diimplementasikan. Kebijakan luar negeri umumnya dilaksanakan oleh badan-badan birokrasi Negara yang khusus menangani kebijakan luar negeri seperti Kemenlu atau Kemenhan. Kementerian lain juga berperan dalam menerapkan kebijakan luar negeri , seperti kementerian perdagangan, pertahanan ataupun  bantuan luar negeri.

Pendekatan Utama

Model Rational actor (actor rasional)

Model rational actor berdasarkan pada teori rational choice. Model ini menganggap Negara sebagai unit analisa primer dan hubungan antar negara (atau HI) sebagai konteks untuk menganalisis ( (Sorensen, 2013). Negara dilihat sebagai actor kesatuan yang monolitik, mampu membuat keputusan-keputusan rasional berdasarkan peringkat dan maksimalissi nilai yang cenderung lebih disukai.
Dalam model aktor rasional, negara diibaratkan seperti aktor individual yang mementingkan kepentingan sendiri dan diasumsikan memiliki pengetahuan terhadap situasi serta mencoba untuk memaksimal apa saja nilai dan tujuan yang berdasarkan situasi yang ada (Hara, 2011). Negara akan mencari dan mempertahankan kepentingan nasionalnya dengan menggunakan segala cara. Dalam model ini, pemerintah dianggap sebagai entitas utama yang memiliki seperangkat tujuan-tujuan, mengevaluasinya berdasarkan keuntungan, dan kemudian memilih salah satu kebijakan yang memberikan keuntungan lebih atau paling tinggi.
Contoh kasus dalam model aktor rasional adalah kasus Misil Kuba pada tahun 1961. Graham T Allison membeberkan penjelasan model aktor rasional dalam mengkaji kasus ini yaitu sebagai berikut. Presiden AS saat itu, John F. Kennedy pada tahun 1961 mengungkapkan bahwa Uni Soviet memiliki jumlah ICBM yang lebih sedikit daripada yang mereka katakan. Merespon pernyataan Presiden AS, Presiden Uni Soviet kala itu, Nikita Kurschev memerintahkan instalasi misil nuklir jarak dekat di Kuba. Jadi, Uni Soviet ingin membuktikan bahwa mereka memiliki misil ICBM lebih banyak dari apa yang diperkirakan AS. Uni Soviet mengisi kekurangan misil yang disebut AS itu untuk memperkuat posisi dalam perang dingin. Mereka berani melakukan ini karena dulu Kennedy tidak berhasil mendukung invasi Teluk Babi di Kuba. Berdasarkan pengalaman ini, mereka percaya bahwa AS tidak akan memberikan respon yang keras.
Kennedy dan penasihatnya di Dewan Eksekutif (ExCom) mengevaluasi sejumlah pilihan mulai dari tidak melakukan apa-apa sampai invasi penuh ke Kuba. Akhirnya, AS memutuskan untuk melakukan blockade ke Kuba karena tidak akan meningkat kepada perang dank arena keputusan ini juga memaksa Uni Soviet untuk melakukan langkah berikutnya. Karena kekhawatiran akan penghancuran nuklir bersama, Soviet tidak memiliki pilihan lain kecuali tunduk pada tuntutan AS untuk memindahkan senjata-senjata mereka.
Menurut model rational actor, sebuah proses pembuatan keputusan yang rasional digunakan oleh negara yang prosesnya mencakup:
  • Goal setting and ranking (penentuan tujuan dan peringkat).
  • Consideration of options (pertimbangan pilihan-pilihan).
  • Assessment of consequences (penilaian konsekuensi).
  • Profit-maximization (maksimalisasi keuntungan).
Model rational actor mendapat kritik karena cenderung mengabaikan serangkaian variable politik yang menurut Michael Clarke mencakup: “keputusan politis, keputusan non politis, prosedur birokratis, keberlanjutan kebijakan sebelumnya dan kecelakaan ringan.”

Model-model lain:

  • Inter-branch politics model (model antar cabang politik)
  • Bureaucratic politics model (model politik birokratis) - Pada model ini pembuatan keputusan dibagi di antara lebih dari satu kelompok. Badan-badan pemerintahan yang berbeda membuat kebijakan secara kompetitif.
  • Organizational process model (model proses organisasi)
  • Self-aggrandizement model (model berlebihan sendiri) - pada model ini seorang pemimpin bertindak atas nama kepentingannya sendiri.
  • Political process model (model proses politik) - Pada model ini badan pembuat keputusan dipengaruhi oleh banyak actor-aktor non pemerintah seperti LSM ataupun media.
Dalam analisis politik luar negeri atau kebijakan luar negeri terdapat tiga level analisis yang dipisahkan untuk menunjukan siapa yang terlibat dan memiliki peran dalam terciptanya sebuah kebijakan (Sorensen, 2013), yaitu sebagai berikut
1.      Level sistem
Dalam level sistem, perlu mempertimbangkan beberapa faktor seperti distribusi power setiap negara, ketergantungan politik dan ekonomi, ideology, dan lain-lain.
2.      Level negara
Dalam level negara, perlu mempertimbangkan beberapa aspek yaitu, tipe pemerintahan, demokrasi atau otokrasi, hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya, birokrasi.
3.      Level individu
Dalam level individu, perlu mempertimbangkan beberapa hal yaitu, ideology, jalan pemikiran, kepercayaan, kualitas personal seorang pemimpin.
Level sistem menjelaskan kebijakan luar negeri sebuah negara tergantung kondisi yang sedang terjadi dalam lingkungan internasional sehingga negara terpaksa harus merespon kondisi tersebut dengan mengeluarkan kebijakan luar negeri. Contoh kasus, ketika ada Arab Spring, Indonesia mau tidak mau harus merespon keadaan tersebut, entah dengan mengeluarkan kebijakan untuk memperingatkan rakyat Indonesia yang sedang berada di negara yang mengalami pergolakan politik di Timut Tengah harus berhati-hati.
Dalam level analisis negara, kebijakan luar negeri merupakan kebijakan yang diformulasikan oleh entitas yang ada dalam negara seperti pemerintah, komunitas, public, dan lain-lain. Pemerintah merupakan entitas utama yang menentukan sebuah kebijakan luar negeri suatu negara. Contoh kasus, kebijakan luar negeri Indonesia dalam kegiatan ekspor-impor bahan bakar minyak. Yang menentukan kebijakan tersebut adalah pemerintah yang didalamnya ada presiden, kementerian BUMN, Pertamina dan lain-lain.
Dalam level analisis individu, seorang pemimpin negara adalah penentu kebijakan sebuah negara. Dia yang menentukan ke arah mana kebijakan negara akan ditujukan. Maka, seorang pemimpin negara tersebut harus memiliki kapasitas dan kualitas yang mumpuni untuk memimpin sebuah negara. kapasitas tersebut dapat berupa pengalaman, pendidikan, dan kepercayaan. Contoh kasus, Republik Iran merupakan salah satu negara yang memiliki pemimpin kuat dalam menentukan arah kebijakan luar negerinya yaitu dengan keberadaan Ayatullah Khomeini. Dia merupakan pemimpin spiritual tertinggi dan penentu setiap kebijakan luar negeri yang akan diambil oleh pemerintah Iran sendiri.           





Security studies (Kajian Keamanan)
Security atau keamanan merupakan sebuah konsep yang terkait dengan Ilmu Hubungan Internasional. Definisi umum dan seringkali dipakai oleh para penstudi HI adalah definisi yang dikeluarkan oleh Barry Buzan dalam bukunya people, state and fear (Buzan, 1991) bahwa keamanan adalah:
security, in any objective sense, measures the absence of threat to acquired values, in a subjective sense, the absence of fear that such values will be attacked”.
Dalam tulisan ini, penulis hanya akan membahas satu konsep dalam security studies yaitu Konsep Human Secuirty. Konsep Human Security tercipta dari pendekatan tradisional. Konsep ini terlahir karena dikarenakan sejak dahulu telah ada ketidak setaraan diantara manusia khususnya pihak perempuan yang selalu terkena efek dari militer, Patriarki, kemiskinan, pelecehan hak asasi sehingga perempuan menjadi termarjinalkan. Perempuan selalu diasumsikan tak bisa melakukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh laki-laki. Konsep keamanan menekankan pada semua aspek HAM dan hal-hal yang dibutuhkan dalam keamanan seperti militer, pertahanan dll. Dan Human Security berusaha menjadi pelengkap bagi keamanan sebuah Negara. Human Security berusaha memperluas cakupan dengan memasukan aspek keamanan non tradisional.
Secara tradisional, Negara memonopoli semua aspek keamanan seperti pertahanan wilayah, kedaulatan, dan kepentingan Negara. kebanyakan konflik yang terjadi khususnya di asia dan afrika disebabkan oleh konflik sipil dan pihak yang menjadi korban yang dirugikan adalah rakyat itu sendiri. Pendekatan yang berpusat pada rakyat adalah penyimpangan radikal dari konsep keamanan tradisional.
Diskursus yang paling utama didalam aspek Keamanan Nasional dan Hubungan Internasional adalah isu Gender. Hal ini disebabkan karena lingkungan dasar dari teori Hubungan Internasional yaitu teori kaum Realis yang menyatakan bahwa sistem internasional saat ini adalah sistem Anarki.  Dengan demikian, nilai-nilai menjadi kebutuhan bagi militer sebagai mata uang bagi kekuatan. Pendekatan Human Security menenkankan implikasi atas persamaan gender dan serius dalam menghadapi diskriminasi yang dialami oleh wanita. Kaum Feminis menyatakan bahwa pentingnya keamanan bagi wanita khususnya ketika dalam situasi perang.
Pada dasarnya keamanan wanita tidak dijamin dalam keadaan perang atau damai sekalipun, oleh karena itu perasaan tidak aman bagi wanita datang dari mana saja seperti dari lingkungan, Negara, konflik masyarakat bahkan keluarga itu sendiri. Lebih lanjut, ketidakamanan bagi wanita tidak bisa diukur dari aspek ketiadaan kekerasan kepada mereka. Ini berhubungan dengan keadaan sekeliling mereka, identitas mereka, peran dan status.
Diskriminasi terstruktur menambah panjang ketidakamanan bagi wanita semisal dalam bidang ekonomi, politik maupun social. Sistem patriarki yang membatasi peran dan ruang bagi wanita untuk menunjukan apa yang wanita bisa lakukan. Dalam keadaan perang, wanita selalu saja menjadi pihak yang paling dirugikan karena menjadi sasaran empuk oleh musuh dan menjadi pelampias prostitusi para anggota militer.
Dilihat dari konsep Keamanan Tradisional, ancaman yang paling berbahaya adalah ancaman Militer dan Terorisme. Kebanyakan konflik di Asia dan Afrika disebabkan oleh faktor internal semisal, konflik antar Agama, Etnis, kesenjangan Ekonomi, dan dominasi kelompok tertentu. Hal ini haruslah diselesaikan dengan baik dan cepat. Ancaman internal ini pecah ketika komunitas-komunitas masyarakat yang memiliki jiwa nasionalisme merasa tertekan atas penderitaan yang diciptakan oleh pemerintahan yang otoriter ataupun ketika dua kekuatan minoritas dan mayoritas berbenturan sehingga menyebabkan Revolusi di Negara-negara absolute (Chenoy).
Ancaman dari aspek Militer, sistem Patriarki, kemiskinan, pelanggaran HAM dapat mempengaruhi keadaan wanita yaitu terciptanya kesenjangan status, peran dengan laki-laki. Setelah perang berakhir, laki-laki kembali bekerja seperti biasa akan tetapi wanita tersiksa karena keluarga mereka hancur setelah suami mereka mati dalam perang. Ini banyak terjadi di Negara konflik seperti Iraq, Kongo, Afghanistan.
Menurut kaum tradisional, diplomasi dilaksanakan antar Negara karena setiap Negara memiliki kepentingan nasional yang harus dipenuhi. Keamanan nasional adalah agenda yang khsusus bagi setiap Negara, maka Negara memakai kekauatan militer untuk menjaga keamanan daerah teritorialnya atau kedaulatanya. Oleh karena itu, Militer adalah salah satu cara untuk mempertahankan keamanan sekaligus mempertahankan kepentingan nasional dari kepentingan nasional Negara lain (Stone).
Tujuan keamanan bagi kaum tradisional adalah menjaga kepentingan nasional, daerah territorial, kedaulatan dan menjamin kekuasaan sebuah Negara. walaupun utamanya Negara memakai kekuatan militer akan tetapi ada saatnya Negara memakai jalan negosiasi untuk menjaga keamanan. Pendekatan Human Security mengemukakan bahwa keamanan berhubungan dengan hak asasi manusia dan perkembangannya.
Dibanyak Negara konsep HAM telah banyak diterapkan, akan tetapi hak bagi wanita belum berkembang dan dihargai seperti hak asasi dan demokrasi. Contohnya di India, wanita tak memiliki kesamaan derajat dimata hukum dengan laki-laki dan di Amerika, gaji wanita lebih rendah dari pada laki-laki. Ini menunjukan masih ada diskriminasi pada wanita.
Dalam praktek Tradisional, Negara akan menjaga kepentingan nasionalnya tetapi tidak selamanya mereka dapat bertahan dan bekerja sendirian, oleh karena itu banyak Negara kerjasama dengan Negara lain dengan membentuk organisasi keamanan regional atau global seperti NATO. Antara Negara berlatih perang bersama, saling bertukar tekhnologi untuk menjaga daerah regional mereka khususnya dari serangan terorisme.
Globalisasi telah meningkatkan hubungan antara Negara-negara di dunia seperti terbentuknya PBB dan organisasi-organisasi serupa  yang tujuan utamanya menjaga perdamaian dunia. Dan sekali lagi, wanita selalu tak menjadi bagian dari kemajuan dan perkembangan dunia saat ini. Mereka tetap saja mendapatkan diskriminasi dan ketidakseimbangan kesempatan dengan pria.
Paradigma keamanan kaum tradisional dan nasional adalah dasar bagi kaum Realis dan Neo Realis yang ditulis oleh Philosop seperti Machiavelli dan Thomas Hobbes dan dikembangkan lagi oleh Clausewitz. Paradigma tersebut kemudian diolah lagi oleh para cendekiawan seperti Morghentau dan Waltz. Semua ahli mengemukakan bahwa sistem internasional pada dasarnya anarkis[1]. Dan apabila Negara ingin mendapatkan semua kepentingan nasional maka haruslah meningkatkan kekuatan dan dominasi khususnya di bidang militer (Buzan, New Patterns of Global Security in the Twenty First Century , 1991).
Negara-negara barat telah melewati proses panjang demi menjadi Negara yang demokrasi dan tetap menggunakan pendekatan persamaan untuk memecahkan semua masalah konflik internal. Setelah perang dingin berakhir, para praktisi dan cendekiawan mengemukakan bahwa persepsi tentang Human Security telah berubah. Bukan hanya masalah peperangan, kekerasan tetapi sudah membahas mengenai masalah HAM, sistem  pemerintahan yang baik, akses pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dll.
Human Security seperti persamaan Gender adalah salah satu cabang dari teori Demokrasi. Wanita telah berjuang sekuat tenaga untuk medapatkan posisi yang adil tetapi perjuangan tersebut akan mendapatkan hasil apabila melalui jalan demokrasi. Demokrasi berhubungan dengan masyarkat sipil yang kuat, kedua hal tersebut saling melengkapi. Pada dasarnya wanita memiliki potensi untuk menjadi pemimpin dan menjadi aktivis apabila deberi kesempatan.
Kaum Feminis mendukung konsep Human Security tetapi ingin posisi antara wanita dan laki-laki sama, karena, dilihat dari pengalaman yang lalu konsep masyarakat mengecualikan wanita. Pergerakan pembela wanita ingin merubah budaya patriarki yang membatasi peran dan posisi wanita.
Konsep Human Security diperkenalkan oleh masyarakat yang memiliki posisi penting sebagai kebutuhan dan sebagai jaminan untuk menjaga keamanan, hak-hak manusia dan keadilan social. Organisasi internasional seperti PBB, Forum Sosial Dunia, para pemimpin Negara dan Organisasi regional menerima konsep ini. 
Keamanan bagi wanita adalah perhatian utama bagi organisasi internasional. Dan hal ini juga telah diatur dalam resolusi PBB 1325. Sejarah menunjukan bahwa Human Security harus dibangun karena keamanan bagi wanita tidak termasuk dalam bagian keamanan masyarakat. Keamanan wanita haruslah dibangun dan dijaga hak-haknya karena pada zaman sekarang peran wanita tak bisa dilihat sebelah mata. Dalam zaman globalisasi seperti sekarang ini, bukan masalah perbedaan gender yang menentukan status, peran dan kekuasaan. Akan tetapi siapa yang memiliki kualitas dan prefesional, individu tersebut lah yang akan menempati posisi-posisi penting dalam sebuah Negara, organisasi, atau perusahaan.

Bibliography

Buzan, B. (1991). New Patterns of Global Security in the Twenty First Century .
Buzan, B. (1991). People, State, and Fear: An Agenda Fof International Security Studies in the Post-Cold War Era.
Chenoy, A. M. A Plea for Engendering Human Security.
Hara, A. B. (2011). Pengantar Analisis Politik Luar Negeri dari Realisme sampai Konstruktivisme. Bandung: Nuansa.
Perwita, A. A., & Yani, d. Y. (2006). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sorensen, R. J. (2013). Introduction to Internasional Relations Theories and Approaches. London: Oxfor University Press.
Stone, M. Security According to Buzan: A Comprehensive Security Analisys.



[1] Anarki: tidak ada kekauatan diatas Negara, semua Negara memiliki posisi dan derajat yang sama di mata dunia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar