Jumat, 28 Maret 2014

Peran International Organization for Migration dalam menangani maslaah pengungsi Afghanistan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah Dalam studi Hubungan Internasional, masalah Pengungsi dapat dikategorikan sebagai soft issue. Berbeda halnya dengan hard issue seperti peperangan, nuklir, genoside, dan perlombaan senjata. Walaupun begitu, masalah pengungsi telah menjadi perhatian khusus dari komunitas internasional karena jumlahnya terus meningkat dan berdampak langsung terhadap keamanan nasional sebuah negara (Nainggolan, 2009:4). Letak Indonesia yang strategis dengan diapit dua benua dan dua samudera menyebabkan perairan Indonesia sangat strategis. Selain itu juga, Indonesia memiliki garis pantai yang sangat panjang sehingga menciptakan celah seperti pelabuhan tradisional yang tak terdeteksi oleh pihak berwenang Indonesia. Posisi geografis Indonesia berpotensi sebagai jalur perdangangan ilegal, perompakan, perdagangan narkoba internasional dan menjadi lokasi transit bagi para pengungsi atau pencari suaka yang ingin menuju Australia (Atik Krustiyati, 2012:185). Penyebrangan illegal yang dilakukan oleh para pengungsi ini dianggap sebagai ancaman oleh pihak Indonesia karena telah melanggar hukum keimigrasian Indonesia sesuai dengan UU No.9 Tahun 1992 Pasal 3 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang masuk atau keluar Indonesia harus memiliki surat perjalanan (Yoyok, 2007:43). Dalam kenyataan di lapangan, pihak Indonesia tidak mampu untuk melakukan tindakan preventif dengan mencegah perahu pengungsi yang akan menyebrang masuk ke wilayah Indonesia. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut, yaitu pertama Indonesia tidak memiliki SDM yang mencukupi di lapangan untuk melakukan patrol di seluruh wilayah perairan Indonesia yang sangat luas. Kedua, adanya sindikat people smuggling yang dilakukan oleh oknum masyarakat Indonesia sendiri seperti nelayan bahkan pihak berwenang sehingga dapat mengelabui kapal patrol Indonesia (Roberts Anita, 2002:47). Fenomena kemunculan pengungsi Afghanistan ini seringkali dituduh membawa efek negatif bagi negara transit seperti Indonesia. Para pengungsi berpotensi melakukan tindakan-tindakan kriminal, membebani negara transit dan negara tujuan karena harus menyediakan fasilitas yang diambil dari pajak masyarakat. Hal ini berdampak munculnya penolakan dari masyarakat lokal negara transit dan negara tujuan (Adirini, 2009:7) Indonesia menjadi jalur favorit bagi pengungsi yang ingin berlayar menuju Australia. Kepualaun Riau menjadi gerbang awal para pengungsi karena menjadi wilayah terdekat untuk menyebrang dari Malaysia. Setelah mencapai Riau, pengungsi akan mudah menyebar ke wilayah selatan Indonesia seperti Cianjur, Pelabuhan Ratu, Merak, Rote, dan Lombok untuk kembali menyebrang ke Pulau Christmas, Australia (Nainggolan, 2009:9). Pulau Christmas merupakan pulau yang termasuk ke wilayah Australia, akan tetapi jaraknya lebih dekat dengan Indonesia tepatnya 200 mil laut dari Pulau Jawa. Di pulau tersebut terdapat pusat migrant (detention center) yang didirikan oleh Departemen Imigrasi Australia (Departement of Immigration and Citizenship DIAC) yang berfungsi sebagai tempat penampungan sementara ketika menunggu pemberian permanent visa dari Australia (Amy Nguyen, 2011). Faktor kedekatan secara geografis dan keberadaan detention center menyebabkan pulau Christmas menjadi tujuan favorit bagi pengungsi sebagai pintu masuk ke wilayah Australia. Salah satu contoh kasus penyeberangan pengungsi melalui wilayah Indonesia yaitu tertangkapnya 47 imigran illegal pada 24 April 2009 di Bakauheuni, Merak ketika ingin melakukan pelayaran ke wilayah Australia. Mereka terdiri atas 30 laki-laki, 10 perempuan dewasa dan 7 anak-anak yang berasal dari beberapa negara seperti Afghanistan, Pakistan dan Sri Lanka (Nainggolan, 2009:9). Pada 28 September 2009 Kepolisian daerah NTB menangkap 64 imigran asal Afghanistan yang berusaha untuk menyebrang ke Pulau Christmast melalui pelabuhan tradisional Senggigi Lombok Barat (Edy Gustan, 10 Desember 2009). Luasnya wilayah pantai Indonesia menjadi celah bagi para penyelundup dan pengungsi bekerjasama untuk menyebrang. Di seluruh dunia, masalah pengungsi telah menjadi isu kontemporer yang membutuhkan perhatian khusus dari komunitas internasional. Munculnya pengungsi biasanya disebabkan oleh keadaan buruk dalam segi politik, ekonomi, sosial sebuah negara. Beberapa negara yang menjadi asal pengungsi di seluruh dunia seperti Afghanistan, Irak, Myanmar, Somalia, Kongo (UNHCR Annual Report 2009) Dalam penelitian ini, akan difokuskan kepada pengungsi yang berasal dari Afghanistan. Alasan mengapa penelitian ini memilih pengungsi Afghanistan dikarenakan secara kuantitas pengungsi Afghanistan adalah pengungsi terbesar di seluruh dunia. Pada catatan UNHCR pada tahun 2009, terdapat 2.887.100 jiwa pengungsi Afghanistan yang menyebar ke seluruh dunia (UNHCR Annual Report 2009). Ketika pengungsi Afghanistan tertangkap di Indonesia, mereka akan diperiksa oleh pihak Imigrasi tentang kelengkapan surat. Apabila telah memiliki Attention Letter sebagai Pengungsi yang dikeluarkan oleh UNHCR, maka segala tanggung jawab pengungsi tersebut akan dilimpahkan kepada lembaga internasional yang bertugas untuk menangani pengungsi (Tobing, 2010:16). Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi tanggal 30 September 2002 tentang penanganan terhadap Orang Asing yang menyatakan diri sebagai pengungsi atau pencari suaka, tidak dapat dikenakan sanksi seperti imigran illegal. Namun, mereka akan diserahkan kepada pihak UNHCR dan IOM dalam penanganannya hingga penempatan ke negara ketiga (Tobing, 2010: 17). Di Indonesia terdapat dua organisasi Internasional sekaligus yang menangani masalah pengungsi yang datang dari luar negeri, yaitu UNHCR dan IOM. Dalam penelitian ini, peran IOM dalam menangani pengungsi yang akan dibahas dan dikaji lebih lanjut, sedangkan peran UNHCR akan dibahas untuk mendukung penjelasan peran IOM. Terdapat perbedaan fungsi antara IOM dan UNHCR secara garis besar. Pertama, UNHCR adalah pihak yang berhak menentukan status seseorang sebagai pengungsi atau bukan, sedangkan IOM tidak memiliki hak tersebut. Kedua, UNHCR adalah pihak yang menentukan negara ketiga bagi pengungsi, sedangkan IOM menyediakan fasilitas pemulangan secara sukarela (Voluntary Repatration) ke negara asal pengungsi (Anita Roberts, 2000:33). IOM merupakan salah satu organisasi internasional yang menangani masalah pengungsi di seluruh dunia. Berkantor pusat di Swiss, hingga saat ini IOM sudah memiliki 14 kantor cabang dan 600 staff di Indonesia agar memudahkan pengawasan dan pemberian pelayanan bagi para pengungsi atau pencari suaka di Indonesia (IOM, maret 2013) IOM pertama kali menjalankan fungsinya di Indonesia pada tahun 1979 dalam menangani masalah manusia perahu dari Vietnam di kepulauan Riau (IOM, maret 2013). Hubungan antara IOM dan Indonesia semakin erat ketika tahun 1999 Indonesia telah resmi menjadi pengamat dalam dewan IOM. Indonesia memang menjadi perhatian khusus bagi IOM, karena adanya pengungsi yang berasal dari luar Indonesia yang bertujuan untuk mencari kehidupan yang lebih baik di negara seperti Australia. Hal ini menjadi tantangan bagi IOM selaku pihak yang bertanggung jawab dalam mengatur segala fasilitas pengungsi (IOM Annual Report 2009: 8). Dalam menangani masalah pengungsi, IOM berpedoman pada Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Dalam konvensi Pengungsi 1951 dijelaskan mengenai definisi pengungsi, jenis perlindungan hukum, bantuan dan hak-hak yang diberikan kepada pengungsi (Heru, 2010:76). Terdapat tiga prinsip utama yang terkandung dalam Konvensi Pengungsi 1951 yang terkait erat dengan pengungsi. Pertama, Pasal 31 dijelaskan mengenai pengungsi yang masuk ke sebuah negara secara tidak sah. Negara tersebut tidak dapat menghukum sesuai hukum yang berlaku di negara tersebut. Dan pengungsi diwajibkan melaporkan diri kepada pihak yang berwenang untuk menunjukan alasan kuat atas keberadaan mereka di negara tersebut (UNHCR, 1951:30). Prinsip Kedua, Pasal 32 dijelaskan mengenai pengusiran. Negara yang disinggahi oleh pengungsi tidak dapat melakukan tindakan pengusiran terhadap pengungsi kecuali karena alasan-alasan keamanan nasional dan ketertiban umum. Pengungsi dapat diusir (deportasi) apabila melakukan pelanggaran hukum pidana. Prinsip Ketiga, Pasal 33 masih terkait erat dengan pengusiran dan larangan pengembalian. Maksudnya, pengungsi tidak dapat diusir ke wilayah-wilayah yang berpotensi dapat membahayakan jiwa (UNHCR, 1951:30-31). Berkaitan dengan prinsip pelarangan pengusiran (non refoulment) diatas, terdapat pengecualian yang dijelaskan oleh Ahmad Abu bahwa seorang pengungsi dapat dideportasi dari sebuah negara apabila telah melakukan sebuah kejahatan yang berat namun ia tidak boleh diusir ke negara asal atau negara lain yang dianggap dapat mengancam keamanan dirinya (Ahmad Abu, 2009:46). Hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Tentang Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol tahun 1967. Hal ini menyebabkan Imigrasi Indonesia tidak memiliki hak untuk menetapkan status pengungsi tersebut, karena para pengungsi yang transit di Indonesia berada dibawah pengawasan langsung UNHCR dan IOM (Andi Taletting, 2012). Penentuan mengapa penelitian ini meneliti peran IOM pada tahun 2009, dikarenakan terdapat peningkatan yang signifikan jumlah imigran illegal yang masuk ke Indonesia dibandingkan tahun 2008. Menurut Mitra, Eksternal Relation UNHCR Indonesia, tercatat pada tahun 2008 hanya terdapat 389 imigran illegal yang terdiri atas pengungsi dan pencari suaka, dan pada tahun 2009 terjadi peningkatan hingga 800% yaitu sekitar 2.676 imigran illegal yang masuk ke Indonesia dan sebagian besar berkewarganegaraan Afghanistan (vivanews, 2013). Menurut Raudhatul, peningkatan jumlah pengungsi Afghanistan yang masuk ke Indonesia disebabkan suhu politik di Afghanistan yang memanas paska Pemilu yang dimenangkan oleh Hamid Karzai yang terindikasi dipenuhi kecurangan sehingga menimbulkan konflik bersenjata (2012: 110). Berdasarkan penjelasan diatas, Indonesia merupakan salah satu negara yang terkena dampak arus migrasi pengungsi yang berasal dari Afghanistan, sedangkan Indonesia tidak memiliki perangkat hukum dalam menyikapi masalah pengungsi ini dikarenakan belum meratifikasi Konvensi pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Hal ini menjadi alasan Indonesia mengapa Indonesia tidak memiliki kewajiban formal untuk membantu dan mengakomodasi para pengungsi tersebut. Kehadiran IOM sebagai lembaga internasional yang menangani pengungsi sesuai dengan mandat Konvensi Pengungsi 1951 diharapkan dapat menangani masalah pengungsi Afghanistan di Indonesia. Maka penelitian ini akan fokus dalam membahas mengenai peran IOM dalam menangani masalah pengungsi Afghanistan di Indonesia pada tahun 2009. B. Pertanyaan Penelitian Dalam penelitian ini, terdapat beberapa pertanyaan penelitian yang berguna untuk memfokuskan dan membatasi masalah yang akan dibahas. 1. Bagaimana peran IOM dalam menangani masalah pengungsi Afghanistan di Indonesia pada tahun 2009? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui peranan IOM dalam menangani pengungsi dari Afghanistan di Indonesia. 2. Untuk mengetahui faktor kedatangan pengungsi asal Afghanistan ke Indonesia. Dan manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis, yaitu untuk menambah khazanah ilmu hubungan hubungan internasional dengan topik mengenai penanganan pengungsi. 2. Manfaat praktis, yaitu untuk memberikan kontribusi kepada civitas akademis yang juga meneliti mengenai keberadaan pengungsi Afghanistan di Indonesia. D. Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang membahas tentang penanggulangan masalah pengungsi dan pencari suaka. Skripsi Yoyok Syahputra (Universitas Sumatera Utara, Fakultas Hukum, 2007) yang berjudul “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Penyalahgunaan Keimigrasian menurut Undang-Undang RI”. Dalam Skripsi ini membahas Hukum Nasional Indonesia dalam menyikapi masalah pengungsi dan pencari suaka. Sebuah artikel Irianto Dahlan, Abdullah Marlang, Juajir Sumardi (UNHAS, Fakultas Hukum, 2008), yang berjudul “Analisis Hukum Tentang Fungsi Kantor Imigrasi Kelas 1 Jayapura Terhadap Pelaksanaan Pengawasan Orang Asing”. Artikel ini menjelaskan mengenai kinerja fungsi kantor Imigrasi Kelas 1 Jayapura dalam menangani orang asing di Papua. Skripsi Aris Pramono (Universitas Indonesia, Hubungan Internasional, 2010), yang berjudul “Peran UNHCR Dalam Menangani Masalah Pengungsi Rohingya di Bangladesh”. Dalam Skripsi ini penelitian terfokus kepada pengungsi Rohingya Myanmar. Berdasarkan beberapa penelitian tentang pengungsi diatas, maka perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu terletak pada organisasi internasional yang menanganinya yaitu IOM. Dalam penelitian ini Pengungsi yang menjadi objek penelitian yaitu pengungsi yang berasal dari Afghanistan. E. Kerangka Pemikiran Berdasarkan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, maka digunakan Teori Liberal Institusional, konsep Organisasi Internasional, Konsep Peran, Konsep Pengungsi. Beberapa kerangka pemikiran tersebut untuk membantu menjelaskan penelitian ini. 1. Liberal Institusional Menurut Robert O’Keohane, Liberal Institusional dapat menjadi alternatif bagi negara yang selalu berkompetisi. Pada dasarnya setiap negara selalu mencari keuntungan demi mencapai kepentingan nasional (Martin dan Terry, 2002:187). Liberal Institusional menawarkan sebuah sistem berupa institusi, yaitu seperangkat norma, pola perilaku dan kebiasaan yang membentuk sifat aktor (Keohane, 1989:2). Terbentuknya sebuah institusi internasional, dapat mengurangi persaingan, kompetisi, bahkan konflik antar negara yang mencari keuntungan.Institusi internasional dapat menjadi wadah bagi para negara untuk saling bekerjasama dalam memecahkan suatu masalah yang menghasilkan keuntungan yang lebih daripada berkonflik antar negara (Keohane, 1989:4). Menurut Nye, sebuah negara yang bergabung dalam anggota sebuah institusi internasional atau organisasi internasional memiliki keuntungan dalam mempromosikan kepentingan nasionalnya dalam forum yang lebih besar (Burchill et all, 2006:64). Hal ini terjadi ketika sebuah negara menyebarkan kepentingan nasionalnya berupa ide dalam sebuah forum internasional dan ide tersebut berpotensi didukung dan disetujui oleh negara lain. Liberal Institusional menempatkan institusi atau organisasi internasional sebagai cara lain untuk menghindari kompetisi yang berujung pada kerugian. Dengan adanya institusi, dapat mengurangi kompetisi dan dapat menciptakan kerjasama yang menghasilkan keuntungan lebih bagi negara (relative gain) (Martin dan Terry, 2002:278). Interaksi antar negara dalam sebuah organisasi internasional dapat menyadarkan negara bahwa bekerjasama antar negara dapat menciptakan perdamaian dan dapat mewujudkan kepentingan nasional masing-masing negara (Jill dan Lyod, 2009:127). Oleh karena itu, organisasi internasional memegang peranan penting dalam menyelesaikan suatu masalah atau dapat menengahi sebuah konflik. Dalam Liberal Institusional, integrasi negara dalam sebuah institusi atau organisasi interrnasional diperlukan untuk menghadapi berbagai masalah yang tidak bisa dipecahkan secara individual (Jill dan Lloyd, 2009:27). Dalam konteks ini, bergabungnya negara dalam anggota IOM maka dapat memecahkan masalah pengungsi secara bersama-sama. Karena, isu pengungsi menjadi isu kontemporer yang dihadapi negara-negara yang dijadikan tujuan atau tempat singgah sementara oleh para pengungsi. Liberal Institusional memiliki beberapa pokok argument utama yaitu, pertama, institusi menawarkan cara untuk menyelesaikan suatu masalah secara kolektif. Kedua, Liberal Institusional bersifat state centris, maksudnya segala keputusan diambil oleh negara walaupun negara dianggap sebagai aktor rasional. Ketiga, bergabungnya sebuah negara dalam institusi dapat memberikan keuntungan lebih berupa informasi, transparasi, pengurangan biaya, dan strategi terkait dengan isu yang dihadapi (Sudirman dkk, 2010:55) 2. Organisasi Internasional Organisasi internasional merupakan salah satu aktor dari hubungan internasional. Oleh karena itu, pembahasan mengenai organisasi internasional menjadi penting karena memiliki peran dan fungsi sebagai aktor yang mempertahankan peraturan-peraturan agar dapat berjalan tertib dalam rangka mencapai tujuan bersama. Selain itu juga, organisasi internasional dijadikan sebagai suatu wadah untuk hubungan antar negara agar kepentingan masing-masing negara dapat tercapai (Le Roy Bennet, 1997:2-4). Menurut Clive Archer dalam bukunya yang berjudul International Organization mendefinisikan organisasi internasional adalah sebuah struktur formal yang berkelanjutan yang dibentuk atas dasar kesepatakan antar anggota (negara dan non negara) yang berdaulat dengan bertujuan untuk mengejar kepentingan bersama para anggota (Clive Archer, 1983:35). Pembentukan organisasi internasional dibentuk atas dasar saling membutuhkan karena setiap negara tidak mungkin dapat mempejuangkan kepentingan negaranya sendiri. Terdapat dua kategori organisasi internasional, yaitu: 1. Organisasi antar pemerintah (inter-governmental organizations/IGO), anggota berasal dari perwakilan negara seperti : PBB, WTO, NATO. 2 Organisasi non pemerintah (Non-governmental onganizations/NGO), anggotanya berasal dari kelompok non negara seperti kelompok bidang keilmuan, budaya, ekonomi, HAM. Contohnya Palang Merah, greenpeace (Le Roy Bennet, 1997:2). Menurut Coulombis dan Wolfe, organisasi internasional dapat diklasifikasikan menurut keanggotaan dan tujuan menjadi empat klasifikasi, yaitu: 1. Global membership and general purpose, yaitu suatu organisasi internasional antar negara dengan keanggotaan global serta maksud dan tujuan umum, contohnya PBB. 2. Global membership and limited purpose, yaitu organisasi internasional antar negara dengan keanggotaan global namun memiliki tujuan yang khusus, contohnya UNHCR, IOM. 3. Regional membership and general purpose, yaitu organisasi internasional antar negara dengan keanggotan yang regional atau berdasarkan kawasan dengan tujuan yang umum, contohnya ASEAN, UE. 4. Regional membership and limited purpose, yaitu organisasi internasional antar negara dengan keanggotaan yang regional atau berdasarkan kawasan dengan tujuan yang khusus, contohnya NATO, ASEAN Regional Forum. Organisasi memiliki peranan penting untuk memecahkan masalah internasional ketika negara tidak mampu menangani masalah yang berdimensi nasional ataupun internasional. Organisasi internasional muncul menjadi pihak ketiga yang mampu memberikan solusi bagi permasalahan tersebut. Terdapat tiga kategorisasi peran organisasi internasional, yaitu: 1. Sebagai instrument/alat diplomasi. Organisasi internasional digunakan oleh negara sebagai kesempatan untuk mencapai kepentingan nasional masing-masing negara. 2. Sebagai arena atau forum. Organisasi internasional dijadikan ajang untuk melakukan pertemuan, negosiasi, diskusi, berdebat, bekerjasama antar negara. 3. Sebagai aktor independen. Organisasi internasional memiliki posisi netral dalam menangani suatu masalah. Walaupun pada dasarnya organisasi internasional dibentuk oleh kesepakatan negara-negara, namun organisasi internasional dapat bertindak tanpa dipengaruhi oleh kepentingan satu kelompok atau negara (Clive Archer, 1983:130-147). Menurut Le Roy Bennet, organisasi internasional memiliki fungsi mendasar, yaitu: “To provide the means of cooperation among states in areas which cooperation provides advantages for allor a large number of nations” “to provide multiple channels of communication among governments so that areas of accommodation may be explored and easy acces will be available when problems arise” Maksud dari penjelasan Le Roy ialah organisasi internasional memiliki hal-hal yang dibutuhkan oleh negara dalam bekerjasama dengan negara lain agar tercapai keuntungan semaksimal mungkin bagi seluruh anggota organisasi. Dan organisasi internasional menyediakan wahana komunikasi bagi negara-negara anggota untuk menyalurkan ide-ide mereka menjadi sebuah jalan keluar bersama ketika muncul sebuah masalah (Le Roy Bennet, 1997:40). Sesuai dengan penjelasan mengenai organisasi internasional maka, IOM merupakan organisasi internasional yang memiliki unsur anggota yang global dengan tujuan yang khusus yaitu mengatur urusan keimigrasian serta membantu pengungsi internasional dan pengungsi internal. 3. Konsep Peran Konsep peran dalam penelitian ini digunakan untuk menjadi dasar bagaimana melihat peran IOM dalam menangani masalah pengungsi Afghanistan di Indonesia. Istilah “peran” diambil dari dunia teater (Sarwono, 2003:234). Teori peran pada dasarnya perpaduan antar ilmu seperti ilmu sosiologi dan antropologi. Menurut Fred Charles yang dikutip oleh Barston, teori peran ialah sebuah perilaku yang diharapkan untuk dilakukan oleh individu, kelompok, negara, organisasi internasional dalam menghadapi suatu peristiwa yang memerlukan penanganan sistematis (Barston, 1989:77). Menurut Broom dan Selznick, peran terbagi atas tiga pandangan yaitu prescribed role, perceived role dan actual role. Prescribed role ialah peran yang diharapkan dilakukan oleh individu sesuai dengan harapan individu lainnya, atau dengan kata lain peran ideal. Perceived role ialah peran yang dilakukan atas pertimbangan pribadi walaupun tidak sesuai dengan harapan individu lainnya. Actual role ialah peran yang dilakukan sesuai dengan aktualisasi individu tersebut atau melakukan peran apa adanya (Sarwono, 2003:45). Menurut Bidle dan Thomas, peran ialah serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dilakukan oleh pemagang posisi tertentu (Bidle dan Thomas, 1966). Menurut Jhon Walke yang dikutip oleh Mochtar Mas’oed, bahwasanya menurut pandangan teori peran, institusi merupakan suatu rangkaian pola perilaku yang berkaitan dengan peranan. Maksudnya, institusi dapat diklasifikasikan sebagai serangkaian peran yang saling berkaitan demi mencapai suatu tujuan atau memecahkan suatu masalah (Mochtar, 1989:44). Menurut Rusadi Kantaprawira, peran dapat juga dikategorikan sebagai seperangkat perilaku yang diharapkan dari seseorang atau struktur tertentu yang menduduki suatu posisi di dalam suatu sistem (Perwita dan Yani, 2006:30). Apabila struktur organisasi itu menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, maka telah menjalankan peran tertentu. Pemaparan definisi peran diatas, disesuaikan dengan penelitian ini yang ingin melihat sejauh mana peran IOM sebagai organisasi internasional yang menangani masalah pengungsi. IOM diharapkan dapat menjalankan peran sebagai organisasi internasional yang didasarkan Konvensi Pengungsi 1951 yang memiliki tugas dan fungsi untuk mengatur migrasi di seluruh dunia. 4. Konsep Pengungsi Kata pengungsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kata benda yang berarti orang yang mengungsi. Penyebab seseorang mengungsi diakibatkan bencana alam (natural disaster) seperti banjir, longsor, kebakaran, gunung meletus. Selain disebabkan bencana alam, mengungsi juga dapat disebabkan oleh bencana buatan manusia (non natural disaster) seperti peperangan, tindakan kekerasan, konflik bersenjata lokal (Depdikbud, 1995). Definisi pengungsi dalam Konvensi Pengungsi tahun 1951 yaitu: “being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it”. “Refugee atau pengungsi adalah “seseorang yang dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan penganiayaan, yang disebabkan oleh alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu dan keanggotaan partai politik tertentu, berada diluar Negara kebangsaannya dan tidak menginginkan perlindungan dari Negara tersebut” (UNHCR, 1951:16). Beberapa ahli telah memberikan pendapatnya mengenai definisi pengungsi. Menurut Malcom Proudfoot berdasarkan pengamatannya dalam Perang Dunia II, Pengungsi merupakan orang-orang yang terpaksa pindah dari tempatnya diakibatkan adanya kekerasan, penganiayaan, deportasi secara paksa, pengusiran orang-orang Yahudi, pengembalian kelompok etnik ke suatu wilayah atau negara meraka, penentuan batas tapal secara sepihak, perpindahan penduduk sipil besar-besaran karena adanya serangan udara, pemindahan secara paksa penduduk dari pantai atau garis pertahanan, pemulangan secara paksa tenaga kerja untuk ikut dalam perang Jerman (Malcom, 1957:32). Definisi pengungsi menurut Pietro Verri berdasarkan Konvensi Pengungsi 1951 yaitu orang yang meninggalkan negaranya karena adanya rasa takut atas penyiksaan dan penganiayaan (Pietro, 1992:96). Oleh karena itu, bagi orang yang mengungsi tapi tidak melewati batas negara, tidak dapat dikategorikan sebagai pengungsi. Menurut Prakash Shinha, pada prinsipnya, seorang pengungsi adalah seseorang yang meninggalkan negaranya secara terpaksa dengan alasan keamanan atau politik sehingga tidak memungkinkan untuk tinggal di negaranya karena keselamatannya yang terancam (Prakash Sinha, 1971:95). Menurut Muhammad Abu al Wafa seseorang dapat diklasifikasikan sebagai pengungsi apabila seseorang atau dengan keluarganya lari dari negara asal karena mendapatkan tindakan penindasan/penyiksaan menuju ke negara lain untuk mencari suaka atau sebagai bagian dari sebuah kelompok yang terusir akibat dari situasi politik, keagamaan, militer dimana ia menghadapi ancaman kekerasan (Ahmad Abu, 2009:2) Untuk memperoleh status pengungsi seseorang diharuskan untuk mendaftar dan menjalani proses wawancara oleh UNHCR. Oleh karena itu, seorang pencari suaka belum tentu seorang pengungsi. Jika seseorang diakui sebagai pengungsi maka akan melekat pada dirinya perlindungan dari hukum internasional, sedangkan bagi seseorang yang ditolak aplikasi status pengungsinya, maka terpaksa dia harus dideportasi ke negara asal dengan bantuan IOM (UNHCR, 2005:4). Terdapat kriteria penentuan status seseorang sebagai pengungsi atau bukan. Menurut Konvensi Pengungsi 1951, terdapat lima kriteria (UNHCR, 2005:6), yaitu a. Berada di luar negaranya. Seseorang dapat disebut pengungsi apabila berada diluar negaranya, diluat tempat tinggal sehari-harinya. b. Ketakutan berasalan Seorang pengungsi yang meninggalkan negaranya harus didasarkan alasan ketakutan. Hal ini dapat dilihat dari keadaan keamanan dan politik dari negara asal pengungsi dan dapat dijadikan sebagai ketakutan beralasan. c. Penganiayaan Ketakutan berasalan harus berkaitan erat dengan penganiayaan. Seseorang yang merasa tidak aman karena adanya penganiayaan sehingga terpaksa meninggalkan negaranya atau tempat tinggalnya. d. Alasan Konvensi 1951 Seseorang berhak mendapatkan status pengungsi jika ia takut dianiaya karena lima alasan sesuai Pasal 1A (2) Konvensi 1951, yaitu: 1. Ras 2. Agama 3. Kebangsaan 4. Keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu 5. Pendapat politik. e. Tidak adanya perlindungan dari negara Hal ini berkaitan dengan keadaan negara yang tidak memungkinkan atau tidak mampu untuk memeberikan perlindungan kepada rakyatnya dikarekana beberapa alasan seperti negara dalam keadaan perang, krisis politik atau bahkan negara tersebut melakukan diskriminasi kepada rasa tau suku tertentu. Dalam Pasal 1F Konvensi Pengungsi 1951 disebutkan mengenai golongan yang tidak berhak untuk mendapatkan status pengungsi, yaitu: a. Melakukan kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan terhadap perdamaian. b. Melakukan kejahatan non politik di luar negara tempat berlindung sebelum diterima masuk ke negara tersebut sebagai pengungsi; c. Telah dinyatakan bersalah karena telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan Prinsip PBB (UNHCR, 2005:56). Status pengungsi berakhir apabila orang-orang bersangkutan telah: a. Secara sukerela menerima perlindungan dari negara asal. b. Secara sukarela menerima kewarganegaraannya kembali setelah kehilangan kewarganegaraannya. c. Secara sukerela menerima kewarganegaraan baru dari negara lain. d. Secara sukerela kembali menetap ke negara asal karena takut adanya penganiayaan. e. Tidak dapat menolak perlindungan dari negara asal karena keadaan yang mengakibatkan dirinya pengakuan sebagai pengungsi telah hilang; f. Tidak mempunyai kewarganegaraan tetapi tidak dapat menolak perlindungan dari negara tempat tinggalnya semula karena keadaan yang mengakibatkan dirinya mendapatkan pengakuan sebagai pengungsi telah hilang (UNHCR, 2005:57-58). Berdasarkan penjelasan mengenai pengungsi diatas, maka dapat diketahui bahwa pengungsi merupakan individu yang meninggalkan negaranya atau tempat tinggal sehari-harinya karena takut atas penganiayaan. Dan seorang pengungsi dilindungi segala hak-haknya oleh Konvensi Pengungsi 1951. Masalah pengungsi saat ini telah menyebar luas ke seluruh dunia. Perang, bencana alam, kemiskinan menjadi faktor yang menyebabkan orang-orang memilih menjadi pengungsi. Secara umum, terdapat dua faktor mengapa orang pergi meninggalkan tempat tinggalnya secara terpaksa. Pertama, Natural disaster, yaitu bencana alam yang menyebabkan kerusakan infrastruktur kehidupan sehingga orang-orang terpaksa meninggalkan sementara tempat tinggalnya. Pengungsi seperti ini hanya membutuhkan bantuan dasar hidup seperti makanan, pakaian, tempat penampungan, kesehatan. Ketika keadaan alam kembali norma, maka pengungsi tersebut akan kembali ke daerah asalnya secara sukarela. Kedua, Human made disaster, yaitu faktor manusia yang menyebabkan pengungsi meninggalkan rumahnya secara terpaksa. Faktor ini biasanya berupa perang saudara, kekerasan politik, pelanggaran HAM, diskriminasi sosial. Pengungsi seperti ini tidak hanya saja memerlukan bantuan dasar hidup, akan tetapi memerlukan perlindungan internasional bahkan memerlukan tempat tinggal permanen yang baru (Atik Krustiyati. 2012:174). F. Metode Penelitian Berdasarkan permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini, maka penulisan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analitis. Menurut Nueman, penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggambarkan realitas sosial yang berfokus pada proses yang interaktif dengan nilai yang bersifat eksplisit. Data dan teorinya merupakan sebuah kesatuan dimana data yang diperoleh dari literatur akan diinventarisir dan diklarifikasi kemudian permasalahan digambarkan berdasarkan fakta-fakta yang ada dan disusun dalam sebuah tulisan. Sedangkan angka-angka statistik digunakan sebagai penunjang data (Neuman, 2006:13). Penelitian deskriptif analitis adalah penelitian yang mengupayakan penggambaran secara spesifik mengenai suatu situasi, mekanisme dan proses berdasarkan data dan fakta melalui proses analisis (Lexy, 2007:4). Dalam penelitian ini berusaha untuk memberikan penjelasan secara deskriftif mengenai peran IOM sebagai organisasi internasional yang mengurusi masalah pengungsi asal Afghanistan, serta menjelaskan tantangan dan hambatan yang dihadapi IOM dalam menjalankan tugasnya di Indonesia. G. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah………………………………………. B. Pertanyaan Penelitian…………………………………… C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………… D. Tinjauan Pustaka………………………………………….. E. Kerangka Pemikiran………………………………………. F. Metode Penelitian…………………………………………. G. Sistematika Penulisan……………………………………… BAB II SEJARAH SINGKAT INTERNATIONAL ORGANIZATION FOR MIGRATION (IOM) A. Latar Belakang IOM Sebagai Organisasi Internasional……… B. Penanganan Pengungsi Oleh IOM…………………………… C. Keberadaan IOM di Indonesia…………………………….. BAB III PENGUNGSI AFGHANISTAN DI INDONESIA A. Faktor Rakyat Afghanistan Menjadi Pengungsi…………….. B. Faktor Kedatangan Pengungsi Afghanistan ke Indonesia…………………………………………………… C. Kebijakan Australia Dalam Merespon Keberadaan Pengungsi di Indonesia D. Keterlibatan pihak lain dalam menangani pengungsi Afghanistan di Indonesia……………………………………………………… BAB IV PERAN IOM DALAM MENANGANI PENGUNGSI AFGHANISTAN A. Tindakan IOM Menangani Pengungsi Afghanistan………… B. Tantangan dan Hambatan yang dihadapi IOM Dalam Menjalankan Tugasnya di Indonesia Dalam Menangani Pengungsi Afghanistan………. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB II SEJARAH SINGKAT INTERNATIONAL ORGANIZATION FOR MIGRATION (IOM) Dalam Bab ini, akan dijelaskan mengenai latar belakang berdirinya IOM sebagai lembaga internasional yang menangani masalah pengungsi di seluruh dunia. Bab ini mencakup tiga sub-bab yaitu sub-bab pertama akan membahas mengenai IOM sebagai lembaga struktural PBB karena IOM berada dibawah naungan PBB. Sub-bab dua akan membahas mengenai tugas dan fungsi IOM berdasarkan Konstitusi IOM dan Konvensi Penungsi 1951. Dan sub-bab ketiga akan membahas mengenai aktifitas perdana yang dilakukan oleh IOM di Indonesia. A. Latar Belakang IOM Sebagai Organisasi Internasional International Organization for Migration atau yang disingkat IOM merupakan salah satu organisasi internasional yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). IOM berdiri atas prakarsa Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 (IOM, 2012). Konvensi Pengungsi 1951 merupakan Konvensi pertama mengenai pengungsi yang diselenggarakan oleh negara-negara Eropa paska Perang Dunia Kedua. Dalam mendukung fungsi dan tugas dalam menangani masalah keimigrasian di seluruh dunia, IOM memiliki struktur organisasi yang dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal. Direktur Jenderal membawahi ketua-ketua staf yang terbagi atas Office of the Inspector General, Office of Legal Affairs, Senior Regional Advisers, Spokesperson, Staff Security Unit, Ombudsperson, Gender Coordination Unit, Occupational Health Unit. Sejak tahun 2008, William Lacy Swing terpilih menjadi Direktur Jenderal IOM (IOM, 2012). Kantor Pusat IOM berada di Jenewa, Swiss dan IOM juga memiliki kantor perwakilan di berbagai negara seluruh dunia. Terdapat sembilan kantor regional yang menaungi kantor-kantor perwakilan di seluruh dunia dan dua kantor perwakilan khusus di Adis Dabba dan New York (IOM, 2012). Dalam hal keanggotaan sebuah negara dalam IOM, Konstitusi IOM, Chapter II, artikel 2 disebutkan bahwa negara anggota IOM terdiri atas negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan negara yang menunjukan keinginan untuk menghormati prinsip kebebasan bergerak (IOM, 2013). Pada akhir November 2012, tercatat 151 negara telah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan terdapat 12 negara berstatus sebagai pengamat termasuk Indonesia (IOM, 2013). Menurut Andi Taletting, Indonesia termasuk salah satu negara anggota pengamat. Pada tahun 2014 Indonesia berencana akan mengajukan peningkatan status menjadi negara anggota dan berarti siap meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 sesuai dengan Rancangan Aksi Nasional HAM 2009-2014 (Andi. 2010). IOM merupakan salah satu organisasi internasional yang bergerak dalam bidang migrasi. Menjamin hak azazi manusia khususnya hak bermigrasi bagi para pengungsi. IOM memberikan pelayanan berupa bantuan akomodasi bagi pengungsi, fasilitas kembali secara sukarela ke negara asal pengungsi (voluntary return), kesehatan, dan hak penempatan ke negara ketiga (IOM annual report 2009: 5). Aktifitas IOM selain memberikan bantuan langsung terhadap pengungsi, IOM juga berusaha untuk mempromosikan kerjasama internasional dalam menangani masalah pengungsi. Hal ini sangat diperlukan mengingat masih banyak negara di dunia yang belum meratifikasi Konevensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Indonesia termasuk negara yang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 (Andi, 2010). Pada awalnya, Konvensi Pengungsi 1951 hanya membahas mengenai keadaan pengungsi di wilayah Eropa. Karena paska Perang Dunia kedua, jumlah pengungsi Eropa mengalami peningkatan sehingga dibutuhkan kerjasama antar negara Eropa dalam menangani masalah pengungsi (Atik Krustiyati, 202:177). Sehubungan semakin meningkatnya jumlah pengungsi pada akhir 1950 dan munculnya pengungsi di luar Eropa. Maka dirancang Protokol 1967 yang memperluas cakupan waktu dan geografis Konevensi Pengungsi 1951. Konvensi Pengungsi dibentuk pada 28 Juli 1951 dan berlaku pada 22 April 1954. Konvensi ini diprakarsai oleh United Nations Conferences Plenipotentiaries on the Status Refugess and Stateless Person. Dalam Konvensi ini terdapat Pasal yang berkaitan erat dengan keadaan pengungsi yang memasuki wilayah negara lain secara tidak sah. Hal ini berkaitan erat dengan posisi Indonesia yang menjadi jalur lintas laut para pengungsi Afghanistan yang hendak menyebrang ke Australia. Pasal 31 dijelaskan mengenai pengungsi yang masuk ke sebuah negara secara tidak sah. Negara tersebut tidak dapat menghukum sesuai hukum yang berlaku di negara tersebut. Oleh karena itu, pengungsi diwajibkan melaporkan diri kepada pihak yang berwenang untuk menunjukan alasan kuat atas keberadaan mereka di negara tersebut (UNHCR, 1951:30). Pasal 32 dijelaskan mengenai pengusiran. Negara yang disinggahi oleh pengungsi tidak dapat melakukan tindakan pengusiran terhadap pengungsi kecuali karena alasan-alasan keamanan nasional dan ketertiban umum. Pengungsi dapat diusir (deportasi) apabila melakukan pelanggaran hukum pidana. Ketiga, Pasal 33 masih terkait erat dengan pengusiran dan larangan pengembalian. Maksudnya, pengungsi tidak dapat diusir ke wilayah-wilayah yang berpotensi dapat membahayakan jiwa (UNHCR, 1951:30-31). Menurut Atik Krustiyati, Konvensi Pengungsi 1951 merupakan konvensi yang bersifat Jus Cogens yang berarti hukum atau norma yang telah diakui oleh komunitas internasional (2012: 174). Maka, bagi negara yang belum meratifikasi harus menghormati hak-hak pengungsi walaupun tidak memiliki kewajiban membantu. Negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan (assistance) dan pelayanan (service) bagi pengungsi. Keberadaan IOM di negara yang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dapat memberikan kontribusi. Karena IOM memberikan bantuan berupa fasilitas hidup sementara, bantuan kesehatan bagi pengungsi yang masuk ke negara bukan anggota IOM. Kehadiran IOM sangat penting, karena tidak semua negara yang belum meratifikasi memiliki keinginan dan kemampuan untuk membantu pengungsi yang datang ke negaranya (Roberts Anita, 2002:34). B. Penanganan Pengungsi Oleh IOM Setiap organisasi memiliki anggaran dasar rumah tangga (ADRT) yang menjadi pedoman dalam menjalankan tugas dan fungsi untuk menyelesaikan suatu masalah. Sebagai organisasi internasional dibawah naungan PBB, IOM memiliki pedoman yaitu Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 yang mengatur mengenai definisi, hukum, metode dalam menangani pengungsi. Secara garis besar, IOM bekerja dalam empat fokus manajemen migrasi. Yaitu, migrasi dan pembangunan, memfasilitasi migrasi, mengatur migrasi dan migrasi yang dipaksakan (IOM annual report 2009: 5). Migrasi dan pembangunan merupakan salah satu usaha IOM untuk menciptakan hal positif dari migrasi. Tujuannya membentuk kerjasama dengan pemerintah dalam memaksimalkan peran pengungsi. Contohnya program pengungsi produktif, yaitu menjadi pengungsi sebagai tenaga kerja di negara tujuan atau transit (IOM annual report 2009: 30). Manajemen migrasi kedua yaitu fasilitas migrasi. Kemudahan transportasi dan komunikasi menjadi salah satu faktor utama pesatnya migrasi antar negara yang dilakukan oleh manusia di seluruh dunia. IOM memberikan fasilitas bagi pengungsi yang ingin mencari negara lain untuk melanjutkan kehidupan yang buruk di negara asal. Agar tidak menjadi beban bagi negara tujuan, IOM memberikan pelatihan keahlian bekerja bagi para pengungsi supaya bisa menjadi produktif ketika mendapatkan kesempatan bekerja di negara tujuan (IOM annual report 2009:32). Manajemen migrasi yang ketiga IOM yaitu pengaturan migrasi. IOM memberikan panduan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan mengenai kebijakan migrasi dan mekanisme dalam menghadapi masalah pengungsi. Sehingga pemerintah dan IOM dapat bekerja sama dalam mencegah kejahatan perdagangan manusia dan penyelundupan manusia. Oleh Karena itu, IOM tetap memberikan kesempatan bagi pengungsi yang ingin kembali pulang ke negara asal (IOM annual report 2009: 33). Manajemen migrasi keempat IOM yaitu migrasi yang dipaksakan. Maksudnya, pengungsi terpaksa meninggalkan negara asal dikarenakan keadaan yang tidak memungkinkan seperti perang dan bencana alam. IOM memberikan fasilitas dan pelayanan bagi para pengungsi untuk bertahan hidup ketika menunggu proses penempatan ke negara tujuan (IOM annual report 2009: 34). Dalam Konstitusi IOM Chapter 1 menyebutkan tentang fungsi dan tujuan organisasi (IOM Constitution; 11), yaitu: a) Membuat sebuah peraturan tentang keimigrasian yang menyediakan fasilitas bagi meraka yang membutuhkan bantuan bagi negara yang menawarkan kesempatan untuk migrasi yang teratur. b) Membantu perpindahan para pengungsi atau individu lain yang membutuhkan bantuan dengan melakukan kerjasama dengan negara yang mau menerima pengungsi. c) Memberikan bantuan kepada negara yang bekerjasama dalam pelayanan keimigrasian seperti perekrutan, seleksi, proses, pelatihan bahasa, kegiatan orientasi, perawatan medis, penempatan, aktivitas integrasi, konsultasi keimigrasian dan bantuan lain sesuai kesepakatan dengan tujuan organisasi. d) Menyediakan forum bagi negara-negara atau organisasi internasional lainnya dalam bertukar informasi mengenai pengalaman dan kerjasama dalam promosi dan koordinasi isu imigrasi, termasuk studi tentang imigrasi untuk mengembangkan solusi. Terdapat fungsi IOM yang dapat berjalan efektif di Indonesia. Salah satunya yaitu IOM memberikan bantuan dalam membangun pencegahan migrasi illegal dengan memberikan pelatihan terhadap penegak hukum di Indonesia. Pada 2009, IOM mendukung dan membantu Polri dalam mereformasi pelaksanaan standard dan prinsip HAM dalam penindakan imigran illegal seperti tercantum dalam Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2009 (IOM Annual Report 2009:88) Fungsi selanjutnya yaitu memberikan fasilitas bagi pengungsi Afghanistan berupa tempat tinggal, makanan, hingga pelatihan Bahasa Inggris. Hal ini dilakukan oleh IOM demi menjamin hak-hak hidup seorang pengungsi yang tinggal sementara di Indonesia. Akan tetapi, fungsi IOM sebagai forum internasional mengenai keimigrasian belum bisa dimanfaatkan oleh Indonesia karena hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Terdapat 12 fokus tugas IOM dalam menjalankan kegiatannya, yaitu: a) Memberikan keamanan, kehandalan, fleksibel, dan pelayanan efektif bagi individu yang membutuhkan bantuan migrasi internasional. b) Meningkatkan manajemen keimigrasian dan menghormati hak azazi manusia sesuai hukum internasional. c) Menawarkan saran ahli, penelitian, operasi teknis, dan bantuan operasional kepada negara-negara, organisasi pemerintah, organisasi non pemerintah dalam rangka membangun kapasitas nasional dan fasilitas regional, internasional dan kerjasama bilateral dalam hal migrasi. d) Memberi kontribusi pada pembangunan ekonomi dan social sebuah negara melalui penelitian, dialog dan implementasi migrasi yang berhubungan dengan program yang ditujukan untuk memaksimalkan manfaat migrasi. e) Mendukung negara-negara, migrant dan komunitas lainnya dalam mengatasi tantangan migrasi illegal, termasuk melalui penelitian dan analisis yang menjadi akar penyebab masalah. Kemudian berbagi informasi dan kegiatan yang berfokus pada pemecahan masalah. f) Menjadi pusat informasi tentang migrasi, penelitian, tindakan, data, kesesuaian dan penyebaran informasi. g) Mempromosikan dan memfasilitasi diskusi internasional mengenai migrasi termasuk dialog internasional mengenai migrasi sehingga tumbuh pemahaman mengenai tantangan dan hambatan migrasi. Serta pengembangan kebijakan yang efektif untuk mengatasi masalah migrasi dan langkah-langkah kerjasama internasional. h) Membantu negara-negara dalam mengembangkan dan pelaksaan program, studi, dan tehnik untuk memberantas penyelundupan migrant dan perdangan manusia khususnya perempuan dan anak-anak sesuai dengan hukum internasional. i) Membantu program negara-negara dalam hal pekerja migrasi, migrasi sementara dan tipe migrasi lain. Dua belas fungsi IOM yang berkaitan dengan masalah pengungsi dapat berjalan dengan efektif. Salah satu fungsi IOM yang berjalan yaitu IOM dan Imigrasi Indonesia bekerjasama membangun proyek penanganan dan perawatan Imigran Gelap (Management and Care of Irregular Immigrants Project-MCIIP). Program ini terdiri atas instrument HAM, peningkatan fungsi pemulangan Imigrasi, dan merenovasi Rudenim (IOM Annual Report 2009:64). Menurut Pasal 1 ayat (1) Perturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M 05.IL.02.01 Tahun 2006, Rumah Detensi Imigrasi yang selanjutnya disingkat dengan RUDENIM adalah tempat penampungan sementara orang asing yang melanggar peraturan perundang-undangan yang dikenakan tindakan keimigrasian dan menunggu proses pemulangan ke negaranya. Terdapat 13 Rudenim yang tersebar di seluruh kawasan Indonesia yang pada hakikatnya diperuntukan bagi pelanggar hukum imigrasi di Indonesia (Imigrasi, Agustus 2013). C. Keberadaan IOM di Indonesia Keberadaan IOM di Indonesia didasari atas keadaan Indonesia yang menjadi jalur bagi pengungsi yang ingin menyebrang ke wilayah Asutralia. Sehingga, walaupun Indonesia belum menjadi anggota sepenuhnya, IOM tetap hadir dan menjalankan tugas untuk mengatur penanganan pengungsi di Indonesia. IOM memulai misinya di Indonesia pada tahun 1979 ketika pengungsi asal Vietnam datang ke Indonesia untuk mencari perlindungan. Kala itu Vietnam terbagi atas dua yaitu Vietnam Utara dan Vietnam Selatan. Pada tahun 1976 berdiri Republik Sosialis Vietnam yang berhaluan kiri paska Vietnam utara dapat menaklukan Vietnam Selatan (Roberts Anita, 200:21). Hal ini berdampak besar bagi rakyat Vietnam yang mendapatkan perlakuan kekerasan sehingga mereka memilih meninggalkan negaranya menggunakan perahu. Indonesia ketika itu belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, sehingga dibutuhkan bantuan dari komunitas internasional seperti UNHCR dan IOM untuk menangani masalah pengungsi di Indonesia (IOM annual report 2009:6). Terdapat beberapa alasan mengapa IOM berada di Indonesia walaupun Indonesia bukan negara anggota yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 (IOM, 2013). a. Indonesia sebagai negara transit dalam penyelundupan manusia. Penyelundupan manusia ini berkaitan erat dengan mobilisasi pengungsi yang transit di Indonesia dengan tujuan Australia. b. Indonesia sebagai negara sumber utama korban perdagangan manusia. Pada tahun 2000, Polri mencatat telah terjadi 1.683 kasus perdagangan manusia yang didominasi perdangan perempuan dan anak (Harkristuti, 2003:61) c. Tingginya migrasi internal dan pengungsi internal. Hal ini disebabkan banyaknya bencana alam yang terjadi di Indonesia seperi bencana tsunami Aceh, gempa Padang, gempa Pangandaran. d. Tingginya pengiriman tenaga kerja. Indonesia merupakan salah satu negara pengirim tenaga kerja terbesar. Dan hal itu sejalan dengan munculnya berbagai masalah mengenai tenaga kerja illegal. Dalam menjalankan tugas penanganan pengungsi dan memudahkan koordinasi mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas dan terpisah antar pulau, maka IOM memiliki beberapa kantor perwakilan di berbagai daerah di Indonesia. Kantor pusat IOM Indonesia berada di Jakarta dan pembukaan kantor IOM di daerah berdasarkan kebutuhan dalam menjalankan tugas. IOM telah memiliki kantor perwakilan di dua puluh satu wilayah Indonesia dari ujung Pulau Sumatera hingga Papua (IOM annual report 2009: 106). Dalam menjalankan tugas dan fungsinya di Indonesia, IOM menggalang dana dari berbagai pihak demi memperlancar program-program yang disusun oleh IOM. Tercatat pada tahun 2009, IOM memiliki dana operasional berjumlah USD 96 juta. Dana sumbangan ini diberikan oleh beberapa NGO seperti American Red Cross, Australia - Department of Immigration and Citizenship (DIAC), Java Reconstruction Fund (JRF) dll (IOM annual report 2009: 103). IOM Indonesia dipimpin oleh seorang Ketua Misi yang diutus langsung dari IOM pusat di Jenewa. Pada tahun 2009, IOM Indonesia dipimpin oleh Denis Nihill. IOM juga merekrut staf lokal Indonesia yang akan ditempatkan di berbagai kantor cabang misi IOM di seluruh wilayah Indonesia (IOM annual report 2009: 11). Kehadiran IOM di Indonesia dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga yang memberikan bantuan dan pelayanan bagi pesngungsi internasional dapat membantu fungsi pengawasan Dirjen Imigrasi. Pengungsi biasanya datang melalui jalur laut menyusuri pesisir Pulau Sumatera dan Pulau Jawa kemudian menyebrang ke Pulau Christmast wilayah Austalia (Kompas. 23 Nov 2009). Perjuangan untuk mencapai wilayah Australia melalui laut Indonesia memang sangat berat sehingga banyak perahu yang membawa pengungsi karam di tengah lautan menyebabkan kematian. Hal ini yang perlu dicermati, karena sangat sulit untuk mendeteksi keberadaan pengungsi di Indonesia. Biasanya pengungsi tersebut dibantu oleh sindikat penyelundup manusia dan warga lokal Indonesia yang menyewakan perahu. Seperti kasus yang terjadi di Madiun, tertangkapnya lima oknum TNI AD yang membantu 134 imigran gelap yang ingin menyebrang ke Australia (Tempo, Sept 2012). Menurut Adirini Pujayanti, Indonesia merupakan salah satu negara yang menghadapi masalah pengungsi internasional. Kedatangan pengungsi dari luar Indonesia telah menyebabkan munculnya masalah baru bagi pemerintah seperti pencurian, kekerasan seks, penyelundupan manusia (Adirini Pujayanti, 2009:79). Luas wilayah yang besar dan minimnya SDM memperburuk keadaan. Oleh karena itu, masuknya IOM ke Indonesia sangat penting dan diperlukan. Indonesia memang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Maka, menurut Atik Krustiyati, Indonesia tidak memiliki kewajiban secara hukum untuk memberikan bantuan dan pelayanan pada pengungsi yang masuk ke Indonesia. akan tetapi, demi menjunjung tinggi HAM, Indonesia tetap memberikan perhatian pada permasalah pengungsi ini (Atik. 2012:174). Menurut Sam Fernando, Pemerintah Indonesia yang direpresentasikan oleh Dirjen Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM hanya memiliki kewenangan sebatas mengawasi. Ditjen Imigrasi menyediakan rudenim yang tersebar di beberapa daerah untuk menampung sementara para pengungsi. Fungsi pengawasan Dirjen Imigrasi dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pengungsi (2013:5). Menurut Pudjiastuti, sejak munculnya organisasi internasional seperti UNHCR dan IOM telah membantu pekerjaan Dirjen Imigrasi dalam mengatasi pengungsi. Karena pada dasarnya Pemerintah tidak memiliki kewajiban untuk membantu pengungsi tersebut dengan beberapa alasan, seperti keterbatasan dana untuk fasilitas kehidupan sementara bagi pengungsi, pengungsi bukan penduduk Indonesia, dan tidak adanya peraturan undang-undang yang mengatur tentang pemberian bantuan bagi pengungsi (Raudhatul. 2012: 108). Hal yang perlu digarisbawahi dalam menangani masalah pengungsi internasional di Indonesia yaitu mereka bukanlah penjahat. Pengungsi bisa dikategorikan sebagai korban yang lari untuk menghindari kekerasan yang terjadi di negaranya. Oleh karena itu, dalam memperlakukan seorang pengungsi harus didasarkan rasa persamaan sesama manusia dan menjujung tinggi HAM (Adirini, 2009:13). Pada kenyataannya, Dirjen Imigrasi hanya menyediakan rudenim untuk tempat tinggal sementara bagi pengungsi. Istilah rudenim atau rumah detensi imigrasi bisa diklasifikasikan sebagai bentuk pertolongan dan perlindungan, akan tetapi yang terjadi di lapangan, rudenim bagaikan penjara bagi pengungsi. Mereka tidak diperbolehkan keluar dan hanya mendapatkan bantuan fasilitas seperti makanan, pakaian, uang dari IOM (Taylor. 2009:10). Menurut Getchell salah seorang staf IOM, dia mengakui bahwa pihak berwenang Indonesia enggan untuk membantu atau mengurusi para pengungsi yang datang ke Indonesia dengan jumlah puluhan bahkan ratusan. Hal ini bisa dimaklumi, karena pihak berwenang seperti Dirjen Imigrasi dan Polri tidak memiliki hukum atau panduan ketika menghadapi pengungsi (Roberts Anita. 2000:9). BAB III PENGUNGSI AFGHANISTAN DI INDONESIA Pada bab ini, akan dibahas mengenai keberadaan pengungsi Afghanistan di Indonesia. Terdapat dua sub-bab yang menjelaskan tentang pengungsi Afghanistan di Indonesia. Sub-bab pertama membahas mengenai latar belakang munculnya pengungsi Afghanistan. Dimulai dari penyebab yang munculnya pengungsi yang berasal dari negara Afghanistan. Sub-bab kedua akan membahas mengenai faktor mengapa pengungsi Afghanistan memilih Indonesia sebagai jalur menuju Australia. Sub-bab ketiga akan menjelaskan mengenai Kebijakan Australia dalam menghadapi pengungsi Afghanistan di Indonesia yang pada dasarnya ingin masuk ke Asutralia dan keterlibatan pihak lain dalam menangani masalah Pengungsi Afghanistan di Indonesia. A. Faktor Rakyat Afghanistan menjadi Pengungsi Afghanistan merupakan salah satu negara yang penduduknya menjadi pengungsi terbesar sedunia. Tercatat pada tahun 2009, terdapat sekitar 2.887.100 jiwa pengungsi Afghanistan yang tersebar di seluruh dunia. Sebuah angka yang sangat besar bagi migrasi internasional (UNHCR Global Trends 2009: 8). Tabel 1. A. Jumlah Pengungsi Afghanistan di Seluruh Dunia Sumber:UNHCR Global Trends 2009 Afghanistan merupakan negara yang terletak di kawasan Asia Selatan yang berbatasan Iran, Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, Taijikistan dan China. Permasalahan utama yang dihadapi oleh Afghanistan adalah konflik internal yang menporak-porandakan stabilitas ekonomi, politik, sosial Afghanistan (Kucher, 2005:3). Dalam sudut pandang politik, Afghanistan dapat dikatakan sebagai daerah perebutan pengaruh antara kekuatan blok barat dan blok timur sejak tahun munculnya Perang Dingin. Pada tahun 1989, Afghanistan dikuasai oleh People’s Democratic Party of Afghanistan’s (PDPA) yang beraliran kiri dan didukung oleh Soviet (Katie dan Manoj, 2009:5). Kemudian muncul Mujahidin yang didukung oleh blok barat yang berusaha untuk meruntuhkan kekuasaan PDPA yang akhirnya runtuh sejalan dengan runtuhnya negara Uni Soviet pada tahun 1991. Dalam periode tersebut, diperkirakan 1,5 juta jiwa rakyat Afghanistan menjadi pengungsi internal dan 2,9 juta jiwa memilih mengungsi ke wilayah Iran dan Pakistan akibat peperangan antara Mujahidin dan PDPA (International Crisis Group, 2009:3). Paska runtuhnya dominasi Soviet pada tahun 1990an, timbul kekuatan baru di Afghanistan yaitu Rezim Taliban. Dalam periode ini, terjadi konflik internal (civil war) antara rakyat Afghanistan yang bersuku-suku. Rezim Taliban yang bersuku Pasthun diperkirakan melakukan tindakan kekerasan atas nama agama terhadap rakyat Afghanistan non Pasthun. Dan diperkirakan pada periode sejak Taliban memimpin Afghanistan sekitar 2 juta jiwa memilih mengungsi dari Afghanistan (International Crisis Group, 2009:3). Rakyat Afghanistan terpaksa meninggalkan kampung halamannya demi mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan aman. Hal ini menimbulkan arus migrasi internasional secara besar-besaran yang dilakukan oleh rakyat Afghanistan ke wilayah negara lain seperti Pakistan, Iran, Kuwait bahkan hingga ke wilayah Eropa dan AS (UNHCR:Afghan Refugees Statistic 2005). Terdapat beberapa faktor mengapa rakyat Afghanistan memilih untuk meninggalkan tanah kelahirannya untuk mencari kehidupan baru atau mengungsi sementara. Pertama, Afghanistan negara miskin. Pada catatan tahun 2008, 36% rakyat Afghanistan hidup dibawah garis kemiskinan (World Bank, 17 April 2013). Pendapatan perhari rakyat Afghanistan berkisar 25$ per bulan. Keadaan perekonomian yang buruk memaksa rakyat Afghanistan untuk bermigrasi ke negara-negara maju seperi ke kawasan Eropa, Australia, atau negara Arab lainnya (UNHCR for Europe,. 2010:10) Faktor kedua, invasi AS ke Afghanistan pada akhir tahun 2001. Invasi AS tersebut berdalih untuk menghancurkan pemerintah Taliban yang pro terhadap gerakan terorisme Al-Qaeda pimpinan Osama Bin Laden. Dan diperkirakan paska invasi tersebut, sekitar tiga setengah juta orang meninggalkan Afghanisan untuk menghindari peperangan (Katie dan Manoj, 2009:17). Paska Invasi AS ke Afghanistan, banyak para anggota Al-Qaeda lari meninggalkan negara sebagai pengungsi. Hal ini menjadi alasan mengapa pengungsi Afghanistan seringkali dituduh sebagai jaringan terorisme Al-Qaeda (Adirini, 2009:15) Faktor ketiga yaitu kesamaan suku, di Afghanistan terdapat suku Pasthun yang menjadi salah satu mayoritas suku disana. 30% rakyat Afghanistan adalah suku Pasthun dan 20% rakyat Pakistan adalah suku Pasthun pula, dan hal ini yang menjadi faktor mengapa rakyat Afghanistan khususnya suku Pasthun berbondong-bondong menuju Pakistan yang dirasa lebih baik secara ekonomi dan memiliki kesamaan suku mayoritas ( International Crisis Group, 2009:9). Selain masalah perang yang tak pernah usai, rakyat Afghanistan juga mengalami diskriminasi suku yang dilakukan oleh pemerintah berkuasa. Sejak rezim Taliban memimpin Afghanistan, rakyat Afghanistan yang bersuku Hazara mengalami kekerasan secara fisik yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan pemerintah Taliban adalah orang-orang yang bersuku Pasthun. Sehingga muncul sentimen kesukuan yang menyebabkan terdesaknya suku Hazara untuk bermigrasi ke luar wilayah Afghanistan. Selain perbedaan tersebut, suku Pasthun dan suku Hazara juga memiliki perbedaan sangat mendasar dalam ajaran agamanya. Suku Pasthun menganut aliran agama Ahlu Sunnah sedangkan suku Hazara menganut aliran Syi’ah (International Crisis Group, 2009:12) . B. Faktor Kedatangan Pengungsi Afghanistan ke Indonesia Menurut Data UNHCR, pada tahun 2009 terdapat 2.676 imigran illegal yang terdiri atas 798 jiwa Pengungsi, 1.769 Pencari Suaka, 311 Pengungsi yang kembali (Lihat Lampiran Tabel Pengungsi di seluruh dunia). Di Indonesia, IOM mencatat pada tahun 2009 terdapat 1.323 pengungsi yang telah dibantu oleh IOM. Mayoritas pengungsi dengan jumlah 487 jiwa adalah pengungsi Afghanistan. Jumlah pengungsi Afghanistan di Indonesia pada tahun 2009 ini meningkat drastis dari tahun 2008 yang hanya 389 jiwa. Fenomena pengungsi di Indonesia bagaikan fenomena gunung es, hanya sedikit yang dapat diketahui oleh Imigrasi Indonesia dan organisasi internasional seperti UNHCR dan IOM (IOM Annual Report 2009: 67). Menurut Raudhatul, peningkatan jumlah pengungsi Afghanistan yang masuk ke Indonesia disebabkan adanya dinamika politik paska pemilihan umum yang dimenangi oleh Hamid Karzai. Pergolakan itu terjadi karena adanya dugaan praktik curang dalam pemilu tersebut (2012:89). Pada dasarnya, setiap orang yang keluar negeri dengan alasan mencari kehidupan lebih baik, belum bisa dikategorikan sebagai pengungsi yang membutuhkan perlindungan internasional dari organisasi internasional seperti IOM dan UNHCR. Mereka harus melewati prosedur yang ketat seperti wawancara secara mendalam sehingga mengetahui motif mengapa orang tersebut memilih bermigrasi dan memohon perlindungan. Beberapa kasus yang terjadi tidak sedikit juga orang Afghanistan yang rela menjual seluruh hartanya seperti tanah, rumah, hewan ternak dengan tujuan untuk pergi dari Afghanistan yang penuh dengan konflik sehingga mereka tidak tenang menjalani aktifitas sehari-hari. Orang yang memiliki harta seperti itu biasanya keluar dari Afghanistan secara legal melalui jalur udara seperti orang yang ingin ke luar negeri pada umumnya (Hasan Ghulam, 2004:3). Sedangkan sebaliknya, bagi pengungsi Afghanistan yang tidak memiliki harta atau uang, mereka hanya bisa meminta bantuan kepada pihak UNHCR atau IOM. Menurut Direktur Jenderal Imigrasi tanggal 30 September 2002 tentang penanganan terhadap Orang Asing yang menyatakan diri sebagai pengungsi atau pencari suaka, tidak dapat dikenakan sanksi seperti imigran illegal (Tobing, 2010: 17). Namun masalah muncul ketika proses lama dalam pencarian negara ketiga yang bersedia memberikan visa bagi para pengungsi tersebut. Oleh karena itu, ketika menunggu proses pencarian negara ketiga, IOM muncul sebagai penyedia fasilitas kehidupan bagi para pengungsi Afghanistan tersebut. Tujuan utama para pengungsi Afghanistan datang ke Indonesia pada umumnya hanya untuk singgah atau tempat transit karena mereka menggunakan perahu sebagai alat transportasi. Mereka menyusuri pesisir pulau Sumatra hingga ke wilayah selatan pulau Jawa. Kemudian mereka menyebrang melalui Samudra Pasifik ke Pulau Christmast, Australia (Humprey Wangke, 2012:7). Gambar 1. Peta Jalur Perjalanan Pengungsi Menuju Australia Sumber: Human Rights Watch Wilayah Pelabuhan Ratu, Sukabumi menjadi salah satu pelabuhan tradisional seringkali dijadikan titik pemberangkatan para pengungsi Afghanistan yang ingin berlayar ke Pulau Christmas secara illegal. Hal ini terjadi karena di daerah Pantai Pelabuhan Ratu tidak terdapat pos pengamanan Imigrasi (Syarif Abdullah, 2013). Terdapat beberapa alasan kuat yang menyebabkan pengungsi Afghanistan memilih jalur laut melalui wilayah Indonesia. Pertama, letak geografis Indonesia yang berdekatan dengan Pulau Christmast sebagai pintu masuk ke wilayah Australia. Indonesia juga memiliki garis pantai yang sangat panjang sehingga menimbulkan pelabuhan-pelabuhan tradisional yang dimanfaatkan untuk menjadi tempat pemberangkatan ke wilayah Australia seperti Pelabuhan Ratu, pantai Cidaun Cianjur, dan Ujung Kulon (Santoso. 2007: 101-102). Faktor kedua yang menyebabkan pengungsi Afghanistan memilih transit di Indonesia karena kesamaan agama yaitu Islam. Pengungsi Afghanistan merasa nyaman hidup sesama muslim ditambah dengan budaya ketimuran yang dikenal ramah. Bahkan tidak jarang pengungsi yang lebih memilih untuk tinggal permanen di Indonesia daripada melanjutkan perjalanan berat ke wilayah Australia (Raudhatul. 2012:28). Negara tujuan utama para pengungsi adalah Australia, akan tetapi Indonesia juga mendapatkan masalah dengan masuknya pengungsi Afghanistan ke Indonesia secara illegal (Missbah dan Sinanu, 2011:58). Australia adalah salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan salah satu dari sepuluh negara yang bersedia menampung para pengungsi. (Roberts Anita, 2000:6). Menurut Nainggolan, Kesempatan kehidupan yang lebih baik di Australia menjadi impian setiap pengungsi Afghanistan yang lari dari negaranya. Namun untuk menggapai impian tersebut, mereka harus berjuang melawan alam ketika melakukan perjalanan laut dan berjuang untuk mendapatkan status sebagai pengungsi (Nainggolan, 2009:17). UNHCR memiliki tugas dan wewenang dalam menentukan seseorang itu pengungsi atau bukan. UNHCR akan melakukan proses wawancara dan seleksi yang akan memakan waktu yang lama, dalam rentang waktu yang tak bisa dipastikan. Keadaan ini memperburuk nasib pengungsi karena mereka tidak memiliki hak untuk memiliki rumah, anak-anak untuk bersekolah, bekerja (ASETTS, 2009:5). Alasan ini mengapa para pengungsi Afghanistan rela melakukan apa saja agar bisa menyebrang dari Indonesia ke wilayah Australia bahkan mereka menolak ditolong oleh pihak Kepolisian Perairan Indonesia, karena apabila mereka ditolong oleh pihak Indonesia dapat dipastikan nasib mereka akan terkatung-katung di Indonesia dan hanya akan menjadi deteni migrasi (Humprey Wangke. 2012:7). Menurut Adirini, hanya terdapat dua pilihan bagi pengungsi, yaitu mendapatkan tempat yang layak di negara ketiga atau tetap berstatus pengungsi dan tinggal di wilayah sementara seperti yang terjadi di Indonesia. Walaupun Indonesia tidak memproses secara pidana bagi pengungsi yang melanggar keimigrasian, namun kehadiran para pengungsi tersebut menimbulkan masalah baru di Indonesia seperti tindakan kriminal, kejahatan seks, pencurian bahkan kejahatan terorisme (Pujayanti. 2009: 165). Hal yang sama dijelaskan oleh Sofinar (UNHCR, 2011) bahwa terdapat tiga opsi yang dihadapkan kepada pengungsi Afghanistan yaitu pemulangan sukarela ke negara asal (Voluntary Repratation) tanpa adanya pemaksaan atau pengusiran dari Indonesia, integrasi lokal di negara penerima yaitu di Indonesia dan terakhir adalah penempatan ke negara ketiga. Opsi pertama sulit dilakukan karena keadaan Afghanistan yang kacau serta resiko terbunuh apabila pengungsi kembali ke Afghanistan, sedangkan opsi kedua yaitu intergrasi lokal sulit terwujud mengingat Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menerima karena belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Hanya opsi penempatan ke negara ketiga yang memungkinkan terjadi dan menjadi harapan terakhir bagi pengungsi. Pada dasarnya Pemerintah Indonesia tetap berperan dalam pengawasan pengungsi tersebut karena telah menetap di wilayah Indonesia. Fungsi pengawasan tersebut perlu dilakukan untuk mencegah tindakan-tindakan yang dapat melanggar peraturan yang berlaku. Karena muncul masalah seperti pelanggaran keimigrasian yang dilakukan oleh para pengungsi contohnya : pengungsi memiliki pekerjaan, memiliki property, bahkan hingga penyalahgunaan Narkoba (Wayan, 2012). Menurut Tobing, pihak Imigrasi tidak mampu untuk melakukan pengawasan secara efektif terhadap eksistensi pengungsi Afghanistan yang masuk secara illegal ke Indonesia (Tobing. 2010: 20-21). Hal ini dikarenakan tidak adanya anggaran yang memadai yang dimiliki oleh Kementrian Hukum dan HAM untuk memberikan bantuan yang maksimal terhadap para pengungsi Afghanistan yang berada di Indonesia. Menurut Sasongko dalam Roberts Anita, pihak Imigrasi tetap menyikapi masalah pengungsi dengan asas kemanusiaan dan penerapan non refoulment yang berarti apabila pihak Imigrasi menangkap pengungsi yang masuk secara illegal, tidak dikenakan hukuman deportasi, tapi diserahkan kepada UNHCR dan IOM (2000:32). C. Kebijakan Australia Dalam Merespon Keberadaan Pengungsi di Indonesia Australia memiliki peraturan ketat dalam melakukan kebijakan resettlement bagi para pengungsi yang mengajukan permohonan visa. Pada tahun 2008, terdapat sekitar 7.324 pengungsi yang mengajukan aplikasi resettlement ke pemerintah Australia. Kenyataanya, hanya sekitar 1.845 jiwa yang diterima aplikasinya dan diberikan visa untuk tinggal di Australia secara legal sehingga sang pengungsi tersebut memiliki hak untuk bekerja, sekolah, dan memiliki usaha. (Paloma Bourgonje, 2010:22). Menurut Ikrar Nusa Bhakti, kebijakan imigrasi Australia dalam menerima para pengungsi Afghanistan memiliki beberapa kriteria yaitu, pertama, memiliki profesi/keahlian di suatu bidang sehingga mampu bekerja dengan baik di Australia. Kedua, memiliki tabungan atau harta yang cukup untuk diinvestasikan di Australia. Ketiga, memiliki sponsor dari perusahaan yang memperkerjakannya di Australia. Keempat, family reunion yaitu diterimanya ibu, bapak, anak, suami, istri yang sudah mendapatkan kewarganegaraan Australia. (Muna, 2002: 29-30). Australia memiliki dua opsi kebijakan dalam pencegahan kedatangan pengungsi ke wilayahnya yaitu Pacific Solution dan Indonesia Solution. Pacific Solution merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Australia pada masa pemerintahan Perdana Menteri Jhon Howard. Kebijakan ini menitikberatkan pada pencegahan agar para pengungsi tidak secara langsung masuk ke wilayah daratan benua Australia, akan tetapi dilakukan sebuah penyeleksian bagi para pengungsi yang ingin mendapatkan visa di luar wilayah Australia. Penyeleksian tersebut dilakukan di Papua Nugini dan Nauru (Adirini, 2009:29). Australia memberikan bantuan sebesar $100 juta dollar kepada Nauru untuk pembangunan detention centre di negara tersebut. Hal ini merupakan upaya Australia untuk mencegah menumpuknya para pengungsi di wilayah Australia yang berpotensi dapat mengganggu keamanan nasional Australia. Meski mendapatkan kecaman internasional, akan tetapi kebijakan ini terus dilakukan selama PM Howard berkuasa (Adirini, 2009:29). Kebijakan Australia selanjutnya ialah Indonesia Solution. Kebijakan ini diberlakukan ketika PM Kevin Rudd memimpin Australia. Pada dasarnya kebijakan ini sama dengan kebijakan Pacific Solution yang intinya untuk mencegah kedatangan pengungsi ke wilayah Australia, akan tetapi dikatakan lebih manusiawi. PM Rudd membangun kerjasama dengan Indonesia dengan memberikan bantuan dana untuk membangun detention centre di Tanjung Pinang. Kebijakan ini dinilai mampu untuk sekedar mempersempit ruang para pengungsi untuk masuk secara langsung ke wilayah daratan benua Australia (Adirini, 2009:30) D. Keterlibatan Pihak Lain Dalam Menangani Pengungsi Afghanistan di Indonesia Keberadaan IOM di Indonesia memiliki misi khusus yaitu untuk membantu pemerintah Indonesia dalam menangani masalah keimigrasian. Masalah keimigrasian itu dapat berupa masuknya pengungsi internasional ke Indonesia, masalah perdagangan manusia, penyelundupan manusia dan restrukturisasi paska bencana alam di Indonesia. Dalam penelitian ini, fungsi dan tugas IOM yang dikaji dan dibahas ialah fungsi mengenai peran IOM dalam menangani pengungsi asal Afghanistan. Oleh karena itu, IOM membantu beban berat Indonesia dalam mengatur pengungsi Afghanistan yang masuk secara illegal ke Indonesia. Kerjasama IOM dengan Indonesia pertama kali dibangun ketika pada tahun 2001 diadakan sebuah forum internasional yang membahas kejahatan internasional. Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Persons and Related Transnational Crime merupakan sebuah forum yang pertama kali diadakan di Bali pada tahun 2001. Indonesia dan Australia menjadi ketua dalam forum ini yang beranggotakan negara-negara ASEAN, Asia Pasifik, UNHCR dan IOM (baliprocess, 2008). Dibawah ini akan dijelaskan beberapa keterlibatan pihak lain dalam mendukung peran IOM dalam menangani masalah pengungsi Afghanistan di Indonesia. 1. Bali Process Pada tahun 2001, atas inisiatif Australia dan Indonesia dibentuk sebuah forum bertukar informasi mengenai kejahatan internasional yang terjadi dikawasan Asia Pasifik. Forum itu diadakan pertama kali di Bali, sehingga disebut Bali Process. Bali process hingga kini beranggotakan 46 negara Asia Pasifik ditambah dengan dua organisasi internasional yaitu UNHCR dan IOM (baliprocess, 2008). Tujuan utama dibentuknya Bali Process untuk menjadi sebuah ajang forum kerjasama dan bertukar informasi mengenai penyelundupan manusia, perdagangan manusia, dan kejahatan internasional. Dengan terbentuknya sebuah forum ini, diharapkan tiap-tiap negara akan lebih meningkatkan kewaspadaan dan pencegahan terhadap kejahatan internasional (baliprocess, 2008). Pada dasarnya, Bali Process merupakan bentuk kerjasama regional, akan tetapi IOM dan UNHCR ikut berpartisipasi dalam forum ini karena bersangkutan dengan masalah people smuggling (penyelundupan manusia) dan trafficking in persons (pedagangan manusia). Sejak 2007, IOM dan UNHCR menjadi steering committee bersama Australia, Indonesia, Thailand dan Selandia Baru (Humprey Wangke, 2012:8). Gambar 2. Ilustrasi Struktur Bali Process Sumber: Paul Roberts, UN Human Rights & Commonwealth Division Ministry of Foreign Affairs & Trade Konferensi Bali Process pertama dilaksakan pada 26-28 Februari 2002 di Bali. Dalam konferensi tersebut telah disepakati sebuah kerjasama regional yang berusaha untuk mencegah kejahatan internasional yang terdiri atas people smuggling, trafficking in persons, trafficking of narcotics, money laundering. Dengan adanya kerjasama regional maka dapat mempermudah pengawasan terhadap kejahatan internasional yang terjadi di wilayah Asia Pasifik (BMRC1, 2002). Pada tahun 2011 dalam Konferensi Bali Process keempat, dibentuk sebuah kerjasama yang disebut Regional Cooperation Framework yang bertujuan untuk menimalisir penyebrangan migran illegal di kawasan Asia Pasifik (Regional Support Office). Terdapat beberapa prinsip utama Bali Process dalam Regional Cooperation Framework yaitu: A. Kegiatan penyelundupan manusia yang dilakukan oleh sindikat kejahatan harus diberantas, dan tiap negara anggota harus mempromosikan kesempatan migrasi legal. B. Memastikan para Pencari Suakan mendapatkan akses dalam proses penempatan sesuai dengan kerjasama yang berlaku. C. Memastikan indvidu yang menjadi pengungsi diberikan kesempatan untuk mendapatkan penempatan ke negara lain agar menjadi solusi terbaik baginya. D. Bagi Individu yang sekiranya tidak membutuhkan bantuan, harus dikembalikan ke negara asalnya. E. Penyelundupan manusia harus menjadi target utama dalam kerjasama keamanan, penegakan hukum dan pencegahan perdagangan manusia. 2. Kerjasama Tripartit (Indonesia, Australia dan IOM) Memecahkan masalah pengungsi di wilayah Indonesia diperlukan bantuan dari berbagai pihak selain Indonesia sendiri. IOM sebagai lembaga internasional yang menangani pengungsi dan Australia sebagai negara tujuan para pengungsi. Ketiga pihak tersebut telah melakukan berbagai kegiatan untuk menangulangi masalah pengungsi yang mayoritas berkewarganegaraan Afghanistan. Pada tahun 2001, telah disepakati sebuah perjanjian antara Indonesia, Australia dan IOM. Kerjasama itu bertujuan untuk membantu para pengungsi atau pencari suaka yang masuk ke Indonesia kembali ke negara asalnya atau memfasilitasi untuk penempatan ke negara ketiga (IOM 2010 fact sheet). Kerjasama antar pihak memang sangat diperlukan untuk menemukan solusi terbaik bagi para pengungsi Afghanistan yang pada dasarnya hanya menginginkan hak hidup secara aman. Akan tetapi, cita-cita pengungsi tersebut sangat sulit tercapai tanpa adanya bantuan dari Organisasi seperti UNHCR, IOM serta negara-negara yang bersangkutan. Pada tahun 2007 dibentuk sebuah kerjasama untuk memperkuat kerjasama Tripartit antara IOM, Indonesia dan Australia yaitu Reinforcing Management of Irregular Migration (RMIM). RMIM merupakan program preventif dengan membentuk pola pencegahan arus migrasi gelap di Indonesia melalui peningkatan kesadaran tentang penyelundupan manusia. Serta memberikan pelatihan terhadap pejabat lokal Indonesia seperti Polri dan Imigrasi dalam menghadapi masalah imigran gelap yang terjadi di Indonesia (Iregular Migration Fact Sheet 2010). Program RMIM ini dibagi atas dua fase yaitu fase pertama yang dimulai sejak Juli 2007-Juni 2009 dan fase kedua yaitu Juli 2009-Juni 2013. Pada tahun 2007-2011, IOM telah mengadakan 104 Loka karya yang melibatkan 5.980 orang peserta dari Imigrasi, Polri, Kejaksaan, TNI dan Pemda. Diharapkan adanya program ini dapat memberikan pengetahuan bagi berbagai pihak di Indonesia dalam menghadapi masalah pengungsi yang masuk secara illegal ke Indonesia (IOM, Desiminasi Bagi Petugas Imigrasi dan Pejabat Pemerintah Mengenai Penyelundupan Manusia dan Statless di Indonesia, 2013). BAB IV PERAN IOM DALAM MENANGANI PENGUNGSI AFGHANISTAN Dalam bab ini akan dijelaskan bagaimana peran yang dijalankan oleh IOM dalam menangani pengungsi yang masuk secara illegal ke wilayah Indonesia. Keberadaan IOM di Indonesia dibutuhkan karena berperan besar terhadap nasib para pengungsi Afghanistan yang tinggal sementara di Indonesia. IOM memberikan fasilitas kehidupan berupa kebutuhan pangan, sandang dan papan. Hal ini diberikan mengingat pihak Indonesia yang tidak memiliki kewajiban secara formal legal untuk memberikan bantuan kepada pengungsi Afghanistan karena Indonesia bukan salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. A. Peran IOM Dalam Menangani Pengungsi Afghanistan di Indonesia Beban dan tanggung jawab besar dihadapi oleh IOM ketika menangani pengungsi Afghanistan yang terdampar di Indonesia. Sebagai lembaga internasional yang dimandatkan untuk memberikan kontribusi dalam menangani masalah pengungsi berdasarkan Konvensi Pengungsi 1951, IOM menjadi salah satu pihak yang memiliki kewajiban membantu para pengungsi Afghanistan. Hal ini terkait posisi Indonesia yang bukan negara peratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 sehingga secara legal formal tidak memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan secara langsung kepada pengungsi (Atik, 2012:183). Dalam mengkaji bagaimana peran IOM dalam menangani pengungsi Afghanistan di Indonesia, penelitian ini mengklasifikasikan beberapa peran penting IOM, yaitu peran IOM sebagai Inisiator, Peran IOM sebagai Fasilitator dan Peran IOM sebagai Mediator. 1. Peran IOM sebagai Inisiator Sebagai sebuah organisasi internasional dibawah badan PBB, IOM berdiri dengan tujuan utama sebagai organisasi yang menangani masalah pengungsi di seluruh dunia termasuk masalah munculnya pengungsi Afghanistan di Indonesia. Berdasarkan Konvensi Pengungsi 1951 bahwasanya masalah pengungsi telah dimandatkan kepada dua organisasi internasional yaitu UNHCR dan IOM. IOM merupakan organisasi dibawah PBB yang memiliki tugas utama untuk mengatasi masalah pengungsi yang semakin banyak di seluruh dunia. Peran IOM sebagai Inisiator dalam menangani masalah pengungsi Afghanistan di Indonesia didasari atas terbatasnya hukum nasional Indonesia yang mengatur masalah pengungsi. Hal ini disebabkan Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 (Atik, 2012:189). Pada 4 Oktober 2000 terjadi pertemuan antara IOM dengan pihak Indonesia yang diwakili Dirjen Politik Deplu Hasan Wirajuda. Dalam pertemuan tersebut telah disepakati sebuah naskah pengaturan kerjasama (Cooperation Arrangement Between the Government of Indonesia and International Organization for Migration). Inti dari pertemuan tersebut ialah IOM bersedia untuk memberikan bantuan teknis dalam upaya menangani masalah-masalah migrasi (Kemlu, 2000). Untuk merespon kerjasama antara IOM dengan Indonesia tersebut, maka dibuat sebuah Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Tahun 2002, bahwa tanggung jawab masalah pengungsi dilimpahkan kepada UNHCR dan IOM (Tobing, 2002:17). Didasarkan atas mandat dari Konvensi Pengungsi 1951 dan mandat yang diberikan oleh Pihak Indonesia kepada IOM dan UNHCR, maka IOM melakukan aktivitas pengaturan migrasi terhadap pengungsi Afghanistan seperti menyediakan tempat tinggal, biaya kehidupan sehari-hari, dan menyediakan fasilitas pemulangan secara sukarela. Keberadaan IOM diperlukan oleh para pengungsi Afghanistan dan pihak Indonesia. Karena pihak Indonesia pun tidak dapat berbuat banyak terhadap munculnya pengungsi Afghanistan yang masuk ke wilayah Indonesia. Serta ketiadaan kemampuan dan keinginan pihak Indonesia dalam menghadapi masalah pengungsi Afghanistan (Roberts Anita, 2000:24). Keberadaan IOM di Indonesia mampu menangani masalah pengungsi yang semakin banyak dan sulit dideteksi keberadaannya di Indonesia. Keterbatasan SDM yang dimiliki Indonesia serta luas wilayah Indonesia yang memiliki garis pantai yang panjang menambah berat beban yang diemban oleh IOM. 2. Peran IOM sebagai Fasilitator Ketika para pengungsi memilih untuk transit di Indonesia dan kemudian melanjutkan perjalanannya ke Australia, biasanya mereka pasrah apabila tertangkap oleh pihak berwenang di Indonesia seperti Polri dan Dirjen Imigrasi Indonesia. Kemudian pihak berwajib menghubungi IOM untuk memberikan bantuan kepada pengungsi yang ditahan atau ditempatkan di beberapa penampungan seperti di 13 Rudenim yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia atau tempat-tempat sementara yang disediakan oleh IOM (Heru, 2010:78). Dalam bidang kesehatan, IOM bekerjasama dengan Harvard Medical School (HMS) dan didukung oleh Bank Dunia menyediakan pelayanan kesehatan bagi para pengungsi yang mengalami gangguan kesehatan. Pelayanan kesehatan ini diberikan untuk menjamin hak hidup pengungsi yang terkatung-katung di Indonesia tanpa kejelasan status (IOM annual report 2009). Pemerikasaan kesehatan itu berupa pemeriksaan fisik lengkap, ronsen paru-paru, pengujian serologi untuk HIV AIDS dan Siphilis. Pada 2009 terdapat beberapa program kesehatan yang dilakukan oleh IOM bekerjasama dengan beberapa pihak lain, program tersebut yaitu: a. Kesehatan bagi ibu dan anak Pengungsi. b. Kesehatan psikosial dan mental bagi masyarakat yang terkena dampak konflik. c. Bantuan medis bagi korban bencana alam. d. Peningkatan tentang kesadaran HIV dan mobilitas penduduk yang terintegrasi dengan penerima bantuan dari program layanan IOM. e. Persiapan dalam menghadapi Flu Burung bagi migrant dan masyarakat penerima. f. Pemeriksaan kesehatan bagi migrant dan pengungsi. g. Layanan kesehatan psikosial dan mental bagi migrant gelap dan korban perdagangan manusia. IOM memberikan bantuan psikis terhadap para pengungsi Afghanistan dengan melakukan konseling terhadap mereka. Tekanan mental yang besar serta masa depan yang tak pasti menjadikan pengungsi Afghanistan membutuhkan bantuan konseling. Dalam kegiatan konseling tersebut, pengungsi dapat mencurahkan segala beban terhadap psikolog yang disediakan oleh IOM. Dan dalam proses ini, IOM juga memberikan saran terhadap pengungsi untuk kembali ke negara asal apabila keadaan memungkinkan (IOM Annual Report 2009). Dalam rentang waktu Oktober 2008 hingga September 2009, tercatat 377 pengungsi yang mendapatkan pemeriksaan kesehatan IOM, 5.657 pengungsi yang menerima bantuan kesehatan secara langsung dan konsultasi psikis, 8.789 pengungsi yang mendapatkan konsultasi medis, 1.764 pengungsi yang dirujuk ke rumah sakit, 656 pengungsi yang mendapatkan pemeriksaan kesehatan pra-pemberangkatan ke negara asal, penempatan ke negara ketiga atau pemindahan dari Indonesia (IOM Annual Report 2009). IOM memberikan kebutuhan keseharian para pengungsi Afghanistan yang ditampung di rudenim atau tempat yang disediakan oleh IOM. Bantuan ini berupa bahan makanan, minuman, pakaian, bahkan ongkos hotel yang ditempati oleh pengungsi. Contohnya, setiap pengungsi diberikan jatah makan dan minum Rp. 25.000-30.000/perhari, diberikan jatah ongkos hotel Rp 40.000-100.000, setiap hari raya seperti Idul Fitri, Idul Adha dan Natal, IOM akan memberikan Voucher sebesar Rp.175.000 per orang (Heru, 2010:78). Dalam memenuhi segala kebutuhan pengungsi Afghanistan, IOM bekerja sama dengan beberapa pihak untuk mendapatkan bantuan dana segar dari beberapa pihak yang peduli atas kesulitan yang dihadapi para pengungsi Afghanistan ketika tinggal sementara di Indonesia. Dalam periode 2009, tercatat IOM memiliki dana operasional sebesar ASD 96,722,135 juta. Dana tersebut dihimpun dari beberapa donor seperti yang dijabarkan dalam tabel ini. Tabel 2. B Daftar Donor IOM Indonesia USD 21,407,194 Australia - Department of Immigration and Citizenship (DIAC) USD 17,631,483 European Comission (EC), including ECHO USD 10,602,042 United States Agency for International Development (USAID) USD 9,266,007 Japan USD 8,082,962 American Red Cross USD 7,373,834 Royal Netherlands Embassy (RNE) USD 5,565,948 Canadian International Development Agency (CIDA) USD 4,484,000 Java Reconstruction Fund (JRF) USD 3,184,000 United States - Bureau of Population, Refugees, and Migration USD 1,826,805 AmeriCares USD 1,620,882 Asian Development Bank (ADB) USD 1,614,184 Department For International Development (DFID) USD 1,221,148 Cooperative for Assistance and Relief Everywhere (CARE) USD 668,869 Australian Customs and Border Protection Service USD 660,000 The Office to Monitor and Combat Trafficking in Persons (G/TIP) USD 654,046 Save The Children USD 407,618 Central Emergency Response Fund USD 183,887 Australian Federal Police USD 141,849 Central Fund for Influenza Action (CFIA) USD 100,000 Brazil USD 15,540 Norwegian Embassy USD 9,837 UNAIDS – Programme Acceleration Funds (PAF) USD 96,722,135 Total Sumber: IOM annual report 2009 3. Peran IOM sebagai Mediator Dalam memecahkan masalah pengungsi di Indonesia, IOM dan pihak Indonesia mencari jalan keluar untuk menangani masalah ini. Pengungsi Afghanistan hanya ingin mencari kehidupan yang lebih baik di Australia namun harus melewati wilayah Indonesia, sedangkan pihak Indonesia tidak dapat melakukan tindakan keras seperti pengusiran atau deportasi secara paksa terhadap pengungsi Afghanistan. Maka, dalam setiap melakukan penyuluhan konseling terhadap para pengungsi, IOM selalu menawarkan jalan keluar terhadap pengungsi untuk kembali ke negara asal mereka. Bahkan menurut Jessi Taylor, seorang pengamat pengungsi asal Australia, IOM terpaksa melakukan demotivating terhadap para pengungsi Afghanistan untuk kembali ke negara asal mereka (Taylor, 2009:36). Walaupun Indonesia bukan negara peratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan tidak menjamin keselamatan dan kehidupan para pengungsi Afghanistan di Indonesia, akan tetapi Indonesia tetap menjadi lokasi favorit bagi para pengungsi. Faktor geografis, faktor kesamaan agama serta faktor keramahan orang Indonesia menjadi penyebab mengapa pengungsi Afghanistan memilih Indonesia menjadi lokasi transit atau bahkan menjadi tujuan utama bagi mereka. Maka peran IOM sebagai mediator memberikan solusi kepada pihak Indonesia dan pengungsi Afghanistan dengan aktivitas IOM bertanggung jawab atas keberadaan pengungsi di Indonesi serta aktivitas IOM dalam menyediakan fasilitas pemulangan sukarela bagi para pengungsi Afghanistan. Solusi yang ditawarkan oleh IOM memang tidak selamanya dapat diterima oleh pihak Indonesia dan pengungsi. Penyuluhan sukarela yang ditawarkan oleh IOM terhadap pengungsi seringkali diabaikan bahkan ditolak. Contoh kasus di lapangan ialah kaburnya 18 pengungsi yang berasal dari Afghanistan di NTT (Kompas, 2009). Pihak Indonesia pun pada dasarnya bersedia membantu para pengungsi atas dasar kemanusiaan (Roberts Anita, 2000:23). Akan tetapi, Indonesia juga tidak mau terlalu dibebankan atas masalah pengungsi ini, dengan alasan bahwa Australia lah yang menjadi negara tujuan utama. B. Hambatan Yang Dihadapi Oleh IOM Dalam Menangani Pengungsi Afghanistan di Indonesia Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap para pengungsi diapat dikatakan bersifat lunak walaupun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi. Kebijakan lunak tersebut berupa tidak dikenakannya sanksi deportasi, penempatan pengungsi di rudenim sementara, dan memberikan kebebasan terhadap organisasi internasional untuk mengurusi masalah pengungsi ini. Hal ini menjadi sebuah kesempatan waktu bagi UNHCR dan IOM mencarikan negara ketiga atau membujuk pengungsi kembali ke negara asal. Namun dalam proses penempatan negara ketiga ini menjadi hambatan ketika Australia yang menjadi tujuan utama bagi pengungsi mengeluarkan kebijakan yang lebih ketat dalam kebijakan resettlement atau pemberian visa tinggal kepada pengungsi. Australia menerapkan dua kebijakan dalam program keimigrasiannya (DEECD, 2011:12), yaitu: a. Australia menerima migran berdasarkan keahlian dan hubungan keluarga. b. Australia menerima pengungsi atau pencari suaka berdasarkan kemanusiaan. Kebijakan ini menyebabkan tidak semua pengungsi Afghanistan yang berada di Indonesia dapat diterima di Australia. Kesulitan penempatan pengungsi ke negara ketiga menyebabkan menumpuknya pengungsi Afghanistan di Indonesia. Hal ini yang menjadi salah satu hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh IOM dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di Indonesia. Pada dasarnya, keberadaan pengungsi Afghanistan ini hanya sementara di Indonesia menunggu waktu untuk penempatan ke negara ketiga atau kembali ke negara asal. Kesulitan untuk pencarian negara ketiga dan keengganan kembali ke negara asal menyebabkan meningkatnya jumlah pengungsi khususnya yang berasal di Afghanistan. Jumlah pengungsi yang semakin banyak dan menetap dalam waktu lama dapat berpotensi untuk merugikan pihak Indonesia dari segi sosial khususnya. Karena tidak jarang para pengungsi berperilaku tidak sesuai norma yang berlaku di Indonesia. Hal ini menjadi tantangan yang selanjutnya dihadapi oleh IOM. Tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh IOM ialah munculnya tindakan-tindakan yang melanggar hukum dilakukan oleh pengungsi. Kuantitas pengungsi Afghanistan yang banyak menimbulkan beberapa masalah terkait pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pengungsi. Tindakan melanggar hukum berupa pencurian, pelecehan seksual, penyelahgunaan narkoba dan tindakan terorisme. Menurut Polri, pencari suaka atau pengungsi yang singgah di wilayah Indonesia berpotensi menjadi kurir narkoba internasional bahkan tindakan terorisme (Wayan, 2012). Salah satu contoh di lapangan mengenai tindakan pengungsi yang dinilai melanggar hukum dan norma di Indonesia terjadi di daerah Bogor. Warga Bogor menuntut untuk pengusiran pengungsi dari wilayah Bogor dikarenakan mereka telah dinggap melanggar hukum dan norma yang berlaku. Pengungsi tersebut diduga melakukan tindakan pencurian, pelecahan seksual bahkan melaggar norma agama seperti tidak sholat Jum’at. Menurut data Polri, pada tahun 2009 terdapat 31 kasus pelanggaran pidana yang dilakukan oleh pengungsi (Polri, 2012). Tindakan seperti ini dianggap berefek negatif bagi masyarakat Bogor walaupun kehadiran pengungsi di wilayah Bogor dapat memberikan keuntungan secara ekonomi bagi masyarakat lokal (Antara, Maret 2012). Tindakan pengungsi yang melanggar hukum atau norma di Indonesia menjadi tanggung jawab UNHCR dan khususnya IOM. Hukum Nasional Indonesia memiliki keterbatasan dan kekosongan hukum dalam menghadapi masalah pengungsi yang masuk ke Indonesia sehingga menyebabakan koordinasi yang lemah antar institusi di lapangan (Atik, 2012:189). Bahkan pada dasarnya Pemerintah Daerah di Indonesia merasa keberatan apabila wilayahnya dijadikan sebagai penampungan sementara bagi para pengungsi. Contoh kasus di lapangan ketika Pemerintah Provinsi Banten merasa direpotkan dengan munculnya para pengungsi yang ditangkap di daerah Labuan, Banten. Pemerintah Banten bahkan harus memberikan pelayanan kesehatan terhadap pengungsi tersebut, padahal belum semua masyarakat Banten mendapatkan pelayanan kesehatan. Hal ini menjadi ironi ketika pengungsi diperhatikan sedangkan penduduk sendiri tidak diperhatikan walaupun atas dasar kemanusiaan (Anto Sapto, 2009). BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Letak geografis Indonesia yang sangat strategis berada diantara dua benua dan dua samudera berpotensi menjadikan Indonesia sebagai jalur laut yang ramai. Selain ramai dengan kesibukan perdagangan, jalur laut Indonesia juga disalahgunakan oleh para pengungsi Afghanistan sebagai tempat transit menuju Australia. Kegiatan penyebrangan illegal yang dilakukan oleh pengungsi ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum Indonesia, akan tetapi Pemerintah Indonesia tidak bisa menindak secara hukum pengungsi yang melanggar keimigrasian tersebut dikarenakan dalam Konvensi Pengungsi 1951, Pengungsi dikategorikan sebagai korban dan wajib untuk dilindungi. Walaupun status Indonesia sebagai negara non ratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 akan tetapi Indonesia tetap menghormati hak-hak pengungsi sebagai manusia sesuai Deklarasi HAM 1948. Atas dasar rasa kemanusiaan ini, pihak Indonesia memberikan kelonggaran terhadap para pengungsi Afghanistan yang menetap sementara di Indonesia. Proses penempatan negara ketiga bagi pengungsi Afghanistan membutuhkan waktu yang lama dan sulit untuk direalisasikan. Hal ini dikarenakan kebijakan resettlement atau pemberian suaka oleh pihak Australia yang mensyaratkan ketentuan seperti pengungsi harus memiliki kemampuan (skill) sebagai modal bekerja di Australia. IOM berperan sangat besar bagi kelangsungan hidup bagi pengungsi Afghanistan yang hidup sementara di Indonesia. Dalam penelitian ini, peran IOM diklasifikasikan atas tiga peran yaitu Peran IOM sebagai Inisiator, Peran IOM sebagai Faslitator, dan Peran IOM sebagai Mediator. IOM sebagai Inisiator maksudnya keberadaan IOM di Indonesia merupakan atas mandat Konvensi Pengungsi 1951 yang melimpahkan tanggung jawab pengungsi terhadap IOM dan UNHCR. IOM sebagai Fasilitator merupakan peran IOM dalam memenuhi segala kebutuhan hidup yang diberikan oleh IOM kepada para pengungsi Afghanistan seperti kebutuhan makanan, minuman, tempat singgah, kesehatan. IOM memberikan segala fasilitas bagi pengungsi secara cuma-cuma agar pengungsi dapat melangsungkan hidup selama menunggu penempatan ke negara ketiga atau bahkan pemulangan secara sukerala ke negara asal. Peran IOM sebagai Mediator yaitu peran IOM dalam memberikan solusi bagi pihak Indonesia yang menjadi negara transit para pengungsi serta bagi pengungsi itu sendiri. Proses penempatan ke negara ketiga yang membutuhkan waktu yang lama karena ketatnya kebijakan Australia mengenai pengungsi menyebabkan jumlah pengungsi Afghanistan semakin banyak di Indonesia. Oleh Karena itu, IOM menawarkan pemulangan secara sukarela bagi pengungsi atas berlarut-larutnya proses penempatan ke negara ketiga. Beban dan tanggung jawab IOM menjadi lebih berat ketika pengungsi melakukan tindakan tidak sesuai norma dan hukum di Indonesia. Sehingga IOM memberikan penyuluhan kepada pengungsi untuk kembali ke negara asal secara sukarela (Voluntary Repratation). Namun, kenyataan yang terjadi, para pengungsi lebih memilih meninggalkan fasilitas yang diberikan IOM dan menyebrang ke wilayah Australia melalui jalur pelabuhan tradisional Indonesia seperti di kawasan Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Hasilnya, banyak kasus perahu yang membawa para pengungsi tenggelam di tengah laut karena minimnya fasilitas dan kelayakan perahu. Keberadaan IOM di Indonesia memang sangat dirasakan manfaatnya, karena ketidakmampuan dan ketidakmauan pihak Indonesia dalam menangani pengungsi. Alasan klasik selalu dikemukakan pihak Indonesia yaitu tidak adanya dana dan pengungsi bukan warga Indonesia. Oleh karena itu, IOM memiliki kewenangan dan tanggung jawab terkait pengungsi di Indonesia melebihi pemerintah Indonesia sendiri. Pada dasarnya pengungsi Afghanistan memiliki tiga pilihan yang dihadapkan kepada mereka. Pertama, penempatan ke negara ketiga seperit Australia. Kedua, local integration atau menetap di negara transit selamanya dan yang terakhir yaitu voluntary repratation pemulangan secara sukarela. Ketiga pilihan tersebut memang sulit terealisasikan karena pada pilihan pertama yaitu penempatan ke negara ketiga seperti Australia membutuhkan proses penyeleksian yang panjang sebab Australia memiliki standar dalam memberikan permanent visa terhadap para pengungsi. Pilihan kedua yaitu menetap di Indonesia sebagai penduduk tidak mungkin terjadi selama Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi. Dan pilihan terakhir yaitu pemulangan ke negara asal merupakan pilihan termudah akan tetapi beresiko tinggi selama negara Afghanistan masih berada dalam kondisi tidak aman. Semua keputusan kembali kepada individu pengungsi tersebut, karena IOM hanya memberikan bantuan kehidupan sementara di negara transit. Dalam memecahkan masalah pengungsi ini, harus diselesaikan dari awal penyebabnya yaitu ketidakmampuan sebuah negara dalam memberikan rasa aman dan kesejahteraan terhadap penduduknya. Oleh karena itu, masalah pengungsi bukan hanya saja masalah UNHCR, IOM dan negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi, akan tetapi seluruh komunitas internasional karena pengungsi merupakan korban bukan penjahat yang melanggar batas wilayah sebuah negara. Sikap dan kebijakan Indonesia dalam menghadapi masalah pengungsi Afghanistan perlu diapresiasi karena pihak Indonesia tetap memberikan perhatian dengan dasar kemanusiaan. Walaupun Indonesia masih memiliki masalah lain seperti masalah ekonomi, kemiskinan, sosial, dan bencana alam. B. Saran Meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 bagi Indonesia merupakan sebuah pilihan yang akan berdampak besar. Terdapat berbagai konsekuensi dan tanggung jawab yang dihadapkan kepada Indonesia apabila menjadi salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Kewajiban akan diemban oleh Indonesia untuk membantu pengungsi dalam segi fasilitas kehidupan, penampungan bahkan integrasi lokal yaitu Indonesia menerima pengungsi sebagai warga negara. Dalam Program RANHAM 2010-2014 Indonesia berencana untuk meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Apabila Indonesia meratifikasi Konvensi ini, Indonesia memiliki kewenangan untuk menentukan seseorang itu sebagai pengungsi atau bukan. Maka sebagian peran UNHCR dan IOM akan dilimpahkan ke Indonesia. Akan tetapi, apabila situasi ini terjadi, dapat dipastikan Indonesia menjadi tujuan utama pengungsi Afghanistan sebagai negara transit atau bahkan negara tujuan utama. Karena secara aspek sosial, Indonesia memiliki kesamaan agama, adat istiadat yang ramah dari pada Australia yang cenderung kebarat-baratan walaupun secara ekonomi, Australia lebih menjanjikan daripada Indonesia. Kebijakan Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 memang perlu pertimbangan secara mendalam dan membandingkan sebesar apa efek negatif dan efek positif yang akan ditimbulkan apabila Indonesia meratifikasi Konvensi Pengungsi. Namun yang perlu dijunjung tinggi oleh Indonesia walaupun belum meratifikasinya yaitu pengungi merupakan korban yang perlu dihormati segala hak-hak kemanusiaannya.