Selasa, 10 Februari 2015

Jakarta di Masa Depan

Jakarta bagaikan bejana yang berisi gula yang diincar oleh jutaan semut. Gambaran itu yang terjadi saat ini, Jakarta menyediakan segalanya yang dibutuhkan oleh manusia modern. Pekerjaan, objek wisata, mall, sekolah elite, tekhnologi, semuanya tersedia di kawasan yang tak lebih dari satu juta hektar ini. Hampir semua rakyat Indonesia ingin datang ke Jakarta untuk sekedar melihat Istana Presiden, melihat Gedung DPR yang katanya suka rebut atau bahkan menggantungkan impian di kota metropolitan ini.
Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI tidak bisa serta merta menyalahkan atau bahkan melarang orang daerah datang ke Jakarta. Karna Jakarta masih bagian dari Indonesia dan semua orang berhak untuk berlalu lalang di Jakarta. Masalah muncul ketika Jakarta tidak mampu lagi memberikan tempat yang nyaman dan keamanan bagi orang pendatang.
Motif orang datang ke Jakarta bermacam-macam seperti, bekerja, belajar, jalan-jalan, bertemu klien, unjuk rasa, berdagang, dan lain-lain. Mereka datang membawa kendaraan pribadi entah itu motor dan mobil atau menggunakan kendaraan umum bahkan berjalan kaki.
Saat ini, jalanan Jakarta sudah tidak mampu lagi menampung aspirasi kendaraan yang lewat secara cepat. Macet bagaikan kata kerja yang selalu diucapkan orang-orang ketika berada di Jakarta. Macet bagaikan nama tengah kota Jakarta, “Jakarta Macet Raya”. Berbagai cara sudah dilakukan oleh Pemprov DKI sejak zaman Gubernur Sutiyoso hingga saat ini Gubernur Basuki.
Menurut data Polri, terdapat sekitar 11 juta kendaraan bermotor yang terdiri atas 8 juta kendaraan roda dua dan 3 juta kendaraan roda empat. Sedangkan, panjang jalan di Jakarta hanya sekitar 7.650 km serta luas sekitar 40,1 km.
Pemberlakuan 3 in 1 di beberapa jalanan ibukota, pembangunan sistem transportasi terintegritas Busway, KRL, APTB, sistem ERP, bahkan hingga peraturan yang menurut saya diskriminasi bagi pengendara motor yaitu pelarangan motor memasuki jalan MH Thamrin.
Menurut saya sebagai orang pinggiran Jakarta[1], masalah transportasi yang disediakan oleh Pemprov DKI sudah bervariasi dan cukup untuk menampung para pengguna kendaraan bermotor di Jakarta. Masalah muncul ketika aspek kenyamanan tidak mampu dipenuhi oleh sistem transportasi di Jakarta. Kenyamanan bagi beberapa orang lebih penting dari ongkos transportasi. Mereka lebih memilih membawa kendaraan pribadi yang dingin oleh AC serta nyaman duduk di Jok yang mewah ketimbang berdiri sambil berpanas ria di dalam bis kota atau terhimpit di kejamnya KRL ketika jam pulang atau pergi kantor.
Apa yang akan terjadi 20 tahun lagi di Jakarta. Mungkin apabila pertanyaan ini ditanyakan ke Gubernur Basuki, dia akan terdengar seperti berjanji dalam mimpi, yaitu sudah berjanji tapi hanya mimpi. Namun, yang perlu kita optimis, Jakarta akan terbebas dari macet apabila Pemprov DKI mebangun sebuah sistem transportasi yang benar-benar terintegrasi secara holistic.
Penulis sebagai seorang pemimpi di masa depan memiliki beberapa impian yang mungkin bisa menjadi ide untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Pertama, Pembatasan bukan pelarangan. Pemprov DKI harus merubah kata dari pelarangan menjadi pembatasan, pembatasan jumlah kendaraan yang dijual di Jakarta, pembatasan kendaraan yang terdaftar di Samsat Polisi serta pembatasan umur kendaraan maksimal 10 tahun. Hal ini perlu dilakukan agar jumlah kendaraan di Jakarta semakin berkurang walaupun sedikit. Karna tidak aneh saat ini satu garasi rumah berisi 2 atau lebih mobil dan satu orang memiliki 2 atau lebih mobil.
Kedua, Peremajaan kendaraan umum. Jika melihat bis kota di Jakarta, rasanya miris sekali, sebuah bis kota tua yang kacanya pecah dimana-mana masih mampu dan boleh beroprasi di Jakarta. Pemerintah Pemprov DKI harus tegas terhadap perusahaan bis kota untuk melakukan peremajaan bis dan kendaraan umum lainnya. Hal ini terkait dengan kenyamanan para penumpang, apabila bis terasa nyaman dan wangi, maka penumpang akan beralih ke transportasi umum yang nyaman dan lebih efisien ketimbang naik mobil pribadi yang mahal bahan bakarnya. Ketiga, bangun sistem transportasi yang benar-benar terintegrasi. Saat ini KRL memang sudah mumpuni dari segi kenyamanan dan jumlah, akan tetapi belum tegintegrasi dengan transportasi lainnya seperti busway. Pemprov DKI harus membangun sebuah sistem satu terminal terdiri atas beberapa alat transportasi seperti KRL, Busway, MRT, bahkan terintegrasi ke Sukarno-Hatta. Hal ini memberikan kenyamanan dan efektivitas bagi pengguna yang akan melakukan perjalanan dari atau ke Jakarta menggunakan beberapa transportasi.
Keempat, tarik subsidi BBM dari Jakarta. Terkadang penulis sering melihat sedan mewah ratusan juta diisi oleh premium. Dari segi mesin, itu sama saja seperti memberikan bayi minum Ale-Ale[2] yang akan merusah pencernaan. Dari segi sasaran subsidi, hal itu menunjukan bahwa subsidi tidak tepat sasaran. Seharusnya subsidi dinikmati oleh kalangan menengah kebawah. Apabila harga bbm di Jakarta lebih mahal, maka orang akan mulai berpikir untuk berpindah ke transportasi umum yang lebih efisien. Dengan catatan bahwa subsidi bbm tetap diberikan ke transportasi umum dengan pengawasan yang ketat. Kelima, penyuluhan budaya berhemat dan sehat. Mungkin budaya hemat dan sehat dapat dimulai dari para pemimpin di negeri ini. Ketika para bos-bos perusahaan besar beralih ke transportasi umum, ketika para pegawai negeri dan anggota DPRD mulai ”bike to work”. Contoh itu akan diikuti oleh para bawahan mereka secara sukarela ataupun terpaksa.
Jakarta 20 tahun mendatang memang masih misteri bagi kita, namun beberapa pengamat dari berbagai bidang sudah menjelaskan bahwa Jakarta akan semakin macet dan tidak nyaman apabila Pemprov DKI tidak melakukan pembenahan dari sekarang. Tidak menutup kemungkinan, pusat pemerintahan memang perlu dipindahkan untuk menggiring dan memecah konsentrasi kepadatan penduduk di negeri ini.



[1]Penulis bermukim di Bogor
[2] Minuman ringan yang dijual di pinggir jalan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar