Menurut Eby Hara,
terdapat dua perdebatan utama dalam metodologi ilmu Hubungan Internasional.
Pertama, yaitu antara pendekatan metodologi tradisional atau klasik melawan saintifik
pada akhir tahun 1960-an dan yang kedua antara positivis/empiris melawan
post-positivis pada tahun 1980-an hingga sekarang (Eby Hara, 2011:18). Sedangkan
perdebatan yang membahas isi dari ilmu Hubungan Internasional itu sendiri yaitu
perdebatan antara Liberalisme dengan Realisme dan perdebatan antara Neo Realis,
Neo Liberalis dan Neo Marxisme.
Perdebatan pertama
yaitu antara Realisme dengan Liberalisme. Perdebatan itu membahas mengenai cara
pandang bagaimana sifat manusia. Menurut kaum Liberalisme, manusia pada
dasarnya memiliki sifat dasar yang baik dan memilih bekerja sama daripada
berperang. Namun, asumsi tersebut dipecahkan oleh kaum Realisme yang memandang
pada dasarnya sifat alamiah manusia itu buruk, mementingkan diri sendiri, suka
berperang, dan menempatkan aspek militer diatas segala-galanya. Hal itu
terbukti ketika Perang Dunia Pertama pecah di Eropa. menurut Realisme, hal itu
menunjukan bahwa negara pada dasarnya akan selalu berkonflik dengan negara lain
demi memenuhi kepentingan nasionalnya (Olivia, 2012:7)
Perdebatan kedua antara
Tradisionalis dengan Behavioralis atau Saintifik. Perdebatan tersebut membahas
bagaimana cara mendapatkan ilmu Hubungan Internasional. Tradisionalis memandang
bahwa dalam memahami Hubungan Internasional, peneliti harus terlibat langsung
dalam penelitian tersebut atau dengan kata lain Tradisionalis itu tidak bebas
nilai. Sedangkan menurut kaum Behavioralis, dalam memandang Ilmu Hubungan
Internasional seperti ilmu pengetahuan alam, peneliti tidak harus terlibat langsung
dengan objek penelitian. Objek penelitian diandaikan objek yang diteliti dalam
sebuah laboratorium (Olivia, 2012:8).
Perdebatan ketiga yaitu
antara Realisme, Liberalisme dan Marxisme. Pada dasarnya, perdebatan ketiga
teori ini berfokus pada aktor yang terlibat dalam hubungan internasional.
Menurut Realisme, aktor dominan dalam Hubungan Internasional adalah negara.
Menurut Liberalisme aktor dalam Hubungan Internasional bukan hanya saja negara,
akan tetapi ada aktor non negara yang memiliki peran sepeti IGO, NGO, MNC dan
lain lain. Sedangkan menurut kaum Marxisme, klasifikasi aktor itu berdasarkan
kelas seperti kelas proletar dan borjuis (Olivia, 2012:5).
Perdebatan yang keempat
antara Positivist dengan Post Positivist. Perdebatan ini membahas mengenai hubungan
antara dengan teori. Menurut kaum Post Positivist, penelitian tidak terlepas
antara nilai dan bias peneliti. Oleh karena itu, setiap teori memiliki pesan
tersembunyi yang dibawa oleh peneliti tersebut (Olivia, 2012:11). Positivist
diwakili oleh teori-teori mainstream seperti Realisme, Liberalis, Neo Realis,
Neo Liberalis, sedangkan Post Positivist diwakili oleh teori kritis, feminism,
poststrukturalisme, postkolonialisme.
Teori
Mainstream dalam Ilmu Hubungan Internasional
Dalam Hubungan
Internasional terdapat perspektif, teori dan konsep yang terdapat dalam Hubungan
Internasional. Beberapa teori mainstream atau teori utama yang menjadi akar
berbagai konsep Hubungan Internasional lainnnya. Diantaranya adalah Realisme,
Liberalisme, Neo-Realisme, dan Neo-Liberalisme.
Teori
Realisme Klasik
Menurut Dunne dan
Schimdt, Realisme adalah teori dominan dalam Hubungan Internasional karena
mampu menjelaskan fenomena perang antarnegara pada masa lampau (Baylis dan
Smith, 2001:141). Karena Realisme memandang bahwa negara harus memenuhi
kepentingan nasional dengan cara bekerjasama dan berkonflik. Bagi kaum
Realisme, negara harus memiliki power yang diasosiasikan kekuatan militer.
Negara yang kuat secara militer mampu menyerang negara yang lemah secara
militer.
Realisme merupakan
teori yang menyatakan bahwa negara adalah satu-satunya aktor dalam Hubungan
Internasional. Setiap aktivitas interaksi aktor Hubungan Internasional harus
dikaitkan dengan aktor negara. Realis memiliki akar budaya yang sangat panjang
sejak zaman yunani kuno, tradisi itu dimulai dari Thucydides (400BC),
Machiavelli (1513), Hobbes (1651), Hume (1741), Clausewitz (1832), Morghentau
(1948), Organski (1958), Waltz (1979), Giplin (1981) (Schimdt, 2002).
Terdapat tiga asumsi
utama Realisme yaitu Statism, Survival,
Self helps (Dunne dan Schimdt, 2001:155 dalam Eby Hara, 2011:35). Aktor
negara harus memaksimalkan segala sumber daya untuk memperkuat pertahanan dalam
menyerang atau bertahan apabila berkonflik dengan negara lain. Karena, asumsi
mereka sistem internasional itu anarki atau tidak ada kekuasaan diatas negara.
Oleh karena itu, setiap negara harus memperkuat militer untuk menghadapi sistem
internasional yang keras.
Hobbes dan Machiavelli
merupakan dua tokoh Realisme yang memandangan bahwa pada dasarnya sifat alamiah
manusia itu harus mampu memenuhi kepentingan dirinya sendiri dengan menaklukan
orang lain atau homo homini lupus
(manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) (wilkinson, 2007:17). Dalam
level negara, hanya negara yang mempu membantu dirinya sendiri, oleh karena itu
negara harus bersaing dengan negara lainnya dan siap berkonflik untuk memenuhi
kepentingan nasional masing-masing.
Realisme memandang
aktor lain selain negara tidak memiliki peran dalam Hubungan Internasional.
Karena, negara merupakan komunitas yang memiliki kedaulatan terhadap suatu
wilayah (Eby Hara, 2011:35). Dalam pandangan Realisme, sistem internasional
ialah tempat negara untuk mencari power. Karena dengan power yang besar dan
kuat, negara mampu menguasai negara lain. Power tersebut dapat berupa hard
power seperti kekuatan militer ataupun soft power berupa kekuatan ekonomi.
Terdapat beberapa
konsep yang dikenal dalam perspektif Realisme seperti, sistem anarki, balance of power, kapabilitas,
kepentingan nasional, power, dan kedaulatan. Sistem Anarki merupakan ketiadaan
otoritas di atas negara dalam sistem internasional. Maksudnya negara dapat
melakukan apa saja demi kepentingan nasional tanpa perlu takut dihukum oleh
otoritas tertinggi, karena tidak ada otoritas tertinggi diatas negara. Hal ini
berikatan erat dengan konsep power yang harus dimiliki oleh negara agar mampu
berkompetisi dengan negara lain. Power juga berkaitan dengan kapabilitas yaitu
kemampuan negara dalam hal ekonomi, militer, sosial, wilayah, rakyat dan politik.
Akan tetapi, peningkatan kapabilitas tiap negara akan direspon oleh negara lain
sebagai ancaman, maka negara lain juga akan meningkatkan kapabilitasnya demi
mencapai balance of power.
Teori
Liberalisme
Perspektif yang kedua
yaitu Liberalisme. Liberalisme merupakan antithesis dari Realisme, karena
hamper setiap asumsi kedua perspektif tersebut bertentangan satu sama lainnya.
Dalam asumsi dasar Liberalisme menyatakan bahwa pada dasarnya sifat alamiah manusia
itu adalah baik. Manusia diberikan kebebasan sepenuhnya untuk melakukan apa
saja tanpa terikat oleh aturan negara. Kaum liberalisme percaya bahwa demokrasi
merupakan sistem terbaik bagi sebuah negara karena memberikan kebebasan kepada
individu.
Menurut pandangan
liberalisme, individu harus dberikan kesempatan berkespresi dalam berbagai
bidang dan mampu berperan dalam Hubungan Internasional. Serta membuka
seluas-luasnya perdagangan interansional. Hal ini sesuai dengan asumsi dasar
liberalisme yang mengagungkan perdamaian, kebebasan, dan hubungan kepercayaan
antar aktor Hubungan Internasional (Dunne, 2001).
Menurut kaum
liberalisme, aktor dalam Hubungan Internasional tidak hanya aktor negara, akan
tetapi individu, kelompok, organisasi memiliki peran dalam Hubungan
Internasional sehingga layak dikategorikan sebagai aktor Hubungan
Internasional. Istilah lain untuk perspektif ini adalah liberal
internasionalisme, liberal institusionalisme, dan transnasionalme (perwita dan
yanyan, 2006:27)
Immanuel kant dan Jeremy Bentham merupakan
ilmuan Hubungan Interansional yang menawarkan perspektif Liberal
Internasionalime. Kant memiliki sebuah ide yang dituangkan dalam sebuah tulisan
terkenal yaitu “Perpetual Peace”. Dalam perpetual peace, terdapat beberapa ide
yang kant tawarkan demi perdamaian dunia. Pertama, tidak boleh membentuk sebuah
perjanjian perdamaian yang memiliki maksud terselubung. Maksudnya, jangan
membentuk sebuah perjanjian yang dimaksudkan untuk peperangan di masa depan.
Kedua, tidak boleh menghacurkan negara berdaulat. Maksudnya, sebuah negara
dilarang menyerang negara lain, karena tiap negara memiliki kedaulatan
masing-masing. Ketiga, tidak dibenarkan perlombaan senjata. Menurut kant,
negara harus mulai menghapus miles pepetuus atau tentara tetap, karena
keberadaan tentara akan menghambat perdamaian. Keempat, tidak boleh pemberian
utang terhadap negara lain untuk membiayai perang. Kelima, tidak boleh negara
memaksa untuk mencampuri urusan negara lain karena pada dasarnya tiap negara
memiliki kedaulatan masing-masing yang harus dihormati. Keenam, tidak boleh
melakukan perang dengan pembunuhan gelap, meracuni, melanggar hukum perang
(Dunne dalam Baylis dan Smith, 2001).
Menurut Bentham, untuk
menciptakan sebuah perdamaian di dunia, tiap negara harus menahan ego untuk
mencapai kepentingan nasional. Jalan keluarnya adalah pembentukan federasi
negara seperti German Diet, American Federation dan Swiss League. Selain itu,
diperlukan pembentukan common tribunal (pengadilan umum) untuk menengahi
konflik antar negara (Dunne dalam Baylis dan Smith, 2001). Terdapat beberapa
konsep umum yang ada dalam perspektif liberalisme yaitu, collective security,
integrasi, pluralisme, enlightment, dan idealism.
Teori
Neo Realisme
Perspektif selanjutnya
adalah Neo Realisme yaitu sebuah perspektif turunan dari Realisme. Akan tetapi,
terdapat perbedaan mendasar antara Realisme dan Neo Realisme yang terletak pada
pemahaman mengapa sebuah negara berperilaku. Menurut Realisme, negara akan
melakukan apa saja karena untuk memenuhi kepentingan nasionalnya karena itu
sifat alamiahnya dengan cara bekerja sama ataupun berkonflik dengan negara
lain. Sedangkan bagi Neo Realisme, sifat negara yang mengejar kepentingan
nasional disebabkan oleh sistem internasional yang berlaku pada saat itu. Maksudnya,
negara berperilaku untuk merespon keadaan sistem internasional.
Kenneth Waltz merupakan
ilmuan Hubungan Internasional yang menawarkan perspektif ini. Menurutnya,
perilaku negara ditentukan oleh sistem internasional yang berlaku saat itu
(Dunne dan Schimdt dalam Baylis dan Smith, 2001:148). Antara Realisme dan Neo
Realisme memiliki pemahaman yang sama dalam sistem internasional yaitu anarki.
Oleh karena itu, sistem anarki yang menunjukan ketiadaan otoritas di atas
negara menyebabkan negara harus memenuhi kepentingan nasionalnya dan
menariknya, Neo Realisme menyatakan bahwa keadaan ini memaksa negara harus
melakukan kerjasama dengan negara lain untuk memenuhi kepentingan nasional
(O’Callaghan dan Griffiths, 2002:2). Hal itu terjadi karena negara merupakan
aktor yang rasional, yaitu harus memaksimalkan keuntungan dan menimalkan
kerugian.
Salah satu ilmuan
Hubungan Internasional aliran Neo Realis yaitu Joseph Grieco (1988) menjelaskan
mengenai sifat negara dalam sistem internasional yaitu absolute gain dan relative
gain. Absolute gain adalah konsep negara yang ingin memenuhi kepentingan
nasional dan meningkatkan kapabilitas akan mencari kerjasama dengan negara lain
agar kepentingan negara masing-masing dapat tercapai. Sedangkan, relative gain
ialah konsep negara yang akan memenuhi kepentingan nasional dengan bekerja sama
dengan negara lain akan tetapi berusaha mendominasi keuntungan dari negara lain
(Lamy dalam Baylis dan Smith, 2001:186).
Teori
Neo Liberalisme
Perspektif yang
terakhir adalah Neo Liberalisme yaitu turunan dari perspektif liberalisme.
Asumsi dasar Neo liberalisme adalah terdapat aktor selain negara dalam Hubungan
Internasional. Negara memang aktor penting dalam Hubungan Internasional, tapi
tidak berlaku signifikan karena terdapat aktor lain yang mampu mempengaruhi
rumusan kebijakan luar negeri sebuah negara (Lamy dalam Baylis dan Smith,
2001:189).
Perbedaan mendasar
antara liberalism dan Neo liberalism ialah dalam hal institusi. Bagi Neo
liberalism, institusi mampu menjadi jalan keluar bagi negara untuk melakukan
kerjasama dan menghindari konflik. Institusionalime dapat berbentuk organisasi
internasional, birokrasi, perjanjian, traktat, dan kebiasaan-kebiasaan yang
telah disepakati secara internasional (Lamy dalam Baylis dan Smith, 2001:190).
Teori Neo-Liberalisme adalah teori yang berusaha
untuk menghilangkan potensi-potensi konflik melalui institution sebagai
instrumen utamanya. Institusi secara umum didefinisikan sebagai seperangkat
aturan, dan praktek-praktek yang menentukan peran, memaksakan tindakan, dan
membentuk pengharapan. Menurut Neo-Liberalisme sifat dasar interaksi antar
negara yakni kompetitif dan kadang-kadang konflik tetapi lebih sering bersifat
kerjasama pada bidang ekonomi dan isu-isu lainnya. Teori Neo-Liberalisme
membantu menjelaskan bagaimana peranan dari sebuah institusi sebagai wadah
untuk menjalin kerjasama. Mengenai institusi ini, Kaum Neo-liberal
Institusionalisme percaya dapat mengurangi “verification costs, create
iterativeness and make it easier to punish cheaters”. Sehingga
negara sebagai aktor yang rasional akan lebih memilih bekerjasama dari pada
berkonflik, karena dengan bekerjasama mereka saling mendapatkan keuntungan.
Dengan adanya kerjasama tersebut, maka akan tercipta interdependency yang dalam
pandangan Neo-Liberisme merupakan refleksi dari perdamaian (O’Keohane, 1989:3).
Neo Liberalism mengakui
bahwa dalam hubungan antara dua negara tidak akan terlepas dari konflik
kepentingan. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah institusi atau organisasi yang
mampu mengakomodasi tiap-tiap kepentingan masing-masing negara anggota. Contoh
dari institusi seperti ASEAN, UE, APEC, OPEC, Liga Arab dan lain lain.
Tergabungnya sebuah negara dalam institusi dianggap sebagai cara lain memenuhi
kepentingan nasional dari pada harus berhadapan langsung dengan negara lain
dalam perang untuk memperebutkan kepentingan nasional. Cara itu lebih elegan
dan bijak bagi sebuah negara untuk tetap memelihara perdamaian di dunia.
Pendekatan Reflektivisme
Menurut Keohane,
Terdapat empat teori yang dapat dikategrikan sebagai pendekatan Reflektivisme.
Pendekatan Reflektivisme merupakan pendekatan yang menawarkan alternative lain
dalam memandang dunia. Pendekatan ini berlawanan dengan pendekatan Rasionalist
yang didominasi oleh Teori Neo Realis dan Neo Liberalisme. Sebelum menjelaskan
perbedaan kedua pendekatan tersebut, akan dijabarkan beberapa argumen dari
pendekatan Reflektivisme yang terdiri atas Teori Kritik, Post Strukturalisme,
Feminisme dan Konstruktivisme.
Teori
Kritis
Teori Kritis
dikembangkan oleh Aliran Frankfurt pada tahun 1920an. Pemikiran mereka
dipengaruhi oleh gerakan Nazi yang mendominasi Jerman pada waktu itu. Ilmuwan
generasi pertama aliran Frankfurt yaitu Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan
Herbert Marcuse. Ilmuan yang paling terkenal dari aliran Frankfurt ialah Jurgen
Habermas yang banyak memberikan inspirasi mengenai teori Kritis (Hobden dan
Jones dalam Baylis, 2001:214).
Setidaknya ada tiga prinsip dasar dari Teori Kritis dalam menilai dan
memahami suatu fenomena, kejadian, fakta yang ada dalam kenyataan. Ketiga
prinsip inilah yang akan menjadi acuan
utama Teori Kritis untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang ada.
1. Emancipation
Emancipation adalah kebebasan bagi semua manusia untuk mengeluarkan pendapatnya,
melakukan sesuatu, dan juga untuk mendapatkan keadilan sosial. Emacipation
berkaitan dengan penemuan jati diri, kontrol terhadap kehidupan sendiri, dan
kebebasan untuk berinteraksi dengan manusia lainnya secara harmonis. Emancipation bertujuan untuk menjaga
kebebasan, hubungan interaksi, menghindari komunikasi yang menyimpang, dan juga
menghindari adanya pemahaman yang membatasi kemampuan sesorang untuk berbuat
atau pun bertindak untuk membuat masa depannya lebih baik.
Emancipation berupaya menghilangkan hambatan-hambatan yang mengganggu seseorang
untuk melakukan sesuatu secara bebas. Bebas di sini bukan berarti bahwa kita
dapat melakukan sesuatu semau kita, tetapi lebih kepada kemampuan kita untuk melakukan
sesuatu secara merdeka. Melakukan sesuatu murni karena keinginan pribadi, tanpa
tekanan, tanpa intimidasi maupun penindasan. Jadi meskipun ada aturan hukum
yang akan menjadi pengontrol dalam kehidupan, tidak serta merta hukum tersebut
mengekang kita untuk mendapatkan keadilan sosial atau pun memperjuangkan masa
depan kita yang lebih baik. Jika hukum tersebut
tidak adil, maka harus direvisi. Jadi hukum harus mengedepankan unsur
ekualitas. Karena semua orang itu adalah setara. Oleh karena itu, biasanya emancipation ini diperjuangkan untuk
membela pihak yang lemah.
2. Communicative Action
Communicative Action adalah suatu komunikasi yang dilakukan secara
sadar (intersubjective) untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan lebih
adil. Komunikasi ini dilakukan untuk menghindari adanya penindasan terhadap
kaum yang lemah. Namun komunikasi tidak akan berjalan lancar dan seimbang jika
kedua belah pihak tidak setara. Oleh karena itu, diperlukannya emancipation agar semua pihak tidak ada
yang berada dalam tekanan, intimidasi, maupun ketertindasan.
Untuk menyelesaikan suatu permasalah kita harus melakukan dialog,
diskusi, dan komunikasi untuk menyampaikan keyakinan dan tindakan kita secara
jelas kepada orang lain. Dengan melakukan komunikasi, tentunya akan memberikan
kesempatan bagi semua orang untuk menerima ataupun menentang (menolak) keyakinan
kita tersebut. Sehingga akan terjadi kesalingpahaman dan kesalingpengertian,
proses pembelajaran bersama, dan berbagi ide untuk kebaikan bersama. Dengan demikian, kita tidak hanya
mengedepankan ego dan kepentingan kita sendiri. Melainkan juga kita akan
mempertimbangkan pemikiran dan pandangan orang lain. Karena tujuan Communicative Action adalah untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik dan lebih adil.
3. Cosmopolitan Ethics
Cosmopolitan Ethics bertujuan untuk menghilangkan gagasan bahwa
loyalitas harus difokuskan pada negara tertentu. Dalam Cosmopolitan Ethics, manusia bukan hanya sebagai warga dari negara
tertentu, tetapi lebih dari itu. Manusia harus memiliki solidaritas terhadap
manusia lainnya meskipun mereka tidak berada dalam satu wilayah geografis.
Tujuannya adalah ingin membentuk suatu organisasi yang lebih kosmopolitan dan
desentralisasi terhadap peran negara. Menurut Andrew Linklater, ada tiga bentuk
Cosmopolitan Ethics, yaitu:
·
Masyarakat Pluralis, di
mana prinsip-prinsip koeksistensi menjadi landasan untuk menghargai kebebasan.
·
Masyarakat yang
memiliki solidaritas kemanusia.
·
Kerangka
post-westphalia, yaitu dengan menghilangkan (melepaskan) beberapa kedaulatan
negara agar bisa melembalagan norma moral dan politik bersama.
A. Posisi
Teori Kritisterhadap 4 Prinsip Ilmu Pengetahuan Positivis
Dalam
pandangan kaum positivis, sebuah ilmu pengetahuan harus memiliki 4 prinsip
utama yaitu Netral (tidak memihak), Objektif (terlepas dari pengaruh
nilai-nilai seperti ideologi, agama,
budaya, maupun yang lainnya), Absolut (tidak terbantahkan dan mampu menjelaskan
semua permasalahan), dan Universal (tidak terbatas oleh ruang dan waktu,
kapanpun dan dimanapun dapat diaplikasikan). Berikut adalah pandangan Teori
Kritisterhadap 4 prinsip ilmmu pengetahuan tersebut:
1. Netral;
tidak. Ilmu pengetahuan harus memihak pada pihak yang lemah. Prinsip Teori
Kritisadalah “theory is always for someone and for some purpose”. Teori
ditujukan untuk tujuan emansipasi.
2. Objektif;
tidak. Teori Kritismenolak asumsi bahwa fakta, nilai, objek, dan subjek harus
dipisahkan. Etika seharusnya disatukan.
3. Absolut;
tidak. Teori Kritistidak berasumsi bahwa ilmu pengetahuan bersifat “kebenaran
abadi”. Tetapi merupakan cerminan dari kondisi sejarah dan sosial yang
melingkupi waktu tertentu dari lahirnya ilmu pengetahuan tersebut.
4. Universal; tidak. Ilmu pengetahuan harus terkondisikan
oleh waktu dan tempat tertentu. Karena permasalahan yang terjadi selalu
berkembang dan dinamis. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan harus menyesuaikan
pada budaya dan ideologi wilayah tersebut.
Teori
Post-strukturalisme
Post-strukturalisme
merupakan pendekatan yang mengkritisi ilmu sosial terlebih ilmu Hubungan
Internasional dalam pendekatan metodologinya. Kaum Post-strukturalisme percaya
bahwa ilmu sosial dapat disamakan dengan ilmu alam dalam metodologi kuantitatif
(Jackson dan Sorensen, 2013:233). Post-strukturalisme mengkritik positivist atau
rasionalist yang cenderung melakukan penelitian berdasarkan metodologi.
Positivist memandang dunia politik sebagai sebuah perilaku yang berulang-ulang
sehingga dapat diprediksi hasil akhirnya, namun kaum Post-strukturalisme tidak
percaya terhadap empiris.
Teori
Post-modernisme
Sama
halnya dengan Post-struktulisme, Post-modernisme juga merupakan teori
alternative yang mengkritik teori mainstream Hubungan Internasional. Menurut
kaum Post-modernisme, sebuah ilmu pengetahuan dibentuk oleh siapa yang berkuasa.
Siapa yang memiliki power, maka dia mampu untuk menciptakan pengetahuan yang
sesuai dengan kepentingan sang pemilik power.
Hubungan
antara kekuasaan dan ilmu pengetahuan dalam Hubungan Internasional menurut
Foucault pada dasarnya haruslah terpisah. Ilmu pengetahuan harus berdiri
sendiri dan berisi kebenaran-kebenaran yang hakiki. Ilmu pengetahuan seharusnya
bersifat objektif, bebas nilai, bebas kepentingan dan murni. Oleh karena itu,
Post-modernisme muncul sebagai teori yang mempertanyakan bagaimana seharusnya
ilmu pengetahuan dipisahkan dengan kekuasaan atau power (Devetak, 2005:161).
Post-modernisme
berkaitan dengan Genealogi, yaitu suatu jenis pemikiran historis yang
mengungkap dan mencatat signifikansi dalam relasi kekuasaan-pengetahuan.
Maksudnya, Genealogi muncul sebagai pemikiran kritis terhadap relasi antara
kekuasaan dan pengetahuan. Genealogi berusaha membongkar pemikiran tentang
sebuah sejarah yang memiliki fakta berbeda dengan apa yang kita ketahui.
Contohnya, sejarah 30 S PKI, pada zaman Presiden Suharto, sejarah PKI
dikonstruksikan demi kepentingan dirinya sendiri. Padahal kemungkinan
terjadinya fakta lain bisa saja ada, akan tetapi kelanggengan kekuasaan Suharto
menutup hal tersebut. Sehingga kebenaran sejarah mengenai 30 S PKI ialah cerita
yang dirangkai oleh penguasa.
Foucault
menciptakan istilah rezim kebenaran atau regimes
of truth sebagai kata kunci untuk merujuk atas hal ketika kebenaran dan
kekuasaan sama-sama dihasilkan dan bertahan. Istilah tersebut berkaitan dengan
apa yang diyakini sebagai kebenaran, sesuai dengan aturan atau criteria yang
yang menunjukan proposisi yang benar dari yang salah, serta menunjukan
bagaimana keyakinan yang memiliki status kebenaran membentuk praktik dan
institusi sosial (Devetak, 2005:248).
Der
Derian berpendapat bahwa Post-modernisme berkaitan dengan upaya untuk
menunjukan adanya saling berpengaruh tekstual di balik kekuasaan politik.
Tekstualitas merupakan tema umum Post-modernisme. Untuk menyebarkan pandangan
saling pengaruh tekstual, Post-modernisme menggunakan konsep Dekonstruksi dan Double Reading atau pembacaan ganda. Konsep
Dekonstruksi yaitu sebuah cara umum atas apa yang secara radikal berubah-ubah
dianggap sebagai konsep baku dan lawan konseptual. Sedangkan pembacaan ganda
merupakan strategi tiruan yang secara simultan tepat dan tajam (Devetak, 2005) .
Teori
Feminisme
Teori Feminisime
merupakan teori alternative dalam Ilmu Hubungan Internasional. Dalam teori
mainstream Hubungan Internasional memfokuskan diri kepada negara, power,
diplomasi, perang, hukum internasional, kebijakan luar negeri dan lain-lain
tanpa adanya suatu referensi mengenai apa yang pada hakikatnya disebut
‘laki-laki’ dan ‘perempuan’. Fokus hubungan internasional kepada hal yang
abstrak seperti negara, pasar, sistem menjadi dominasi dalam kepentingan sebuah
negara yang telah menggeser hakikat manusia sebagai pelaku hubungan
internasional. Hal itu lebih tepatnya dapat disebut sebagai tindakan laki-laki
untuk negara (True, 2005) .
Menurut
Feminisme, Hubungan Internasional terlalu berfokus kepada laki-laki atau
maskulinitas. Tidak pernah memperhitungkan kajian tentang perempuan dan gender.
Seharusnya Hubungan Internasional menurut ilmuan aliran Feminisme merupakan
suatu disiplin yang tidak terpisah dari praktik pemisahan gender dan realitas
hierarki gender atau dengan kata lain, Feminisme telah disingkirkan dari kajian
Hubungan Internasional seperti perempuan yang tidak memiliki hak untuk terlibat
dalam panggung politik (True, 2005) .
Menurut
Cynthia Enloe dalam bukunya yang berjudul Bananas,
Beaches, and Bases: Making Feminist of International Politics menjelaskan
bahwa kajian Feminis merupakan kajian yang sangat penting akan tetapi tidak
dihiraukan oleh Ilmu Hubungan Internasional. Posisi wanita di beberapa aspek
strategis seringkali diabaikan semisal dalam bidang ekonomi, wanita selalu
dijadikan korban, gaji kecil, pangkat rendah, dan wanita selalu diasosiasikan
bekerja untuk mengurusi hal yang sepele seperti mencuci, memasak, menyapu dan
lain-lain (Sorensen, 2013) .
Teori
Sosial Konstruktivisme
Hal
mendasar yang perlu diketahui bahwa Sosial Konstruktivisme merupakan jembatan
penghubungan bagi teori rasionalist dan teori reflektivis. Konstruktivisme
melihat dunia seperti sebuah proyek yang sedang dikerjakan, seperti menjadi
apa, bukan apa adanya. Tidak seperti idealism dan post strukturalisme dan
posmodernisme, yang mengambil dunia hanya karena dapat dibayangkan atau
dibicarakan, konstruktivisme menerima bahwa tidak semua laporan memiliki nilai
epistemic yang sama dan bahwa sebagai konsekuensinya, ada beberapa dasar
pengetahuan.
Dalam kajian teori mainstream Hubungan
Internasional, selalu berfokus kepada hal yang bersifat materialis, bagaimana
distribusi, power, militer, ekonomi yang mempengaruhi keseimbangan kekuatan dan
menjelaskan perilaku negara, sedangkan konstruktivisme memfokuskan kepada
kesadaran manusia dan tempatnya di dunia (Sorensen, 2013) (Hara, 2011) .
Daftar
Pustaka
Devetak, R. (2005). Postmodernism. In S. B. Linklater,
Theories of International Relation (pp. 161-188). New York: Palgrave
Macmiillan.
Hara, A. B.
(2011). Pengantar Analisis Politik Luar Negeri dari Realisme sampai
Konstruktivisme. Bandung: Nuansa.
Sorensen, R. J.
(2013). Introduction to Internasional Relations Theories and Approaches.
London: Oxfor University Press.
True, J. (2005).
Feminism. In S. B. Linklater, Theories of International Relations (pp.
213-235). New York: Palgrave Macmillan.
Baylis, John dan Steve Smith. 2001. The Globalization of World Politics:An
Introduction to International Relation. New York:Oxford University Press
Olivia, Yessi. 2012. Perkembangan Ilmu Hubungan Internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar