Selasa, 10 Februari 2015

Perdebatan dalam Ilmu Hubungan Internasional

Menurut Eby Hara, terdapat dua perdebatan utama dalam metodologi ilmu Hubungan Internasional. Pertama, yaitu antara pendekatan metodologi tradisional atau klasik melawan saintifik pada akhir tahun 1960-an dan yang kedua antara positivis/empiris melawan post-positivis pada tahun 1980-an hingga sekarang (Eby Hara, 2011:18). Sedangkan perdebatan yang membahas isi dari ilmu Hubungan Internasional itu sendiri yaitu perdebatan antara Liberalisme dengan Realisme dan perdebatan antara Neo Realis, Neo Liberalis dan Neo Marxisme.
Perdebatan pertama yaitu antara Realisme dengan Liberalisme. Perdebatan itu membahas mengenai cara pandang bagaimana sifat manusia. Menurut kaum Liberalisme, manusia pada dasarnya memiliki sifat dasar yang baik dan memilih bekerja sama daripada berperang. Namun, asumsi tersebut dipecahkan oleh kaum Realisme yang memandang pada dasarnya sifat alamiah manusia itu buruk, mementingkan diri sendiri, suka berperang, dan menempatkan aspek militer diatas segala-galanya. Hal itu terbukti ketika Perang Dunia Pertama pecah di Eropa. menurut Realisme, hal itu menunjukan bahwa negara pada dasarnya akan selalu berkonflik dengan negara lain demi memenuhi kepentingan nasionalnya (Olivia, 2012:7)
Perdebatan kedua antara Tradisionalis dengan Behavioralis atau Saintifik. Perdebatan tersebut membahas bagaimana cara mendapatkan ilmu Hubungan Internasional. Tradisionalis memandang bahwa dalam memahami Hubungan Internasional, peneliti harus terlibat langsung dalam penelitian tersebut atau dengan kata lain Tradisionalis itu tidak bebas nilai. Sedangkan menurut kaum Behavioralis, dalam memandang Ilmu Hubungan Internasional seperti ilmu pengetahuan alam, peneliti tidak harus terlibat langsung dengan objek penelitian. Objek penelitian diandaikan objek yang diteliti dalam sebuah laboratorium (Olivia, 2012:8).
Perdebatan ketiga yaitu antara Realisme, Liberalisme dan Marxisme. Pada dasarnya, perdebatan ketiga teori ini berfokus pada aktor yang terlibat dalam hubungan internasional. Menurut Realisme, aktor dominan dalam Hubungan Internasional adalah negara. Menurut Liberalisme aktor dalam Hubungan Internasional bukan hanya saja negara, akan tetapi ada aktor non negara yang memiliki peran sepeti IGO, NGO, MNC dan lain lain. Sedangkan menurut kaum Marxisme, klasifikasi aktor itu berdasarkan kelas seperti kelas proletar dan borjuis (Olivia, 2012:5).
Perdebatan yang keempat antara Positivist dengan Post Positivist. Perdebatan ini membahas mengenai hubungan antara dengan teori. Menurut kaum Post Positivist, penelitian tidak terlepas antara nilai dan bias peneliti. Oleh karena itu, setiap teori memiliki pesan tersembunyi yang dibawa oleh peneliti tersebut (Olivia, 2012:11). Positivist diwakili oleh teori-teori mainstream seperti Realisme, Liberalis, Neo Realis, Neo Liberalis, sedangkan Post Positivist diwakili oleh teori kritis, feminism, poststrukturalisme, postkolonialisme.
Teori Mainstream dalam Ilmu Hubungan Internasional
Dalam Hubungan Internasional terdapat perspektif, teori dan konsep yang terdapat dalam Hubungan Internasional. Beberapa teori mainstream atau teori utama yang menjadi akar berbagai konsep Hubungan Internasional lainnnya. Diantaranya adalah Realisme, Liberalisme, Neo-Realisme, dan Neo-Liberalisme.
Teori Realisme Klasik
Menurut Dunne dan Schimdt, Realisme adalah teori dominan dalam Hubungan Internasional karena mampu menjelaskan fenomena perang antarnegara pada masa lampau (Baylis dan Smith, 2001:141). Karena Realisme memandang bahwa negara harus memenuhi kepentingan nasional dengan cara bekerjasama dan berkonflik. Bagi kaum Realisme, negara harus memiliki power yang diasosiasikan kekuatan militer. Negara yang kuat secara militer mampu menyerang negara yang lemah secara militer.
Realisme merupakan teori yang menyatakan bahwa negara adalah satu-satunya aktor dalam Hubungan Internasional. Setiap aktivitas interaksi aktor Hubungan Internasional harus dikaitkan dengan aktor negara. Realis memiliki akar budaya yang sangat panjang sejak zaman yunani kuno, tradisi itu dimulai dari Thucydides (400BC), Machiavelli (1513), Hobbes (1651), Hume (1741), Clausewitz (1832), Morghentau (1948), Organski (1958), Waltz (1979), Giplin (1981) (Schimdt, 2002).
Terdapat tiga asumsi utama Realisme yaitu Statism, Survival, Self helps (Dunne dan Schimdt, 2001:155 dalam Eby Hara, 2011:35). Aktor negara harus memaksimalkan segala sumber daya untuk memperkuat pertahanan dalam menyerang atau bertahan apabila berkonflik dengan negara lain. Karena, asumsi mereka sistem internasional itu anarki atau tidak ada kekuasaan diatas negara. Oleh karena itu, setiap negara harus memperkuat militer untuk menghadapi sistem internasional yang keras.
Hobbes dan Machiavelli merupakan dua tokoh Realisme yang memandangan bahwa pada dasarnya sifat alamiah manusia itu harus mampu memenuhi kepentingan dirinya sendiri dengan menaklukan orang lain atau homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) (wilkinson, 2007:17). Dalam level negara, hanya negara yang mempu membantu dirinya sendiri, oleh karena itu negara harus bersaing dengan negara lainnya dan siap berkonflik untuk memenuhi kepentingan nasional masing-masing.
Realisme memandang aktor lain selain negara tidak memiliki peran dalam Hubungan Internasional. Karena, negara merupakan komunitas yang memiliki kedaulatan terhadap suatu wilayah (Eby Hara, 2011:35). Dalam pandangan Realisme, sistem internasional ialah tempat negara untuk mencari power. Karena dengan power yang besar dan kuat, negara mampu menguasai negara lain. Power tersebut dapat berupa hard power seperti kekuatan militer ataupun soft power berupa kekuatan ekonomi.
Terdapat beberapa konsep yang dikenal dalam perspektif Realisme seperti, sistem anarki, balance of power, kapabilitas, kepentingan nasional, power, dan kedaulatan. Sistem Anarki merupakan ketiadaan otoritas di atas negara dalam sistem internasional. Maksudnya negara dapat melakukan apa saja demi kepentingan nasional tanpa perlu takut dihukum oleh otoritas tertinggi, karena tidak ada otoritas tertinggi diatas negara. Hal ini berikatan erat dengan konsep power yang harus dimiliki oleh negara agar mampu berkompetisi dengan negara lain. Power juga berkaitan dengan kapabilitas yaitu kemampuan negara dalam hal ekonomi, militer, sosial, wilayah, rakyat dan politik. Akan tetapi, peningkatan kapabilitas tiap negara akan direspon oleh negara lain sebagai ancaman, maka negara lain juga akan meningkatkan kapabilitasnya demi mencapai balance of power.
Teori Liberalisme
Perspektif yang kedua yaitu Liberalisme. Liberalisme merupakan antithesis dari Realisme, karena hamper setiap asumsi kedua perspektif tersebut bertentangan satu sama lainnya. Dalam asumsi dasar Liberalisme menyatakan bahwa pada dasarnya sifat alamiah manusia itu adalah baik. Manusia diberikan kebebasan sepenuhnya untuk melakukan apa saja tanpa terikat oleh aturan negara. Kaum liberalisme percaya bahwa demokrasi merupakan sistem terbaik bagi sebuah negara karena memberikan kebebasan kepada individu.
Menurut pandangan liberalisme, individu harus dberikan kesempatan berkespresi dalam berbagai bidang dan mampu berperan dalam Hubungan Internasional. Serta membuka seluas-luasnya perdagangan interansional. Hal ini sesuai dengan asumsi dasar liberalisme yang mengagungkan perdamaian, kebebasan, dan hubungan kepercayaan antar aktor Hubungan Internasional (Dunne, 2001).
Menurut kaum liberalisme, aktor dalam Hubungan Internasional tidak hanya aktor negara, akan tetapi individu, kelompok, organisasi memiliki peran dalam Hubungan Internasional sehingga layak dikategorikan sebagai aktor Hubungan Internasional. Istilah lain untuk perspektif ini adalah liberal internasionalisme, liberal institusionalisme, dan transnasionalme (perwita dan yanyan, 2006:27)
 Immanuel kant dan Jeremy Bentham merupakan ilmuan Hubungan Interansional yang menawarkan perspektif Liberal Internasionalime. Kant memiliki sebuah ide yang dituangkan dalam sebuah tulisan terkenal yaitu “Perpetual Peace”. Dalam perpetual peace, terdapat beberapa ide yang kant tawarkan demi perdamaian dunia. Pertama, tidak boleh membentuk sebuah perjanjian perdamaian yang memiliki maksud terselubung. Maksudnya, jangan membentuk sebuah perjanjian yang dimaksudkan untuk peperangan di masa depan. Kedua, tidak boleh menghacurkan negara berdaulat. Maksudnya, sebuah negara dilarang menyerang negara lain, karena tiap negara memiliki kedaulatan masing-masing. Ketiga, tidak dibenarkan perlombaan senjata. Menurut kant, negara harus mulai menghapus miles pepetuus atau tentara tetap, karena keberadaan tentara akan menghambat perdamaian. Keempat, tidak boleh pemberian utang terhadap negara lain untuk membiayai perang. Kelima, tidak boleh negara memaksa untuk mencampuri urusan negara lain karena pada dasarnya tiap negara memiliki kedaulatan masing-masing yang harus dihormati. Keenam, tidak boleh melakukan perang dengan pembunuhan gelap, meracuni, melanggar hukum perang (Dunne dalam Baylis dan Smith, 2001).
Menurut Bentham, untuk menciptakan sebuah perdamaian di dunia, tiap negara harus menahan ego untuk mencapai kepentingan nasional. Jalan keluarnya adalah pembentukan federasi negara seperti German Diet, American Federation dan Swiss League. Selain itu, diperlukan pembentukan common tribunal (pengadilan umum) untuk menengahi konflik antar negara (Dunne dalam Baylis dan Smith, 2001). Terdapat beberapa konsep umum yang ada dalam perspektif liberalisme yaitu, collective security, integrasi, pluralisme, enlightment, dan idealism.

Teori Neo Realisme
Perspektif selanjutnya adalah Neo Realisme yaitu sebuah perspektif turunan dari Realisme. Akan tetapi, terdapat perbedaan mendasar antara Realisme dan Neo Realisme yang terletak pada pemahaman mengapa sebuah negara berperilaku. Menurut Realisme, negara akan melakukan apa saja karena untuk memenuhi kepentingan nasionalnya karena itu sifat alamiahnya dengan cara bekerja sama ataupun berkonflik dengan negara lain. Sedangkan bagi Neo Realisme, sifat negara yang mengejar kepentingan nasional disebabkan oleh sistem internasional yang berlaku pada saat itu. Maksudnya, negara berperilaku untuk merespon keadaan sistem internasional.
Kenneth Waltz merupakan ilmuan Hubungan Internasional yang menawarkan perspektif ini. Menurutnya, perilaku negara ditentukan oleh sistem internasional yang berlaku saat itu (Dunne dan Schimdt dalam Baylis dan Smith, 2001:148). Antara Realisme dan Neo Realisme memiliki pemahaman yang sama dalam sistem internasional yaitu anarki. Oleh karena itu, sistem anarki yang menunjukan ketiadaan otoritas di atas negara menyebabkan negara harus memenuhi kepentingan nasionalnya dan menariknya, Neo Realisme menyatakan bahwa keadaan ini memaksa negara harus melakukan kerjasama dengan negara lain untuk memenuhi kepentingan nasional (O’Callaghan dan Griffiths, 2002:2). Hal itu terjadi karena negara merupakan aktor yang rasional, yaitu harus memaksimalkan keuntungan dan menimalkan kerugian.
Salah satu ilmuan Hubungan Internasional aliran Neo Realis yaitu Joseph Grieco (1988) menjelaskan mengenai sifat negara dalam sistem internasional yaitu absolute gain dan relative gain. Absolute gain adalah konsep negara yang ingin memenuhi kepentingan nasional dan meningkatkan kapabilitas akan mencari kerjasama dengan negara lain agar kepentingan negara masing-masing dapat tercapai. Sedangkan, relative gain ialah konsep negara yang akan memenuhi kepentingan nasional dengan bekerja sama dengan negara lain akan tetapi berusaha mendominasi keuntungan dari negara lain (Lamy dalam Baylis dan Smith, 2001:186).
Teori Neo Liberalisme
Perspektif yang terakhir adalah Neo Liberalisme yaitu turunan dari perspektif liberalisme. Asumsi dasar Neo liberalisme adalah terdapat aktor selain negara dalam Hubungan Internasional. Negara memang aktor penting dalam Hubungan Internasional, tapi tidak berlaku signifikan karena terdapat aktor lain yang mampu mempengaruhi rumusan kebijakan luar negeri sebuah negara (Lamy dalam Baylis dan Smith, 2001:189).
Perbedaan mendasar antara liberalism dan Neo liberalism ialah dalam hal institusi. Bagi Neo liberalism, institusi mampu menjadi jalan keluar bagi negara untuk melakukan kerjasama dan menghindari konflik. Institusionalime dapat berbentuk organisasi internasional, birokrasi, perjanjian, traktat, dan kebiasaan-kebiasaan yang telah disepakati secara internasional (Lamy dalam Baylis dan Smith, 2001:190).
Teori Neo-Liberalisme adalah teori yang berusaha untuk menghilangkan potensi-potensi konflik melalui institution sebagai instrumen utamanya. Institusi secara umum didefinisikan sebagai seperangkat aturan, dan praktek-praktek yang menentukan peran, memaksakan tindakan, dan membentuk pengharapan. Menurut Neo-Liberalisme sifat dasar interaksi antar negara yakni kompetitif dan kadang-kadang konflik tetapi lebih sering bersifat kerjasama pada bidang ekonomi dan isu-isu lainnya. Teori Neo-Liberalisme membantu menjelaskan bagaimana peranan dari sebuah institusi sebagai wadah untuk menjalin kerjasama. Mengenai institusi ini, Kaum Neo-liberal Institusionalisme percaya dapat mengurangi “verification costs, create iterativeness and make it easier to punish cheaters”. Sehingga negara sebagai aktor yang rasional akan lebih memilih bekerjasama dari pada berkonflik, karena dengan bekerjasama mereka saling mendapatkan keuntungan. Dengan adanya kerjasama tersebut, maka akan tercipta interdependency yang dalam pandangan Neo-Liberisme merupakan refleksi dari perdamaian (O’Keohane, 1989:3).
Neo Liberalism mengakui bahwa dalam hubungan antara dua negara tidak akan terlepas dari konflik kepentingan. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah institusi atau organisasi yang mampu mengakomodasi tiap-tiap kepentingan masing-masing negara anggota. Contoh dari institusi seperti ASEAN, UE, APEC, OPEC, Liga Arab dan lain lain. Tergabungnya sebuah negara dalam institusi dianggap sebagai cara lain memenuhi kepentingan nasional dari pada harus berhadapan langsung dengan negara lain dalam perang untuk memperebutkan kepentingan nasional. Cara itu lebih elegan dan bijak bagi sebuah negara untuk tetap memelihara perdamaian di dunia.
Pendekatan Reflektivisme
Menurut Keohane, Terdapat empat teori yang dapat dikategrikan sebagai pendekatan Reflektivisme. Pendekatan Reflektivisme merupakan pendekatan yang menawarkan alternative lain dalam memandang dunia. Pendekatan ini berlawanan dengan pendekatan Rasionalist yang didominasi oleh Teori Neo Realis dan Neo Liberalisme. Sebelum menjelaskan perbedaan kedua pendekatan tersebut, akan dijabarkan beberapa argumen dari pendekatan Reflektivisme yang terdiri atas Teori Kritik, Post Strukturalisme, Feminisme dan Konstruktivisme.
Teori Kritis
Teori Kritis dikembangkan oleh Aliran Frankfurt pada tahun 1920an. Pemikiran mereka dipengaruhi oleh gerakan Nazi yang mendominasi Jerman pada waktu itu. Ilmuwan generasi pertama aliran Frankfurt yaitu Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse. Ilmuan yang paling terkenal dari aliran Frankfurt ialah Jurgen Habermas yang banyak memberikan inspirasi mengenai teori Kritis (Hobden dan Jones dalam Baylis, 2001:214).
Setidaknya ada tiga prinsip dasar dari Teori Kritis dalam menilai dan memahami suatu fenomena, kejadian, fakta yang ada dalam kenyataan. Ketiga prinsip inilah yang  akan menjadi acuan utama Teori Kritis untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang ada.
1.      Emancipation
Emancipation adalah kebebasan bagi semua manusia untuk mengeluarkan pendapatnya, melakukan sesuatu, dan juga untuk mendapatkan keadilan sosial. Emacipation berkaitan dengan penemuan jati diri, kontrol terhadap kehidupan sendiri, dan kebebasan untuk berinteraksi dengan manusia lainnya secara harmonis. Emancipation bertujuan untuk menjaga kebebasan, hubungan interaksi, menghindari komunikasi yang menyimpang, dan juga menghindari adanya pemahaman yang membatasi kemampuan sesorang untuk berbuat atau pun bertindak untuk membuat masa depannya lebih baik.
Emancipation berupaya menghilangkan hambatan-hambatan yang mengganggu seseorang untuk melakukan sesuatu secara bebas. Bebas di sini bukan berarti bahwa kita dapat melakukan sesuatu semau kita, tetapi lebih kepada kemampuan kita untuk melakukan sesuatu secara merdeka. Melakukan sesuatu murni karena keinginan pribadi, tanpa tekanan, tanpa intimidasi maupun penindasan. Jadi meskipun ada aturan hukum yang akan menjadi pengontrol dalam kehidupan, tidak serta merta hukum tersebut mengekang kita untuk mendapatkan keadilan sosial atau pun memperjuangkan masa depan kita yang lebih baik. Jika hukum tersebut  tidak adil, maka harus direvisi. Jadi hukum harus mengedepankan unsur ekualitas. Karena semua orang itu adalah setara. Oleh karena itu, biasanya emancipation ini diperjuangkan untuk membela pihak yang lemah.
2.      Communicative Action
Communicative Action adalah suatu komunikasi yang dilakukan secara sadar (intersubjective) untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan lebih adil. Komunikasi ini dilakukan untuk menghindari adanya penindasan terhadap kaum yang lemah. Namun komunikasi tidak akan berjalan lancar dan seimbang jika kedua belah pihak tidak setara. Oleh karena itu, diperlukannya emancipation agar semua pihak tidak ada yang berada dalam tekanan, intimidasi, maupun ketertindasan.
Untuk menyelesaikan suatu permasalah kita harus melakukan dialog, diskusi, dan komunikasi untuk menyampaikan keyakinan dan tindakan kita secara jelas kepada orang lain. Dengan melakukan komunikasi, tentunya akan memberikan kesempatan bagi semua orang untuk menerima ataupun menentang (menolak) keyakinan kita tersebut. Sehingga akan terjadi kesalingpahaman dan kesalingpengertian, proses pembelajaran bersama, dan berbagi ide untuk kebaikan bersama.  Dengan demikian, kita tidak hanya mengedepankan ego dan kepentingan kita sendiri. Melainkan juga kita akan mempertimbangkan pemikiran dan pandangan orang lain. Karena tujuan Communicative Action adalah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan lebih adil.
3.      Cosmopolitan Ethics
Cosmopolitan Ethics bertujuan untuk menghilangkan gagasan bahwa loyalitas harus difokuskan pada negara tertentu. Dalam Cosmopolitan Ethics, manusia bukan hanya sebagai warga dari negara tertentu, tetapi lebih dari itu. Manusia harus memiliki solidaritas terhadap manusia lainnya meskipun mereka tidak berada dalam satu wilayah geografis. Tujuannya adalah ingin membentuk suatu organisasi yang lebih kosmopolitan dan desentralisasi terhadap peran negara. Menurut Andrew Linklater, ada tiga bentuk Cosmopolitan Ethics, yaitu:
·         Masyarakat Pluralis, di mana prinsip-prinsip koeksistensi menjadi landasan untuk menghargai kebebasan.
·         Masyarakat yang memiliki solidaritas kemanusia.
·         Kerangka post-westphalia, yaitu dengan menghilangkan (melepaskan) beberapa kedaulatan negara agar bisa melembalagan norma moral dan politik bersama.
A.    Posisi Teori Kritisterhadap 4 Prinsip Ilmu Pengetahuan Positivis
Dalam pandangan kaum positivis, sebuah ilmu pengetahuan harus memiliki 4 prinsip utama yaitu Netral (tidak memihak), Objektif (terlepas dari pengaruh nilai-nilai  seperti ideologi, agama, budaya, maupun yang lainnya), Absolut (tidak terbantahkan dan mampu menjelaskan semua permasalahan), dan Universal (tidak terbatas oleh ruang dan waktu, kapanpun dan dimanapun dapat diaplikasikan). Berikut adalah pandangan Teori Kritisterhadap 4 prinsip ilmmu pengetahuan tersebut:
1.      Netral; tidak. Ilmu pengetahuan harus memihak pada pihak yang lemah. Prinsip Teori Kritisadalah “theory is always for someone and for some purpose”. Teori ditujukan untuk tujuan emansipasi.
2.      Objektif; tidak. Teori Kritismenolak asumsi bahwa fakta, nilai, objek, dan subjek harus dipisahkan. Etika seharusnya disatukan.
3.      Absolut; tidak. Teori Kritistidak berasumsi bahwa ilmu pengetahuan bersifat “kebenaran abadi”. Tetapi merupakan cerminan dari kondisi sejarah dan sosial yang melingkupi waktu tertentu dari lahirnya ilmu pengetahuan tersebut.
4.      Universal;  tidak. Ilmu pengetahuan harus terkondisikan oleh waktu dan tempat tertentu. Karena permasalahan yang terjadi selalu berkembang dan dinamis. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan harus menyesuaikan pada budaya dan ideologi wilayah tersebut.
Teori Post-strukturalisme
Post-strukturalisme merupakan pendekatan yang mengkritisi ilmu sosial terlebih ilmu Hubungan Internasional dalam pendekatan metodologinya. Kaum Post-strukturalisme percaya bahwa ilmu sosial dapat disamakan dengan ilmu alam dalam metodologi kuantitatif (Jackson dan Sorensen, 2013:233). Post-strukturalisme mengkritik positivist atau rasionalist yang cenderung melakukan penelitian berdasarkan metodologi. Positivist memandang dunia politik sebagai sebuah perilaku yang berulang-ulang sehingga dapat diprediksi hasil akhirnya, namun kaum Post-strukturalisme tidak percaya terhadap empiris. 
Teori Post-modernisme
            Sama halnya dengan Post-struktulisme, Post-modernisme juga merupakan teori alternative yang mengkritik teori mainstream Hubungan Internasional. Menurut kaum Post-modernisme, sebuah ilmu pengetahuan dibentuk oleh siapa yang berkuasa. Siapa yang memiliki power, maka dia mampu untuk menciptakan pengetahuan yang sesuai dengan kepentingan sang pemilik power.
            Hubungan antara kekuasaan dan ilmu pengetahuan dalam Hubungan Internasional menurut Foucault pada dasarnya haruslah terpisah. Ilmu pengetahuan harus berdiri sendiri dan berisi kebenaran-kebenaran yang hakiki. Ilmu pengetahuan seharusnya bersifat objektif, bebas nilai, bebas kepentingan dan murni. Oleh karena itu, Post-modernisme muncul sebagai teori yang mempertanyakan bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan dipisahkan dengan kekuasaan atau power (Devetak, 2005:161).
            Post-modernisme berkaitan dengan Genealogi, yaitu suatu jenis pemikiran historis yang mengungkap dan mencatat signifikansi dalam relasi kekuasaan-pengetahuan. Maksudnya, Genealogi muncul sebagai pemikiran kritis terhadap relasi antara kekuasaan dan pengetahuan. Genealogi berusaha membongkar pemikiran tentang sebuah sejarah yang memiliki fakta berbeda dengan apa yang kita ketahui. Contohnya, sejarah 30 S PKI, pada zaman Presiden Suharto, sejarah PKI dikonstruksikan demi kepentingan dirinya sendiri. Padahal kemungkinan terjadinya fakta lain bisa saja ada, akan tetapi kelanggengan kekuasaan Suharto menutup hal tersebut. Sehingga kebenaran sejarah mengenai 30 S PKI ialah cerita yang dirangkai oleh penguasa.
            Foucault menciptakan istilah rezim kebenaran atau regimes of truth sebagai kata kunci untuk merujuk atas hal ketika kebenaran dan kekuasaan sama-sama dihasilkan dan bertahan. Istilah tersebut berkaitan dengan apa yang diyakini sebagai kebenaran, sesuai dengan aturan atau criteria yang yang menunjukan proposisi yang benar dari yang salah, serta menunjukan bagaimana keyakinan yang memiliki status kebenaran membentuk praktik dan institusi sosial (Devetak, 2005:248).
            Der Derian berpendapat bahwa Post-modernisme berkaitan dengan upaya untuk menunjukan adanya saling berpengaruh tekstual di balik kekuasaan politik. Tekstualitas merupakan tema umum Post-modernisme. Untuk menyebarkan pandangan saling pengaruh tekstual, Post-modernisme menggunakan konsep Dekonstruksi dan Double Reading atau pembacaan ganda. Konsep Dekonstruksi yaitu sebuah cara umum atas apa yang secara radikal berubah-ubah dianggap sebagai konsep baku dan lawan konseptual. Sedangkan pembacaan ganda merupakan strategi tiruan yang secara simultan tepat dan tajam (Devetak, 2005).

Teori Feminisme
            Teori Feminisime merupakan teori alternative dalam Ilmu Hubungan Internasional. Dalam teori mainstream Hubungan Internasional memfokuskan diri kepada negara, power, diplomasi, perang, hukum internasional, kebijakan luar negeri dan lain-lain tanpa adanya suatu referensi mengenai apa yang pada hakikatnya disebut ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’. Fokus hubungan internasional kepada hal yang abstrak seperti negara, pasar, sistem menjadi dominasi dalam kepentingan sebuah negara yang telah menggeser hakikat manusia sebagai pelaku hubungan internasional. Hal itu lebih tepatnya dapat disebut sebagai tindakan laki-laki untuk negara (True, 2005).
            Menurut Feminisme, Hubungan Internasional terlalu berfokus kepada laki-laki atau maskulinitas. Tidak pernah memperhitungkan kajian tentang perempuan dan gender. Seharusnya Hubungan Internasional menurut ilmuan aliran Feminisme merupakan suatu disiplin yang tidak terpisah dari praktik pemisahan gender dan realitas hierarki gender atau dengan kata lain, Feminisme telah disingkirkan dari kajian Hubungan Internasional seperti perempuan yang tidak memiliki hak untuk terlibat dalam panggung politik (True, 2005).
            Menurut Cynthia Enloe dalam bukunya yang berjudul Bananas, Beaches, and Bases: Making Feminist of International Politics menjelaskan bahwa kajian Feminis merupakan kajian yang sangat penting akan tetapi tidak dihiraukan oleh Ilmu Hubungan Internasional. Posisi wanita di beberapa aspek strategis seringkali diabaikan semisal dalam bidang ekonomi, wanita selalu dijadikan korban, gaji kecil, pangkat rendah, dan wanita selalu diasosiasikan bekerja untuk mengurusi hal yang sepele seperti mencuci, memasak, menyapu dan lain-lain (Sorensen, 2013).
Teori Sosial Konstruktivisme
            Hal mendasar yang perlu diketahui bahwa Sosial Konstruktivisme merupakan jembatan penghubungan bagi teori rasionalist dan teori reflektivis. Konstruktivisme melihat dunia seperti sebuah proyek yang sedang dikerjakan, seperti menjadi apa, bukan apa adanya. Tidak seperti idealism dan post strukturalisme dan posmodernisme, yang mengambil dunia hanya karena dapat dibayangkan atau dibicarakan, konstruktivisme menerima bahwa tidak semua laporan memiliki nilai epistemic yang sama dan bahwa sebagai konsekuensinya, ada beberapa dasar pengetahuan.
             Dalam kajian teori mainstream Hubungan Internasional, selalu berfokus kepada hal yang bersifat materialis, bagaimana distribusi, power, militer, ekonomi yang mempengaruhi keseimbangan kekuatan dan menjelaskan perilaku negara, sedangkan konstruktivisme memfokuskan kepada kesadaran manusia dan tempatnya di dunia (Sorensen, 2013) (Hara, 2011)
Daftar Pustaka
Devetak, R. (2005). Postmodernism. In S. B. Linklater, Theories of International Relation (pp. 161-188). New York: Palgrave Macmiillan.
Hara, A. B. (2011). Pengantar Analisis Politik Luar Negeri dari Realisme sampai Konstruktivisme. Bandung: Nuansa.
Sorensen, R. J. (2013). Introduction to Internasional Relations Theories and Approaches. London: Oxfor University Press.
True, J. (2005). Feminism. In S. B. Linklater, Theories of International Relations (pp. 213-235). New York: Palgrave Macmillan.
Baylis, John dan Steve Smith. 2001. The Globalization of World Politics:An Introduction to International Relation. New York:Oxford University Press
Olivia, Yessi. 2012. Perkembangan Ilmu Hubungan Internasional.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar