Senin, 21 November 2011

Ringkasan buku "Pembersihan Etnis Palestina" oleh Illan Pappe

Ilan pappe, “Pembersihan Etnis Palestina”, PT elex media komputindo, 2006 Dalam buku tersebut terdapat 12 bab yang menjelaskan mengenai pembersihan etnis di Palestina. Penulis akan mereview buku tersebut per bab. BAB 1 “Sebuah “Dugaan” Pembersihan Etnis Pembersihan etnis adalah sebuah kejahatan melawan kemanusiaan, dan dapat dibawa ke Pengadilan Internasional. Ensiklopedia Hutchinson mendefinisikan pembersihan etnis sebagai pengusiran secara paksa untuk menghomogenisasi secara etnis, campuran populasi suatu daerah atau wilayah tertentu. Definisi tersebut diterima oleh depdagri AS, UNHR salah satu organisasi di bawah PBB mendifinisikan pembersihan etnis yaitu sebuah tindakan pemisahan pria dan wanita, penahanan kaum laki-laki, penghancuran tempat tinggal dan tindakan setelahnya, yaitu penempatan kembali atau repopulasi sisa-sisa tempat tinggal dengan kelompok etnis yang lain. Pembersihan etnis di Palestina adalah kejadian yang nyata bukan sebuah “ dugaan” yang dianggap dunia internasional. Kejahatan tersebut dilakukan oleh beberapa elite Israel yang dianggap sebagai pahlawan oleh rakyatnya seperti David Ben Gurion. Pada 10 maret 1948 di sebuah gedung yang disebut Red House,Dia dan kelompok yang disebut “Orientalis” membuat sebuah rencana pengusiran besar-besaran warga Palestina dari wilayah Palestina yang disebut dengan Rencana Dalet. Termasuk di dalam kelompok tersebut adalah Yigael Yadin, Moshe Dayan, Yigal Allon, Yitzhak Sadeh, Moshe Kalman, Moshe Karmel, Yitzhak Rabin, Shimon Avidan, Rehavan Zeevi, Yitzhak Pundak. Mereka inilah kaum intelektual dan sebagian besar kaum militer yang merencanakan dan memimpin pasukannya untuk melakukan pembersihan dengan menghancurkan desa-desa warga Palestina. Dan kemudian ada juga agen intelijen di lapangan yang bertugas menetukan desa mana yang akan dihancurkan selanjutnya. Pertanyaan yang sangat mendasar dari pembersihan etnis di Palestina ialah, mengapa kejahatan yang dilakukan pada zaman modern yang dapat mendatangkan wartawan luar negeri dan pengamat PBB, bisa sepenuhnya diabaikan?. Angka tiga seperempat dari sejuta warga palestina saat itu pada tahun 1948 yang terusir dari tanahnya bisa saja tampak “sederhana” ketika dibandingkan dengan pengusiran orang-orang di eropa sabagai akibat PD II, atau pengusiran yang terjadi di Afrika selama awal abad 20. Namun , kadang-kadang kita perlu merelatifkan jumlah itu dan berpikir dalam persentase untuk mulai dengan memahami besarnya tragedi yang melanda populasi seluruh negri. Sebagaian dari penduduk asli Palestina diusir keluar, sebagian dari desa, kota mereka dihancurkan dan hanya sedikit dari mereka yang bisa kembali. BAB 2 “Upaya Untuk Sebuah Negara Yahudi yang Ekslusif” Zionisme adalah ideologi yang dibuat oleh Theodore Herlz yang mengaitkan nya dengan kebangkitan nasional dengan kolonialisasi. Eretz Israel adalah nama palestina bagi agama yahudi, telah diturunkan berabad-abad sebagai tempat bagi peziarah suci, bukan Negara sekuler masa depan. Tradisi dan agama yahudi dengan jelas memerintahkan kaum yahudi untuk menanti kedatangan Messias yang dijanjikan pada akhir zaman sebelum mereka bisa kembali ke Eretz Israel sebagai bangsa yang berkuasa dalam teokrasi yahudi, yang oleh karena itu, sebagai pelayan tuhan yang setia. Inilah sebabnya sebagian aliran yahudi ortodoks bukan zionis malahan anti zionis. Dapat disimpulkan bahwa Zionisme adalah gerakan sekuler. Saat pertama kali kaum yahudi eropa datang ke Palestina pada awal 1900an, mereka tak dianggap sebagai kaum pelarian yang tak memiliki pengaruh. Namun pada tahun 1905an beberapa pemimpin kaum zionis ini bermaksud membeli tanah, aset di Palestina, dan para pemimpin Palestina pada saat itu belum menganggap itu sebagai bahaya yang akan datang. Anggota parlemen Ottoman, Said al Husayni mengatakan bahwa warga yahudi bermaksud ingin mendirikan Negara di wilayah Palestina, Syiria, dan Irak. Walaupun ia mengatakan itu, tetap saja ia menjual tanahnya ke warga yahudi. Alasan mengapa warga yahudi berusaha menetap di Palestina daripada di lokasi lain yang mungkin adalah karena saling erat terkaitnya gerakan Milleniarisme kristiani pada abad 19 dan kolonialisme eropa, yang kita ketahui bahwa Palestina adalah daerah mandat Inggris. Pada tahun 1917 diadakan deklarasi Balfour yang intinya Inggris berjanji akan mendirikan rumah bagi warga yahudi. Deklarasi tersebut mendapat tentangan dari warga Palestina yang mengakibatkan konflik dan pemberontakan. Sebelum membentuk sebuah Negara Israel, Zionis membentuk sebuah gerakan militer bawah tanah yang disebut Hagana. Para pemimpin Zionis sadar bahwa mendirikan sebuah Negara yahudi membutuhkan sebuah alat militer. Ditangan Orde Charles Wingate, Hagana menjadi sebuah angkatan bersenjata yang prefesional dan sadis dalam membantai warga palestina. Selain gerakan militer, zionis juga membentuk sebuah agensi untuk membeli tanah palestina sebelum kemudian ditempati oleh imigran yahudi yaitu JNF {jewish national foundation}. Prioritas gerakan ini adalah memfasilitasi pengusiran penyewa Palestina dari tanah yang dibeli oleh warga yahudi. Pada akhir mandate tahun 1948, kamunitas yahudi memiliki sekitar 5,8 % tanah Palestina. Selanjutnya aktor utama pembersihan etnis tahun 1948 adalah David Ben Gurion yang memimpin gerakan Zionisme dari pertengahan 1920an sampai kira-kira tahun 1960an. Menurutnya, Negara yahudi hanya bisa didirikan dengan paksaan, tapi harus menanti kesempatan saat-saat historis dating mendekat dalam upaya utnuk bisa sepakat secara militer dengan kenyataan demografis di lapangan kehadiran populasi mayoritas non yahudi. Pada akhir bulan agustus 1946, Ben Gurion mengumpulkan pemimpin gerakan zionis di hotel Royal Monsue di Paris untuk membantunya menemukan alternative terhadap rencana Biltmore yang bermaksud mengambil alih seluruh palestina. Sebuah gagasan lama tapi baru. Saat kongres zionis ke 22 tahun 1946 mempercayakan Ben Gurion dengan portofolio pertahanan, dia diberikan control atas semua masalah keamanan komunitas yahudi di Palestina. Ben Gurion memulai tugasnya dengan membuat rencana A, B, C dan D yang intinya adalah pengusiran sistematis warga Palestina dari rumah-rumahnya untuk ditempati oleh imigran yahudi dari eropa. BAB 3 “Pemisahan dan Penghancuran: Resolusi PBB 181 dan Benturannya” Pada tahun 1947, penduduk Palestina terdiri dari tiga perempat warga asli Palestina dan sepertiganya adalah imigran yahudi dari Eropa. PBB yang pada saat itu baru berdiri dan tak memiliki pengalaman dalam hal konflik mengeluarkan sebuah Resolusi 181 yang intinya pemisahan antara warga Palestina dan yahudi. UNSCOP dipercaya oleh PBB untuk mengurusi hal ini. UNSCOP merekomendasikan ke Dewan Umum PBB untuk membagi Palestina menjadi dua Negara yang diikat bersama dalam federasi oleh kesatuan ekonomi dan menjadikan kota yerusalem berada dibawah naungan internasional. Tentu saja resolusi ini ditolak oleh palestina yang merasa mayoritas tetapi diberikan wilayah yang tak sebanding dengan warga yahudi yang sangat minoritas tetapi diberikan tanah yang begitu luas. Liga Arab memutuskan untuk memboikot negosiasi dengan UNSCOP sebelum Resolusi PBB dan tidak ikut ambil bagian dalam perundingan cara pelaksanaan Resolusi 181. Ketidakikutsertaan ini dijasikan kesempatan bagi agensi yahudi untuk mempengaruhi atau mendominasi UNSCOP. Yahudi meminta 80% tanah pa;estina, tapi UNSCOP “hanya “ memberikan 65% tanah bagi yahudi yang sangat minoritas. Alih-alih dibuat resolusi 181 untuk menekan konflik antara Palestina dengan yahudi, resolusi ini malahan membuat pertentangan baru anatara keduanya. Ketidakadilan semakin kentara ketika PBB memberikan tanah yang subur ke wilayah yahudi. Kaum yahudi yang memiliki tanah kurang dari 6% palestina dan penduduknya tidak lebih dari sepertiga populasi, mendapat lebih dari separuh wilayah Palestina. David Ben Gurion yang menjadi pemimpin struktru politik yahudi juga tidak menyetujui resolusi 181. Berbeda dengan Palestina yang mayoritas tetapi diberikan jatah yang tak sepadan, ben gurion merasa Negara yahudi yang sah berarti Negara yang diperluas meliputi seluruh palestina dan hanya memperkenankan sejumlah kecil bagi warga palestina. Namun kaum yahudi zionis senang dengan pengakuan internasional atas Negara yahudi. BAB 4 “Penyelesaian Rencana Utama” Pembersihan etnis dimulai pada awal desember 1947 dengan menyerang desa-desa Palestina dengan dalih pembelasan dendam terhadap vandalisasi Palestina yang menyerang bus-bus yahudi. Penyerangan ini cukup berhasil untuk mengakibatkan pengusiran 75.000 orang Palestina. Pada 10 maret 1948, Rencana Dalet dimulai, target pertama adalah pusat urban Palestina. Hampir 250.000 warga Palestina terusir dari rumah mereka dan yang paling tragis adalah pembantaian Yassin. Pada 15 mei 1948 yahudi mendeklarasikan terbentuknya Negara yahudi di Palestina yang secara resmi diakui oleh dua Negara kuat Amerika dan Uni soviet. Amerika menyimpulkan bahwa Resolusi 181 tidak menghasilkan apa-apa malahan membuat konflik baru, selanjutnya Amerika menawarkan dua skema yaitu: rencana kepercayaan selama lima tahun pada februari 1948 dan tiga bulan gencatan senjata pada 12 mei. Namun para pemimpin zionis meolak rencana tersebut. Pada dasarnya visi utama zionis adalah membentuk Negara yahudi dengan menyediakan tempat tinggal bagi para imigran yahudi dari eropa. Dengan mengorbankan banyak warga Palestina atau disebut dengan Dearabisasi. Tujuan zionis memperoleh sebanyak mungkin palestina dengan sesedikit mungkin penduduk Palestina didalamnya diaplikasikan dalam rencana Dalet. Pada akhir 1946, agensi yahudi memulai negosiasi intensif dengan raja Abdullah dari yordania. Dia adalah keturunan keluarga Hasyim dari Mekkah. Pada perang dunia 1, ia membantu inggris dan sebagai hadiah kesetiaan, keluarga Hasyim diberikan kerajaan Irak dan Yordan yang disebur system mandate. Pada awalnya inggris juga menjanjikan wilayah Syiria, akn tetapi saat Perancis mengusir Faysal, adik Abdullah dari Syiria, Inggris malahan mengkompensasikan dengan Irak, daripada kepada Abdullah. Sebagai anak tertua dari keluarga Hasyim, ia kecewa terhadap kesepakatan ini, semua itu juga karena pada tahun 1924, Hijaz, pusat keluarga Hasyim di saud direbut oleh keluarga Saud. Oleh karena itu Abdullah ingin memperluas wilayah Yordan sampai ke Palestina. Maka ia berelasi dengan zionis dalam penguasaan Palestina. Abdullah berjanji untuk tidak melibatkan semua operasi militer arab melawan Negara yahudi yang membuat berkurang nya kekuatan tentara pembebasan arab. Persetujuan diam-siam dengan yordan ini memperlancar pembersihan etnis di Palestina. Langkah selanjutnya dalam metode pembersihan etnis adalah membangun kekuatan militer yang kuat. Kekuatan militer yahudi sangatlah kuat dan prefesional dibandingkan dengan tentara arab yang tak memiliki senjata yang memadai. Maka tak heran dibanyak peperangan antara keduanya, tentara pembebasan arab mengalami banyak kekalahan. Selain kekuatan militer yahudi yang disebut Hagana, terdapat dua lagi kekuatan militer yahudi yaitu: Irgun dan Geng Stern. Irgun memisahkan diri dari Hagana pada 1931 dan pada 1940an dipimpin oleh Menachim Begin. Dan Geng Stern adalah cabang dari Irgun. Di dalam kekuatan militer tersebut, ada sebuah komando yang disebut Palmach yang terbentuk pada tahun 1941 yang bertugas untuk membantu tentara Inggris melawan tentara Nazi tetapi berubah tugasnya menjadi pasukan pembantai desa-desa Palestina. Sebenarnya warga Arab pada umumnya tidak tinggal diam melihat pembantaian warga Palestina oleh Zionis, dewan Liga Arab, yang terdiri dari menteri-menteri luar negeri arab, merekomendasikan pengiriman senjata untuk Palestina dan pembentukann pasukan relawan Arab, yang disebut pasukan Pembebasan Arab. Liga tersebut menunjuk jenderal Syria sebagai pemimpinnya. BAB 5 ”Cetak Biru Pembersihan Etnis : Rencana Dalet” Rencana Dalet pertama kali dilaksanakan pada desember 1947 ketika Inggris mengakhiri mandatnya di Palestina, hal ini memberikan kesempatan pada David Ben Gurion sebagai pemimpin agensi yahudi untuk mempersiapkan pembersihan etnis yang ia realisasikan dengan Rencana Dalet. Hagana, angkatan bersenjata yahudi yang terdiri juga dari kaum Druze yaitu masyarakat islam dari salah satu aliran Syiah yang disersi dan masuk ke kelompok yahudi, telah mempersiapkan 50.000 pasukan yang terlatih. Wilayah pertama yang menjadi tugas hagana untuk pembersihan etnis adalah perbukitan di pedalaman lereng barat pegunungan Yerusalem. Operasi pembersihan etnis ini disebut Operasi Nachshon. Hagana mnyerang desa-desa yang berisikan penduduk asli palestina yang tak bersenjata. Hagana menyuruh para penduduk desa untuk segera meninggalkan desa sebelum terlambat. Akan tetapi dengan kejinya, hagana tetap saja membunuh warga yang sudah menyatakan menyerah, mereka dibunuh hanya untuk kesenangan para yahudi. Pada saat hagana ingin memasuki desa Qastal, mereka dihadang oleh sekelompok paramiliter yang dipimpin oleh Abdul Qadr al-Husayni. Paramiliter tersebut menyerang orang yahudi dengan tembakan senjata dan rudal-rudal kecil sehingga dapat membunuh beberapa orang yahudi. Namun naasnya, pada april 1948, beliau tewas dalam pertempuran mempertahankan
Qastal yang menyebabkan melemahnya semangat paramiliter Palestina. Perkampungan selanjutnya adalah Deir Yassin. Hagana mengirim pasukan Geng Stern dan Irgun untuk menguasai dan mengusir warga Palestina dari rumah yang mereka tempati sejak abad 18. Sama seperti sebelumnya, militer yahudi menyerang warga palestina yang tak bersenjata dan membunuh mereka secara sadis tanpa prikemanusiaan. Dan perkampungan selanjutnya yang menjadi target Hagana adalah Qalnya, Saris, Beit Surik, dan Biddu. Namun ada dua buah perkampungan yang menjadi pengecualian atau dengan kata lain tak diganggu gugat oleh Hagana yaitu Abu Gawsh dan Nabi Samuil, karena pemimpin kampung tersebut memiliki hubungan baik dengan pemimpin Geng Stern. Selain bergerak didaerah perkampungan, Hagana pula bergerak didaerah perkotaan yang dihuni oleh ribuan warga Palestina. Kota pertama yang menjadi target adalah Haifa. Haifa yang menjadi kota strategis karena memiliki pelabuhan. Kota tersebut hampir sama nasibnya dengan perkampungan yang dihancurkan oleh yahudi. Haifa dihancurkan oleh militer yahudi layak disebut brutal karena hagana menganggap warga palestina seperti tepung dan roti yang wajib dibersihkan di hari paskah. Kota selanjutnya yang menjadi target adalah Yerusalem, Acre, Baysan, Jaffa. Dengan kampanye pembersihan yang berbunyi”bunuh setiap Arab yang kalian temui, bakar yang bisa kalian bakar, dan hancurkan pintu rumah dengan peledak” perintah ini dikatakan oleh Mordhecai Maklef, salah satu pemimpin militer. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apakah inggris mengetahui Rencana Dalet, padahal waktu itu Inggris belum benar-benar meninggalkan Palestina seutuhnya, walaupun inggris sewaktu Rencana Dalet berjalan berusaha menghalangi pasukan Hagana untuk melakukan tugasnya, akan tetapi tak dilakukan secara maksimal untuk membela warga Palestina. Dan yang paling ironis adalah hilang PBB ketika Rencana Dalet dilakukan. Walaupun dengan alasan bahwa PBB dilarang memasuki Palestina secara teroganisir oleh Inggris. Sebenarnya PBB ketika itu sudah berusaha menggunakan segala intervensi nya, namun sekali lagi agensi yahudi dan Inggris memilki kekuatan mandat di Palestina yang berhak melarang PBB masuk ke palestina. BAB 6 “Perang Palsu dan Perang Sungguhan Terhadap Palestina: Mei 1948 Pada akhir Mandat inggris, hampir setengah wilayah pemukiman Palestina dapat dikuasai oleh agensi yahudi pimpinan Ben Gurion. Dalam perjalanan Rencana Dalet, Hagana melakukan pembersihan etnis dengan cara yang sangat sadis, mereka benar-benar membersihkan semua warga Palestina dengan cara membunuhnya dan memperkosa wanitanya. Walaupun sudah terbentuk sebuah paramiliter arab yang bermaksud membebaskan palestina dari jajahan yahudi, namun hal itu menjadi sia-sia karena paramiliter tersebut tak sebanding dengan kekuatan militer Hagana yang lebih kuat dan modern. Dan ditambah lagi dengan adanya affair antara agensi yahudi dan raja Abdullah, maka kepala komandan inggris legion arab, Glubb Pasha menjuluki perang 1948 di Palestina sebagai ‘perang palsu’. Dan perang asli antara agensi yahudi dan Palestina yang sebenarnya terjadi di perkampungan di sekitar Jaffa dan Tel Aviv. Tapi lebih tepatnya bisa disebut memalukan, Hagana yang memiliki persenjataan modern dan lengkap melawan warga Palestina yang tak bersenjata dan sudah menyatakan menyerah pada Israel. BAB 7” Eskalasi Opersi Pemersihan Juni-September 1948” Hasil rapat konsultasi pada 1 juni 1948 telah disetujui pelaksanaan eskalasi operasi pembersihan juni-september ,dalam operasi itu, Israel telah menghancurkan banyak perkampungan diantaranya perkampungan yang berada di distrik Gaza seperti Najd, Burayr, Simsim, kawfakha, Muharraqa, dan Huj. Pengusiran rakyat Palestina ini tidak pernah berhenti walaupun di sidang terhormat PBB upaya negosiasi masih terus berjalan. Selain disebabkan oleh banyaknya rakyat desa yang kembali ke perkampungan, kekejaman dan sikap tanpa perasaan yang diperlihatkan oleh israel juga disebabkan oleh aktivitas sesaat yang dilakukan oleh pasukan arab yang mencoba memborbardir Tel Aviv, meskipun upya penyerangan yang dilakukan tak berhasil menghancurkan tel aviv, hanya kerusakan kecil yang mengenai rumah Ben Gurion. pada 8 juni dimulailah genjatan senjata, meskipun pada prakteknya baru bisa berjalan pada 11 juni. Pada masa gencatan senjata ini, pasukan Israel memulai penghancuran terhadap perkampungan-perkampungan seperti perkampungan Mazar di selatan, Fayja, Biyar’ adas, dan beberapa perkampungan besar yang telah diusir seperti Daliat al-Rawha yang berhasil dimusnahkan dalam sehari. Israel berhasil menguasai Mujaydil dan Nazareth serta perkampungan di sekitarnya pada sebuah operasi pohon palem yang dilakukan pada bulan juni 1948, pendudukan ini mendapat perlawanan dari pasukan arab yang berasal dari Irak dan relawan-relawan ALA, namun hal ini tidak menghentikan upaya israel mengahancurkan perkampungan yang dapat dilakukannya nyaris tanpa hambatan yang berarti. Pada 8 juli 1948 genjatan senjata pertama sudah akan berakhir, dan ketika itu berakhir akan terjadi pemberssihan etnis skala besar yang dilakukan israel, sama seperti ketika pasukan israel melakukan pembuangan terhadap 70.000 orang dari dua kota-Lydd dan Ramla setelah gencatan senjata kedua. Ketika genjatan senjata benar-benar berakhir, pertempuran sporadis terjadi antara pasukan israel dengan unit-unit arab yang berasal dari Yordan, Irak, Syiria dan Lebanon. Sepuluh hari setelah pertempuran tersebut, ratusan ribu warga palestina diusir dari perkampungannya. Mereka diteror dan disiksa secara sadis, sebagian ditembak mati, sebagian lagi dibiarkan hidup dan anak-anak wanitanya diperkosa dengan kejam. Pada 9 juli 1948 dimulailah operasi palem kedua, pada hari setelah genjatan senjata pertama berakhir, Ben Gurion memerintahkan tentaranya untuk tidak mengosongkan kota Nazareth meskipun dia tahu bahwa komandan tertinggi operasi Moshe Karmil telah memerintahkan pengusiran total terhadap kota tersebut. Ben Gurion berarnggapan bahwa kota Nazareth adalah kota penting terutama bagi warga kristen dan bisa menjadi perhatian dunia sehingga dia pikir, kota Nazareth lebih beruntung dari kota-kota lainnya di Palestina. Pada gencatan senjata kedua, pihak Israel melanggar, dan pada sepuluh hari pertama Israel telah berhasil menguasai perkampungan-perkampungan kunci utara Haifa dan beberapa kantong lain yang sebelumnya mereka biarkan untuk tetap ditinggali seperti Damun, Imwas, Tamra, Qabul, dan Mi’ar. Pertempuran juga terus berlanjut selama gencatan senjata kedua, hal ini disebabkan karena Israel mengalami kesulitan untuk mengalahkan pasukan mesir yang berhasil mendapatkan kantong Falluja. BAB 8” Menyelesaikan Tugas: Oktober 1948-Januari 1949” Pada bulan oktober 1948, pasukan Israel berencana melakukan operasi lanjutan pada oktober 1948-januari 1949. Operasi ini dikenal dengan sebuatan Operasi Hiram, nama Hiram sendiri diambil dari nama Alkitabiah Raja Tirus yang menjadi salah satu target skema pembelaan perluasan dan upaya untuk menguasai Galilea atas dan lebanon selatan. Pengambilalihan ini dilakukan israel melalui serangan udara yang intensif sehingga dalam kurun waktu dua minggu pasukan Israel telah berhasil menguasai Galilea dan lebanon selatan. Ketika operasi Hiram dilaksanakan, tentara-tentara israel melakukan pembantaian massal di perkampungan Sa’sa yang membunuh 15 penduduk termasuk lima anak, melakukan pemerkosaan pembunuhan-pembunuhan sadis lainnya. Mereka yang selamat sempat menceritakan bagaimana empat perempuan dan seorang remaja putri di perkosa di hadapan penduduk dan bagaimana perempuan hamil dibayonet. Galilea dapat ditalukan pada 31 oktober 1948 dan pada bulan november-desember mereka pasukan israel melakukan operasi pembersihan sisa-sisa terhadap daerah-daerah perkampungan yang masih dihuni, operasi pembersihan sisa-sisa ini terus berlanjut hingga bulan april 1949 yang ditandai dengan ditaklukkannya perkampungan terakhir yaitu Khirbat Wara al-Sawda. Pada akhir 1948, operasi pemebersihan etnis berpusat pada pelaksanaan kebijakan antirepatriasi. kebijakan ini dilaksanakan melalui dua level kebijakan, level yang pertama fokus pada upaya pemusnahan sisa-sisa pemukiman dan mengantikannya menjadi pemukimam baru yahudi dan hutan alam, level yang kedua lebih fokus pada upaya untuk mencegah berkembangnya tekanan terhadap israel dari dunia internasional untuk segera memulangkan para pengungsi tanpa syarat. Hal ini tentu merupakan kebijakan yang rasional dan sistematis, upaya yang dilakukan pada level pertama bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa pemukiman sehingga tekanan internasional untuk memulangkan pengungsi tidak bisa dijalankan karena pemukiman mereka sudah tidak ada lagi di sana. Melihat keberhasilan yang dicapai, Israel merangsek ke wilayah tepi barat dan Lebanon selatan. Upaya perluasan wilayah ini telah memunculkan mimpi israel untuk membentuk kekaisaran mini di wilayah Palestina. Pembersihan final dilakukan Israel pada november 1948 dengan mengusir pasukan Mesir yang tersisa di nagev selatan. Selain itu, wilayah isdud dan majdal juga berhasil direbut pada bulan yang sama. Tahap final ini memberika kesempatan kepada israel untuk melakukan pengusiran lebih jauh lagi. Di Dawaymeh, tentara Israel mengusir dan membantai warga palestina yang ada disana. Pengusiran ini dilakukan oleh batalion 89 dari brigade delapan dengan menggunakan mobil lapis baja, bayonet, dan senjata perang lainnya. Namun upaya pengusiran yang dilakukan kurang efektif sehingga tentara israel melakukan pembantaian masal untuk memusnahkan warga dawaymeh. Dari kesaksian seorang penduduk, disebutkan bahwa suasana yang sangat mencekam dengan ribuan desingan peluru yang keluar dari senapan-senapan tentara israel. Tentara israel terus menerus melakukan pembantaian bahkan beberapa warga yang bersembunyi di masjid-masjid juga tak luput dari pembantaian ini. BAB 9 “Pendudukan dan Wajah Menyeramkan” Pada hakikatnya Israel telah berhasil melakukan pengusiran warga Palestina dari rumah-rumah mereka, meskipun begitu penderitaan warga palestina tak kunjung berakhir, mereka masih harus merasakan penyiksaan di pengungsian, penyiksaan fisik di kota, pengerusakan ladang-ladang mereka, pengotoran tempat suci dan pengekangan terhadap hak-hak dasar mereka. Nahas sekali nasib para tahanan yang ditangkap oleh Israel dengan tuduhan yang dibuat-buat. Tahanan-tahanan palestina itu digunakan sebagai tenaga kerja paksa dibawah arahan para militer dan didukung oleh para politisi. Mereka harus mengangkut batu-batu berat demi pembangunan israel dan tidak ada yang bisa mengeluh karena kalau tidak patuh akan dihukum dengan pukulan berat. Rakyat Palestina semakin menderita dan tersiksa, kehidupan di kamp pengungsian atau di kamp kerja paksa sama menderitanya. Selama invasi tentara israel, pendudukan terburuk tampaknya terjadi di jaffa. Perlakuan buruk tentara masih terus berlanjut, yang lebih parah mereka tak segan-segan melakukan penjarahan dan memukuli penduduk dnengan begitu sadis. Penjarahan ini dilakukan israel secara legal, dengan menyasar seluruh pusat perdagangan gula, tepung, gandum, bir, beras, dan lain sebagainya. Pemerkosaan wanita Palestina sudah menjadi kejahatan yang sering dilakukan tentara Israel. Berdasarkan laporan PBB, Palang Merah, maupun dari para korban sendiri diketahui bahwa tentara yahudi telah melakukan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap seorang warga palestina. Laporan lain dari Palang Merah menceritakan peristiwa mengerikan yang dimulai pada 9 desember 1948 ketika para tentara masuk secara paksa ke rumah penduduk dan memukuli seorang wanita serta menculik anak gadisnya yang berusia delapan belas tahun, setelah tujuh belas hari, anak tersebut dipulangkan dalam kondisi yang sangat mengenaskan. BAB 10 “Penghapusan Ingatan Nakba” Setelah tentara Israel berhasil menguasai kampung-kampung warga Palestina,Israel mengubahnya menjadi pemukiman Yahudi, setelah direbut dan dihancurkan sekarang tanah palestina dibangun kembali dengan penamaan tempat dan lokasi yang berbeda, hal dilakukan untuk mengibranikan geografi palestina. Supaya kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Israel, dilakukan kebijakan untuk menanam pohon di wilayah palestina untuk membentuknya seperti suasana di eropa. Misi ini dijalankan dibawah otoritas JNF yang bertanggung jawab langsung kepada pemerintah. Paru-paru hijau israel ini ternyata juga menyisipkan upaya israel untuk menutupi kekejamannya terhadap warga palestina dan untuk menghilangkan sejarah palestina dengan mengusung versi sejarah yang berbeda. Kemudian, JNF membangun tempat-tempat umum seperti hotel, resort, bagi warga yahudi. Tempat-tempat rekreasi ini dikelola oleh JNF dan telah membentuk beberapa tempat rekreasi terbesar di israel diantaranya,Hutan Birya, Hutan Ramat Manashe, Hutan Yerusalem, dan Sataf. BAB 11 “Penyangkalan Nakba dan Proses Perdamaian” Setelah warga Palestina terusir dari rumah mereka sendiri, terpaksa meeka mendirikan tenda-tenda pengusngsian dengan hidup alakadarnya. Sementara itu, sebagian warga Palestina masih menempati beberapa wilayah yang berada dibawah pendudukan arab seperti di di Tepi barat dan jalur Gaza. Ketika terjadi pembantaian dan pembersihan etnis rakyat Palestina oleh Israel, terbentuklah suatu sikap solidaritas rakyat Palestina, sikap inipun diwujudkan dengan dibentuknya PLO sebagai pengejewantahan sikap rakyat palestina yang terinspirasi untuk menentukan nasibnya sendiri. Meskipun PLO telah diakui oleh beberapa negara, keberadaannya masih menimbulkan dilema dan konflik, diantaranya yaitu adanya penyangkalan terhadap perdamaian internasional dan penolakan israel untuk mengakui keberadaan Nakba dan pembersihan etnis yang dilakukannya pada tahun 1948. PBB mengupayakan sebuah perdamian bagi Israel dan Palestina, upaya perdamaian ini diwujudkan dengan membentuk konfrensi Lausanne pada tahun 1949. Namun berbagai upaya perdamaian ini menemukan kegagalan akibat intervensi perdana menteri Israel, Ben Gurion dan Raja Abdullah dari Yordania. Pada tahun 2000 terjadi pertemuan antara PM Ehud Barak dan presiden Arafat. Pada pertemuan ini, harapan untuk mengakhiri konflik datang dari presiden Palestina dengan meletakkan tiga esensi utama yang akan menjadi bahan perundingan yaitu, hak pemulangan, yerusalem, dan masa depan pemukiman israel. Namun pada perundingan kamp David, posisi Palestina merumuskan perdamaian tidak begitu penting, malahan hanya Israel yang diperkenankan untuk menyusun pokok-pokok agenda perdamaian, hal ini tidak akan menguntungkan palestina dan hanya akan menutup kembali harapan perdamaian masyarakat palestina. BAB 12 “Benteng Israel” Rakya Palestina menerima bentuk siksaan berbagai macam, dari cara fisik sampai rasisme oleh Israel. Sikap ini diwujudkan israel dengan menetapkan sejumlah kebijakan untu mengatur demografi kependudukan di israel dan untuk mengantisifasi bahaya demografi yang mungkin saja ditimbulkan dengan keberadaan warga palestina di israel. Bahkan lebih parah lagi, israel akan segera membangun tembok pemisah dengan rute mengular sepanjang 670 km tembok beton setinggi 8 meter dan kawat berduri untuk memastikan jumlah warga palestina di dalam israel tetap terbatas. Keseimbangan demografi menjadi isu sentral di israel, banyak politisi, akademisi maupun para jurnalis mulai membicarakan masalah demografi ini sebagai bagian dari masalah yang harus segera diselesaikan, sebagai contoh, partai sayap kanan seperti Yisrael Beytenu, partai etnis Rusia Avigdor Liberman, dan partai religius yang secara terbuka memperdebatkan “pemindahan sukarela” sebagai tanggapan terhadap keseimbangan demografis. Pemerintah israel telah gagal menemukan solusi terhadap peningkatan imigrasi israel, malah sebaliknya semua upaya Israel semakin menambah jumlah populasi arab setelah mereka menambahkan Yerusalem raya, dataran tinggi Golan dan blok-blok pemukiman besar di tepi barat sebagai bagian dari negara israel.

INTEGRASI EROPA

INTEGRASI EROPA 1. The Treaty of Paris (ECSC), 1952 Proses integrasi Eropa bermula dari dibentuknya “Komunitas Batu Bara dan Baja Eropa” (European Coal and Steel Community/ECSC), yang Traktat-nya ditandatangani tanggal 18 April 1951 di Paris dan berlaku sejak 25 Juli 1952 sampai tahun 2002. Tujuan utama ECSC Treaty adalah penghapusan berbagai hambatan perdagangan dan menciptakan suatu pasar bersama dimana produk, pekerja dan modal dari sektor batu bara dan baja dari negara-negara anggotanya dapat bergerak dengan bebas. Traktat ini ditandatangani oleh Belanda, Belgia, Italia, Jerman, Luksemburg dan Perancis. Hasil utama: a. Pembentukan European Coal and Steel Community (ECSC) b. Penghapusan rivalitas lama antara Jerman dan Perancis, dan memberi dasar bagi pembentukan "Federasi Eropa". 2. The Treaty of Rome (Euratom dan EEC), 1957 Pada tanggal 1-2 Juni 1955, para menlu 6 negara penandatangan ECSC Treaty bersidang di Messina, Itali, dan memutuskan untuk memperluas integrasi Eropa ke semua bidang ekonomi. Pada tanggal 25 Maret 1957 di Roma ditandatangani European Atomic Energy Community (EAEC), namun lebih dikenal dengan Euratom dan European Economic Community (EEC). Keduanya mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1958. Jika ECSC dan Euratom merupakan traktat yang spesifik, detail dan rigid law treaties, maka EEC Treaty lebih merupakan sebuah framework treaty. Tujuan utama EEC Treaty adalah penciptaan suatu pasar bersama diantara negara-negara anggotanya melalui: • Pencapaian suatu Custom Unions yang di satu sisi melibatkan penghapusan customs duties, import quotas dan berbagai hambatan perdagangan lain diantara negara anggota, serta di sisi lain memberlakukan suatu Common Customs Tariff (CCT) vis-á-vis negara ketiga (non anggota) • Implementasi, inter alia melalui harmonisasi kebijakan-kebijakan nasional anggota, 4 freedom of movement - barang, jasa, pekerja dan modal. Hasil utama: a. Ketiga Communities tersebut masing-masing memiliki organ eksekutif yang berbeda-beda. Namun sejak tanggal 1 Juli 1967 dibentuk satu Dewan dan satu Komisi untuk lebih memudahkan manajemen kebijakan bersama yang semakin luas, dimana Komisi Eropa mewarisi wewenang ECSC High Authority, EEC Commission dan Euratom Commission. Sejak saat itu ketiga communities tersebut dikenal sebagai European Communities (EC). b. Pembentukan Dewan Menteri UE, yang menggantikan Special Council of Ministers di ketiga Communities, dan melembagakan "Rotating Council Presidency" untuk masa jabatan selama 6 bulan. c. Membentuk Badan Audit Masyarakat Eropa, menggantikan Badan-badan Audit ECSC, Euratom dan EEC. 3. Schengen Agreement, 1985 Pada tanggal 14 Juni 1985, Belanda, Belgia, Jerman, Luksemburg dan Perancis menandatangani Schengen Agreement, dimana mereka sepakat untuk secara bertahap menghapuskan pemeriksaan di perbatasan mereka dan menjamin pergerakan bebas manusia, baik warga mereka maupun warga negara lain. Perjanjian ini kemudian diperluas dengan memasukkan Itali (1990), Portugal dan Spanyol (1991), Yunani (1992), Austria (1995), Denmark, Finlandia, Norwegia dan Swedia (1996). 4. Single Act, Brussels, 1987 Berdasarkan White Paper yang disusun oleh Komisi Eropa dibawah kepemimpinan Jacques Delors pada tahun 1984, Masyarakat Eropa mencanangkan pembentukan sebuah Pasar Tunggal Eropa. Single European Act, yang ditandatangani pada bulan Pebruari 1986, dan mulai berlaku mulai tanggal 1 Juli 1987, terutama ditujukan sebagai suplemen EEC Treaty. Tujuan utama Single Act adalah pencapaian pasar internal yang ditargetkan untuk dicapai sebelum 31 Desember 1992. Hasil utama: a. Melembagakan pertemuan reguler antara Kepala Negara dan/atau Pemerintahan negara anggota Masyarakat Eropa, yang bertemu paling tidak setahun dua kali, dengan dihadiri oleh Presiden Komisi Eropa. b. European Political Cooperation secara resmi diterima sebagai forum koordinasi dan konsultasi antar pemerintah. b. Seluruh persetujuan asosiasi dan kerjasama serta perluasan Masyarakat Eropa harus mendapat persetujuan Parlemen Eropa. 5. The Treaty of Maastricht (Treaty on European Union), 1992 Treaty on European Union (TEU) yang ditandatangani di Maastricht pada tanggal 7 Februari 1992 dan mulai berlaku tanggal 1 November 1993, mengubah European Communities (EC) menjadi European Union (EU). TEU mencakup, memasukkan dan memodifikasi traktat-traktat terdahulu (ECSC, Euratom dan EEC). Jika Treaties establishing European Community (TEC) memiliki karakter integrasi dan kerjasama ekonomi yang sangat kuat, maka TEU menambahkan karakter lain yaitu kerjasama dibidang Common Foreign and Security Policy (CFSP) dan Justice and Home Affairs (JHA). Hasil utama: a. Tiga pilar kerjasama UE, yaitu: • Pilar 1: European Communities • Pilar 2: Common Foreign and Security Policy - CFSP • Pilar 3: Justice and Home Affairs - JHA b. Memberi wewenang yang lebih besar kepada Parlemen Eropa untuk ikut memutuskan ketentuan hukum UE melalui mekanisme co-decision procedure, dimana Parlemen dan Dewan UE bersama-sama memutuskan suatu produk hukum. Bidang-bidang yang masuk dalam prosedur tersebut adalah: pergerakan bebas pekerja, pasar tunggal, pendidikan, penelitian, lingkungan, Trans-European Network, kesehatan, budaya dan perlindungan konsumen. c. Memperpanjang masa jabatan Komisioner menjadi 5 tahun (sebelumnya 2 tahun) dan pengangkatannya harus mendapat persetujuan Parlemen. d. Menambah area kebijakan yang harus diputuskan dengan mekanisme qualified majority (tidak lagi unanimity), yaitu: riset dan pengembangan teknologi, perlindungan lingkungan, dan kebijakan sosial. e. Memperkenalkan prinsip subsidiarity, yaitu membatasi wewenang institusi UE agar hanya menangani masalah-masalah yang memang lebih tepat dibahas di level UE 6. Perluasan Keanggotaan Berbagai Traktat tersebut kemudian beberapa kali diamandemen, terutama berkaitan dengan penambahan anggota sebagai berikut: 1957: Belgia, Perancis, Jerman, Italia, Luksemburg dan Belanda (6 anggota awal) 1973: Denmark, Irlandia dan Inggris 1981: Yunani 1986: Portugal dan Spanyol 1995: Austria, Finlandia dan Swedia Keanggotaan UE terbuka bagi setiap negara Eropa yang ingin menjadi anggota dengan dua persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu pertama, negara yang bersangkutan harus berada di benua Eropa, dan kedua, negara tersebut menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, penegakan hukum, penghormatan HAM dan menjalankan segala peraturan perundangan UE(acquis communautaires). Proses persiapan dalam rangka perluasaan keanggotaan UE ke-6 dari 15 menjadi 25 negara telah dilakukan dengan target bahwa pada tahun 2004 jumlah negara anggota UE menjadi 25 negara. Proses negosiasi UE dengan ke-10 negara kandidat telah selesai pada tanggal 13 Desember 2002. KTT UE Kopenhagen tanggal 12-13 Desember 2002 memutuskan untuk menerima keanggotaan 10 negara aplikan (Republik Ceko, Estonia, Hongaria, Latvia, Lithuania, Malta, Polandia, Siprus, Republik Slovakia dan Slovenia) mulai 1 Mei 2004, sehingga pada tahun tersebut UE akan beranggotakan 25 negara. KTT juga memutuskan akan menerima keanggotaan Bulgaria dan Romania yang saat ini masih dalam proses perundingan aksesi, pada tahun 2007. Sementara itu, Turki masih didorong untuk melakukan reformasi politik dan ekonomi dalam negerinya agar memenuhi kriteria standar UE (Copenhagen criteria) dan jadwal perundingan aksesi dengan negara tersebut baru dapat ditentukan pada KTT UE tahun 2004 mendatang. 7. The Treaty of Amsterdam, 1997 Pada pertemuan mereka tanggal 17 Juni 1997 di Amsterdam, European Council (para Kepala Negara dan Pemerintahan ke-15 negara anggota UE) merevisi TEU dan menghasilkan sebuah traktat baru. The Treaty of Amsterdam mempunyai empat tujuan utama, yaitu: a. Memprioritaskan hak-hak warga negara dan penyediaan lapangan kerja. Meskipun penyediaan lapangan kerja tetap merupakan kewajiban utama pemerintah nasional, Traktat Amsterdam menekankan perlunya usaha bersama seluruh negara anggota untuk mengatasi pengangguran, yang dianggap sebagai problem utama Eropa saat ini b. Menghapuskan hambatan terakhir menuju freedom of movement dan memperkuat keamanan, dengan meningkatkan kerjasama negara anggota di bidang Justice and Home Affairs c. Memberi UE suara yang lebih kuat di dunia internasional dengan menunjuk seorang High Representative for the CFSP d. Membuat struktur institusi UE lebih efisien, terutama berkaitan dengan gelombang ke-6 enlargement. Salah satu kritik yang sering dialamatkan pada berbagai traktat mengenai UE adalah teks yang rumit dan sangat teknokratis. Hal tersebut membuat traktat dasar UE sulit dibaca dan dimengerti, yang pada gilirannya juga dapat memperlemah dukungan publik terhadap proses integrasi Eropa. Traktat Amsterdam merupakan jawaban terhadap kritikan tersebut karena traktat ini memasukkan TEU dan TEC, dengan penomoran baru pasal-pasalnya untuk lebih memudahkan pemahaman terhadap traktat mengenai UE. Hasil utama: a. Memberi wewenang Dewan Menteri untuk menjatuhkan hukuman pada negara anggota (dengan mencabut sementara beberapa hak mereka, termasuk hak voting) jika negara anggota tersebut melakukan pelanggaran HAM. b. Menyediakan kemungkinan dilakukannya enhanced cooperation, yaitu: beberapa negara anggota (minimal 8) dapat melakukan suatu kerjasama meskipun tidak semua negara anggota menyetujuinya. Negara yang tidak (atau belum) menyetujui kerjasama tersebut dapat bergabung di kemudian hari. Salah satu contohnya adalah bentuk-bentuk kerjasama dalam kerangka CFSP. c. Memasukkan Schengen Agreement dalam TEU (dengan pilihan opt-out bagi Inggris dan Irlandia). e. Menjadikan asylum, visa dan imigrasi sebagai kebijakan bersama (kecuali bagi Inggris dan Irlandia). Dalam waktu lima tahun, negara-negara anggota dapat memutuskan apakah akan menggunakan qualified majority voting 8. The Treaty of Nice, 2000 Pertemuan European Council tanggal 7-9 Desember 2000 di Nice mengadopsi sebuah Traktat baru yang membawa perubahan bagi empat masalah institusional: komposisi dan jumlah Komisioner di Komisi Eropa, bobot suara di Dewan Uni Eropa, mengganti unanimity dengan qualified majority dalam proses pengambilan keputusan dan pengeratan kerjasama. Traktat ini belum berlaku, masih menunggu proses ratifikasi di masing-masing negara anggota. Tanggal 1 Februari 2003, Traktat tersebut mulai berlaku. Hasil utama: a. Dengan memperhatikan perluasan anggota UE, membatasi jumlah anggota Parlemen maksimal sebanya 732 orang dan sekaligus memberi alokasi jumlah kursi tiap negara anggota (sudah termasuk negara anggota baru). b. Mengganti mekanisme pengambilan keputusan bagi 30 pasal dalam TEU yang sebelumnya menggunakan unanimity dan diganti dengan menggunakan mekanisme qualified majority voting. c. Merubah bobot suara negara-negara anggota UE mulai 1 Januari 2005 (sudah termasuk negara-negara anggota baru). e. Mulai 2005, membatasi jumlah Komisioner, 1 Komisioner tiap 1 Negara, dan batas maksimum jumlah Komisioner akan ditetapkan setelah UE beranggotakan 27 negara, serta memperkuat posisi Presiden Komisi. f. Memberi dorongan bagi terselenggaranya Konvensi Masa Depan Eropa, yang digunakan sebagai persiapan bagi penyelenggaraan Intergovernmental Conference di tahun 2003. 9. Konvensi Masa Depan Eropa dan Traktat Aksesi 10 Negara Anggota Baru Berbagai traktat UE tersebut mungkin akan segera mengalami perubahan, sebagai hasil dari Konvensi mengenai Masa Depan UE dan Traktat Aksesi 10 negara anggota baru yang ditandatangani tanggal 16 April 2003 dan akan mulai berlaku mulai tanggal 1 Mei 2004. Sementara ini beberapa pembahasan utama adalah di bidang: a. Penyederhanaan traktat-traktat UE kedalam satu Traktat, dengan penyajian yang lebih jelas dan lebih mudah dimengerti b. Demarkasi kewenangan (who does what in the EU, wewenang UE, wewenang negara anggota, dll) c. Peran Parlemen negara-negara anggota dalam struktur UE. d. Status Charter of Fundamental Rights yang diproklamirkan di Nice.

Minggu, 20 November 2011

KRISIS ENERGI DUNIA

KRISIS ENERGI DUNIA Pada zaman industrialisasi saat ini, semua negara di dunia berkompetisi untuk memproduksi barang dan jasa demi mendapatkan keuntungan yang besar. Negara seperti AS, China, Jepang, Jerman adalah contoh negara industri yang mengedepankan tekhnologi yang canggih. Setiap tekhnologi pasti membutuhkan bahan bakar yaitu minyak bumi. Dan inilah yang menjadi masalah, ketika minyak bumi sebagai unrenewable resource diperkirakan akan habis pada 30 tahun mendatang. dalam politik dan kebijakan internasional memang sudah dilakukan usaha untuk pencegahan krisis dunia dengan mengadakan protokol Kyoto. Protokol Kyoto dengan jargon untuk mengurangi emisi GRK dunia, berarti secara langsung juga mengurangi pemakaain energi dunia, belum mampu memberikan solusi yang bagus. Keengganan Negara-negara maju (dalam Protokol Kyoto disebut dengan negara annex I) menekankan laju memakaian energi, diungkapkan dalam siasat moneter berupa perdagangan karbon yaitu Joint Implementation (JI), Emission Trading (ET), dan Clean Development Mechanism (CDM) . CDM mewajibkan Negara berkembang untuk mencari proyek-proyek yang dapat mengurangi emisi karbon. Pengurangan emisi tersebut kemudian akan dibeli oleh Negara-negara maju. Dengan mekanisme seperti ini, sudah jelas terlihat bahwa negara-negara maju masih bebas menjalankan industri-industrinya yang boros energi. Padahal, justru di Negara-negara majulah yang mengkonsumsi energi paling banyak. Saat ini banyak negara di dunia yang sudah mulai sadar dan khawatir akan krisis energi yang mengerikan ini. Sehingga tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh kecuali dua hal utama yaitu gerakan penghematan energi dan program penemuan sumber energi baru. Dua program besar inilah saat ini menjadi perhatian besar bagi beberapa Negara maju seperti Jepang, Amerika, Jerman dan lain-lain. sebagai manusia yang bertanggung jawab, kita tidak serta merta menyalahkan pihak perusahaan yang mengkonsumsi energi yang besar. Kita pun mengkonsumsi energi seperti bensin, listrik, gas dll. Untuk menghemat energi dunia kita dapat memulainya dari diri kita sendiri. Dari hal yang kecil seperti mengurangi pemakaian bensin untuk kendaraan, maka kita dapat menghemat energi. Pada awal tahun ini, dunia digemparkan dengan terjadinya bencana tsunami di jepang. Bukan hal aneh memang tsunami bagi jepang, yang menjadi masalah dunia adalah bocornya PLTN Fukushima. Hal ini yang menjadi masalah besar bagi Jepang bahkan bagi dunia. Karena radiasi nuklir sangat membahayakan bagi mahluk hidup apabila terpapar langsung. Negara Jepang merupakan salah satu kekuatan ekonomi dunia, terutama di bidang industri. Perkembangan ekonomi Jepang yang cukup menakjubkan terutama juga didukung oleh sumberdaya energi. Sejak tahun 1970an, Jepang menikmati sumberdaya energi gas bumi terutama dalam bentuk LNG (Liquefied Natural Gas) dari Indonesia untuk mengembangkan industri negaranya. Selain itu, Jepang juga sudah mengembangkan nuklir sebagai pembangkit energi utama. Terjadinya gempa dahsyat berskala 8.9 Richter di bagian timur Jepang menimbulkan kegemparan yang begitu dahsyat. Apalagi disertai oleh gelombang tsunami yang meluluhlantakkan daerah pesisir Timur pulau Honshu. Gempa dahsyat tersebut memang hanya menimbulkan sedikit kerusakan pada bangunan-bangunan di Jepang yang sudah didesain secara khusus untuk bertahan menghadapi gempa. Namun, gempa tersebut telah menimbulkan potensi kebocoran di Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima. Sekarang ini, Jepang mengalami krisis energi terutama karena kekurangan suplai listrik karena tidak beroperasinya sejumlah PLTN yang seharusnya mampu menghasilkan 12 GW tenaga listrik. Diperkirakan ada 4 (empat) reaktor nuklir atau sekitar 4.7 GW yang kelihatannya tidak bisa dioperasikan lagi karena injeksi air laut yang bersifat korosif untuk mencegah pemanasan reaktor. Selain itu, sebesar 7.7 GW tidak dapat beroperasi paling tidak selama setahun . Ketakutan akan bahaya nuklir ini tidak hanya menyebabkan ditutupnya PLTN di Jepang, tetapi juga menimbulkan kepanikan di Amerika Serikat dan Eropa yang menutup sebagian PLTN-nya. Jerman sudah menutup 7 pembangkit tenaga nuklir karena ketakutan tersebut. Dengan tidak beroperasinya Pusat Listrik Tenaga Nuklir di Jepang, maka negara itu sekarang harus bergantung kepada sumberdaya energi lain, seperti minyak dan gas bumi serta batubara. Hal ini memicu peningkatan permintaan sumberdaya migas dan batubara yang diperlukan oleh Jepang. Tak pelak lagi, harga gas bumi terutama harga spot gas bumi di Eropa mengalami kenaikan tajam karena permintaan sumberdaya gas dari Jepang. Kenaikan harga gas tersebut sebelumnya juga pernah terjadi di tahun 2007/2008 di mana Jepang meningkatkan impor LNG, sehingga harga gas mencapai $20/mmbtu. Kemungkinan besar, permintaan Jepang akan gas bumi akan terus meningkat selama 1-2 tahun mendatang dan akan memicu kenaikan harga gas dunia. Bahkan pihak Jepang pun sudah melakukan pendekatan kepada negara-negara produsen gas untuk membantu suplai gas ke Jepang. Indonesia pun sudah diminta oleh Jepang untuk meningkatkan suplai gas LNG untuk mengatasi krisis energi di Jepang. Kilang LNG Bontang di Kalimantan sudah mengindikasikan akan menawarkan 20 kargo LNG gas untuk membantu krisis energi Jepang . Permintaan energi yang besar dari Jepang untuk menutupi kekurangan energi nuklirnya, tentunya sedikit banyak akan mempengaruhi harga gas dunia. Ditambah lagi dengan krisis yang muncul di Libia akan menimbulkan ketidakpastian ekonomi dunia dengan menurunnya produksi migas dari Libia, dan akan berpotensi meningkatkan harga minyak dan gas bumi karena Libia merupakan salah satu negara produsen migas yang cukup besar. Padahal harga minyak dunia sekarang sedang merangkak naik dan menembus batas psikologis $100/barel. Karena pengaruh krisis energi Jepang, konflik sekutu di Libia akan memicu lagi kenaikan harga minyak dengan potensi harga minyak sebear $150-200/barel dalam waktu beberapa bulan mendatang . Menurut penulis, krisis energi dapat dikategorikan sebagai ancaman bagi manusia dan ancaman bagi negara. Ketika energi seperti minyak bumi habis, maka akan terjadi penjajahan kontemporer terhadap negara yang memiliki cadangan minyak yang besar. Semisal, sebuah negara menyerang negara lain atas nama memberantas terorisme dunia tetapi dibalik penyerangan tersebut terdapat niat untuk mengeruk minyak bumi(AS-Iraq). Terdapat energi alternatif yang dapat menggantikan energi yang tak bisa diperbaharui yaitu: Nano Tekhnologi Taknologi nano merupakan salah satu terobosan penting dunia yang pada hakikatnya adalah eksplorasi dunia bawah selevel nano. Semboyan ini pertama kali tercetus oleh seorang ilmuwan bernama Richard Feynman yang terkenal dengan kata-katanya, "there is plenty room at the bottom". Pengembangan teknologi nano selain bertujuan untuk mensukseskan penghematan besar-besaran juga untuk usaha penemuan energi baru yang belum terpikirkan manusia sebelumnya. Teknologi nano salah satunya dapat mudah dipahami dengan istilah miniaturisasi teknologi. Kaitannya dengan hemat energi, teknologi ini sudah dengan mudah bisa menjawab bahwa dengan semakin kecil sebuah bahan dibuat semakin kecil pula konsumsi energi yang diperlukan. Pengambangan teknologi nano kini telah diterapkan ke berbagai teknologi yang sudah tersedia, seperti teknologi IC (integrated circuit), semikonduktor, mesin-mesin atau bahkan industri berat dan otomotif. Salah satu keberhasilan teknologi nano dapat dirasakan pada miniaturiasi televisi. Pada awal munculnya TV masih berupa tabung yang sangat besar, kemudian sterlah ditemukan teknologi CRT (cathode ray tube) dimensinya berubah drastis menjadi cukup kecil, setelah itu ketika teknologi layar plasma mulai ditemukan, tabung televisi yang biasanya berada di bagian belakang TV bisa direduksi dan ukurannya pun kian kecil dan ramping . Akhir-akhir ini teknologi layar organik juga telah berhasil ditemukan walaupun belum diproduksi secara massal tetapi layar TV yang tebalnya kurang lebih setebal plastik telah berhasil ditemukan dan siap dinikmati beberapa waktu ke depan. Terobosan luar biasa ini diprediksikan akan menjadi salah satu solusi permasalahan krisis energi dunia. Penelitian-penelitian di bidang nano memang masih terpusat di beberapa negara-negara maju seperti Jepang, Amerika, Jerman, Spanyol, dan juga Turki. Tekhnologi Nuklir Nuklir merupakan istilah yang berhubungan dengan inti atom yang tersusun atas dua buah partikel fundamental, yaitu proton dan neutron. Di dalam inti atom terdapat tiga buah interaksi fundamental yang berperan penting, yaitu gaya nuklir kuat dan gaya elektromagnetik serta pada jangka waktu yang panjang terdapat gaya nuklir lemah. Gaya nuklir kuat merupakan interaksi antara partikel quark dan gluon yang dibahas dalam teori quantum chromodynamics (QCD) sedangkan gaya nuklir lemah adalah interaksi yang terjadi dalam skala inti atom seperti peluruhan beta yang dibahas dalam elecroweak theory.2 Energi nuklir dihasilkan di dalam inti atom melalui dua buah jenis reaksi nuklir, yaitu reaksi fusi dan reaksi fisi. Reaksi fusi adalah suatu reaksi yang menggabungkan beberapa partikel atomik menjadi sebuah partikel atomik yang lebih berat. Reaksi fusi dapat menghasilkan energi yang sangat besar seperti yang terjadi pada bintang. Salah satu reaksi contoh reaksi fusi adalah penggabungan partikel deuterium (D atau 2H) dan tritium (T atau 3H) (Gambar 1.a). Langkah pertama, deuterium dan tritium dipercepat dengan arah yang saling mendekati pada suhu termonuklir. Penggabungan antara dua buah partikel tersebut membentuk helium-5 (5He) yang tidak stabil sehingga mengakibatkan peluruhan. Dalam proses peluruhan ini, sebuah neutron dan partikel helium-4 (4He) terhambur disertai dengan energi yang sangat besar, yaitu 14,1 MeV untuk penghamburan neutron dan 3,5 MeV untuk penghamburan helium-4. Sampai saat ini, reaksi fusi belum dapat dirancang oleh manusia karena membutuhkan suhu yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan pemanfaatan reaksi fusi sebagai sumber energi listrik belum dapat direalisasikan .

HUMAN SECURITY

HUMAN SECURITY Konsep keamanan manusia tercipta dari pendekatan tradisional. Konsep ini terlahir karena dikarenakan sejak dahulu telah ada ketidak setaraan diantara manusia khususnya pihak perempuan yang selalu terkena efek dari militer, Patriarki, kemiskinan, pelecehan hak asasi sehingga perempuan menjadi termarjinalkan. Perempuan selalu diasumsikan tak bisa melakukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh laki-laki. Konsep keamanan menekankan pada semua aspek HAM dan hal-hal yang dibutuhkan dalam keamanan seperti militer, pertahanan dll. Dan keamanan manusia berusaha menjadi pelengkap bagi keamanan sebuah Negara. keamanan manusia berusaha memperluas cakupan dengan memasukan aspek keamanan non tradisional.
Secara tradisional, Negara memonopoli semua aspek keamanan seperti pertahanan wilayah, kedaulatan, dan kepentingan Negara. kebanyakan konflik yang terjadi khususnya di asia dan afrika disebabkan oleh konflik sipil dan pihak yang menjadi korban yang dirugikan adalah rakyat itu sendiri. Pendekatan yang berpusat pada rakyat adalah penyimpangan radikal dari konsep keamanan tradisional. Diskursus yang paling utama didalam aspek Keamanan Nasional dan Hubungan Internasional adalah isu Gender. Hal ini disebabkan karena lingkungan dasar dari teori Hubungan Internasional yaitu teori kaum Realis yang menyatakan bahwa sistem internasional saat ini adalah sistem Anarki. Dengan demikian, nilai-nilai menjadi kebutuhan bagi militer sebagai mata uang bagi kekuatan. Pendekatan keamanan manusia menenkankan implikasi atas persamaan gender dan serius dalam menghadapi diskriminasi yang dialami oleh wanita. Kaum Feminis menyatakan bahwa pentingnya keamanan bagi wanita khususnya ketika dalam situasi perang. Pada dasarnya keamanan wanita tidak dijamin dalam keadaan perang atau damai sekalipun, oleh karena itu perasaan tidak aman bagi wanita datang dari mana saja seperti dari lingkungan, Negara, konflik masyarakat bahkan keluarga itu sendiri. Lebih lanjut, ketidakamanan bagi wanita tidak bisa diukur dari aspek ketiadaan kekerasan kepada mereka. Ini berhubungan dengan keadaan sekeliling mereka, identitas mereka, peran dan status. Diskriminasi terstruktur menambah panjang ketidakamanan bagi wanita semisal dalam bidang ekonomi, politik maupun social. Sistem patriarki yang membatasi peran dan ruang bagi wanita untuk menunjukan apa yang wanita bisa lakukan. Dalam keadaan perang, wanita selalu saja menjadi pihak yang paling dirugikan karena menjadi sasaran empuk oleh musuh dan menjadi pelampias prostitusi para anggota militer. ANCAMAN BAGI KEAMANAN Dilihat dari konsep Keamanan Tradisional, ancaman yang paling berbahaya adalah ancaman Militer dan Terorisme. Kebanyakan konflik di Asia dan Afrika disebabkan oleh faktor internal semisal, konflik antar Agama, Etnis, kesenjangan Ekonomi, dan dominasi kelompok tertentu. Hal ini haruslah diselesaikan dengan baik dan cepat. Ancaman internal ini pecah ketika komunitas-komunitas masyarakat yang memiliki jiwa nasionalisme merasa tertekan atas penderitaan yang diciptakan oleh pemerintahan yang otoriter ataupun ketika dua kekuatan minoritas dan mayoritas berbenturan sehingga menyebabkan Revolusi di Negara-negara absolute. Ancaman dari aspek Militer, sistem Patriarki, kemiskinan, pelanggaran HAM dapat mempengaruhi keadaan wanita yaitu terciptanya kesenjangan status, peran dengan laki-laki. Setelah perang berakhir, laki-laki kembali bekerja seperti biasa akan tetapi wanita tersiksa karena keluarga mereka hancur setelah suami mereka mati dalam perang. Ini banyak terjadi di Negara konflik seperti Iraq, Kongo, Afghanistan. CARA UNTUK MEMBERIKAN KEAMANAN Menurut kaum tradisional, diplomasi dilaksanakan antar Negara karena setiap Negara memiliki kepentingan nasional yang harus dipenuhi. Keamanan nasional adalah agenda yang khsusus bagi setiap Negara, maka Negara memakai kekauatan militer untuk menjaga keamanan daerah teritorialnya atau kedaulatanya. Oleh karena itu, Militer adalah salah satu cara untuk mempertahankan keamanan sekaligus mempertahankan kepentingan nasional dari kepentingan nasional Negara lain. TUJUAN KEAMANAN Tujuan keamanan bagi kaum tradisional adalah menjaga kepentingan nasional, daerah territorial, kedaulatan dan menjamin kekuasaan sebuah Negara. walaupun utamanya Negara memakai kekuatan militer akan tetapi ada saatnya Negara memakai jalan negosiasi untuk menjaga keamanan. Pendekatan keamanan manusia mengemukakan bahwa keamanan berhubungan dengan hak asasi manusia dan perkembangannya. Dibanyak Negara konsep HAM telah banyak diterapkan, akan tetapi hak bagi wanita belum berkembang dan dihargai seperti hak asasi dan demokrasi. Contohnya di India, wanita tak memiliki kesamaan derajat dimata hukum dengan laki-laki dan di Amerika, gaji wanita lebih rendah dari pada laki-laki. Ini menunjukan masih ada diskriminasi pada wanita. Dalam praktek Tradisional, Negara akan menjaga kepentingan nasionalnya tetapi tidak selamanya mereka dapat bertahan dan bekerja sendirian, oleh karena itu banyak Negara kerjasama dengan Negara lain dengan membentuk organisasi keamanan regional atau global seperti NATO. Antara Negara berlatih perang bersama, saling bertukar tekhnologi untuk menjaga daerah regional mereka khususnya dari serangan terorisme. Globalisasi telah meningkatkan hubungan antara Negara-negara di dunia seperti terbentuknya PBB dan organisasi-organisasi serupa yang tujuan utamanya menjaga perdamaian dunia. Dan sekali lagi, wanita selalu tak menjadi bagian dari kemajuan dan perkembangan dunia saat ini. Mereka tetap saja mendapatkan diskriminasi dan ketidakseimbangan kesempatan dengan pria. TEORI DASAR Paradigma keamanan kaum tradisional dan nasional adalah dasar bagi kaum Realis dan Neo Realis yang ditulis oleh Philosop seperti Machiavelli dan Thomas Hobbes dan dikembangkan lagi oleh Clausewitz. Paradigma tersebut kemudian diolah lagi oleh para cendekiawan seperti Morghentau dan Waltz. Semua ahli mengemukakan bahwa sistem internasional pada dasarnya anarkis . Dan apabila Negara ingin mendapatkan semua kepentingan nasional maka haruslah meningkatkan kekuatan dan dominasi khususnya di bidang militer. Tak perlu diragukan lagi, Negara-negara barat telah melewati proses panjang demi menjadi Negara yang demokrasi dan tetap menggunakan pendekatan persamaan untuk memecahkan semua masalah konflik internal. Setelah perang dingin berakhir, para praktisi dan cendekiawan mengemukakan bahwa persepsi tentang keamanan manusia telah berubah. Bukan hanya masalah peperangan, kekerasan tetapi sudah membahas mengenai masalah HAM,sistem pemerintahan yang baik, akses pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dll. Keamanan manusia seperti persamaan Gender adalah salah satu cabang dari teori Demokrasi. Wanita telah berjuang sekuat tenaga untuk medapatkan posisi yang adil tetapi perjuangan tersebut akan mendapatkan hasil apabila melalui jalan demokrasi. Demokrasi berhubungan dengan masyarkat sipil yang kuat, kedua hal tersebut saling melengkapi. Pada dasarnya wanita memiliki potensi untuk menjadi pemimpin dan menjadi aktivis apabila deberi kesempatan. Kaum Feminis mendukung konsep keamanan manusia tetapi ingin posisi antara wanita dan laki-laki sama, karena, dilihat dari pengalaman yang lalu konsep masyarakat mengecualikan wanita. Pergerakan pembela wanita ingin merubah budaya patriarki yang membatasi peran dan posisi wanita. SARAN UNTUK MEMBANGKITKAN KEAMANAN MANUSIA Konsep Keamanan manusia diperkenalkan oleh masyarakat yang memiliki posisi penting sebagai kebutuhan dan sebagai jaminan untuk menjaga keamanan, hak-hak manusia dan keadilan social. Organisasi internasional seperti PBB, Forum Sosial Dunia, para pemimpin Negara dan Organisasi regional menerima konsep ini. Keamanan bagi wanita adalah perhatian utama bagi organisasi internasional. Dan hal ini juga telah diatur dalam resolusi PBB 1325. Sejarah menunjukan bahwa keamanan manusia harus dibangun karena keamanan bagi wanita tidak termasuk dalam bagian keamanan masyarakat. Keamanan wanita haruslah dibangun dan dijaga hak-haknya karena pada zaman sekarang peran wanita tak bisa dilihat sebelah mata. Dalam zaman globalisasi seperti sekarang ini, bukan masalah perbedaan gender yang menentukan status, peran dan kekuasaan. Akan tetapi siapa yang memiliki kualitas dan prefesional, individu tersebut lah yang akan menempati posisi-posisi penting dalam sebuah Negara, organisasi, atau perusahaan. KESIMPULAN Pengalaman wanita sebagai pembawa perdamaian menunujukan bahwa wanita telah menggunakan pendekatan persamaan keamanan manusia dalam memecahkan setiap konflik. Wanita mengkombinasikan antara politik dan social kedalam politik individu dan menjadi penyebar konsep perdamaian yang efektif. Suksesnya konsep keamanan manusia tergantung pada aktivis social, organisasi non pemerintah dan kelompok pergerakan. Wanita telah membuktikan bahwa mereka bisa menjadi pemimpinn dan ketua aktifis dalam sebuah organisasi.

Selasa, 10 Mei 2011

Perpetual Peace by Immanuel Kant (english)


PERPETUAL PEACE

Whether this satirical inscription on a Dutch innkeeper's sign upon which a burial ground was painted had for its object mankind in general, or the rulers of states in particular, who are insatiable of war, or merely the philosophers who dream this sweet dream, it is not for us to decide. But one condition the author of this essay wishes to lay down. The practical politician assumes the attitude of looking down with great self-satisfaction on the political theorist as a pedant whose empty ideas in no way threaten the security of the state, inasmuch as the state must proceed on empirical principles; so the theorist is allowed to play his game without interference from the worldly-wise statesman. Such being his attitude, the practical politician--and this is the condition I make--should at least act consistently in the case of a conflict and not suspect some danger to the state in the political theorist's opinions which are ventured and publicly expressed without any ulterior purpose. By this clausula salvatoria the author desires formally and emphatically to deprecate herewith any malevolent interpretation which might be placed on his words.
SECTION I

CONTAINING THE PRELIMINARY ARTICLES FOR PERPETUAL PEACE AMONG STATES

1. "No Treaty of Peace Shall Be Held Valid in Which There Is Tacitly Reserved Matter for a Future War"

Otherwise a treaty would be only a truce, a suspension of hostilities but not peace, which means the end of all hostilities--so much so that even to attach the word "perpetual" to it is a dubious pleonasm. The causes for making future wars (which are perhaps unknown to the contracting parties) are without exception annihilated by the treaty of peace, even if they should be dug out of dusty documents by acute sleuthing. When one or both parties to a treaty of peace, being too exhausted to continue warring with each other, make a tacit reservation (reservatio mentalis) in regard to old claims to be elaborated only at some more favorable opportunity in the future, the treaty is made in bad faith, and we have an artifice worthy of the casuistry of a Jesuit. Considered by itself, it is beneath the dignity of a sovereign, just as the readiness to indulge in this kind of reasoning is unworthy of the dignity of his minister.

But if, in consequence of enlightened concepts of statecraft, the glory of the state is placed in its continual aggrandizement by whatever means, my conclusion will appear merely academic and pedantic.

2. "No Independent States, Large or Small, Shall Come under the Dominion of Another State by Inheritance, Exchange, Purchase, or Donation"

A state is not, like the ground which it occupies, a piece of property (patrimonium). It is a society of men whom no one else has any right to command or to dispose except the state itself. It is a trunk with its own roots. But to incorporate it into another state, like a graft, is to destroy its existence as a moral person, reducing it to a thing; such incorporation thus contradicts the idea of the original contract without which no right over a people can be conceived.1

Everyone knows to what dangers Europe, the only part of the world where this manner of acquisition is known, has been brought, even down to the most recent times, by the presumption that states could espouse one another; it is in part a new kind of industry for gaining ascendancy by means of family alliances and without expenditure of forces, and in part a way of extending one's domain. Also the hiring-out of troops by one state to another, so that they can be used against an enemy not common to both, is to be counted under this principle; for in this manner the subjects, as though they were things to be manipulated at pleasure, are used and also used up.

3. "Standing Armies (miles perpetuus) Shall in Time Be Totally Abolished"

For they incessantly menace other states by their readiness to appear at all times prepared for war; they incite them to compete with each other in the number of armed men, and there is no limit to this. For this reason, the cost of peace finally becomes more oppressive than that of a short war, and consequently a standing army is itself a cause of offensive war waged in order to relieve the state of this burden. Add to this that to pay men to kill or to be killed seems to entail using them as mere machines and tools in the hand of another (the state), and this is hardly compatible with the rights of mankind in our own person. But the periodic and voluntary military exercises of citizens who thereby secure themselves and their country against foreign aggression are entirely different.

The accumulation of treasure would have the same effect, for, of the three powers--the power of armies, of alliances, and of money--the third is perhaps the most dependable weapon. Such accumulation of treasure is regarded by other states as a threat of war, and if it were not for the difficulties in learning the amount, it would force the other state to make an early attack.

4. "National Debts Shall Not Be Contracted with a View to the External Friction of States"

This expedient of seeking aid within or without the state is above suspicion when the purpose is domestic economy (e.g., the improvement of roads, new settlements, establishment of stores against unfruitful years, etc.). But as an opposing machine in the antagonism of powers, a credit system which grows beyond sight and which is yet a safe debt for the present requirements--because all the creditors do not require payment at one time--constitutes a dangerous money power. This ingenious invention of a commercial people [England] in this century is dangerous because it is a war treasure which exceeds the treasures of all other states; it cannot be exhausted except by default of taxes (which is inevitable), though it can be long delayed by the stimulus to trade which occurs through the reaction of credit on industry and commerce. This facility in making war, together with the inclination to do so on the part of rulers--an inclination which seems inborn in human nature--is thus a great hindrance to perpetual peace. Therefore, to forbid this credit system must be a preliminary article of perpetual peace all the more because it must eventually entangle many innocent states in the inevitable bankruptcy and openly harm them. They are therefore justified in allying themselves against such a state and its measures.

5. "No State Shall by Force Interfere with the Constitution or Government of Another State"

For what is there to authorize it to do so? The offense, perhaps, which a state gives to the subjects of another state? Rather the example of the evil into which a state has fallen because of its lawlessness should serve as a warning. Moreover, the bad example which one free person affords another as a scandalum acceptum is not an infringement of his rights. But it would be quite different if a state, by internal rebellion, should fall into two parts, each of which pretended to be a separate state making claim to the whole. To lend assistance to one of these cannot be considered an interference in the constitution of the other state (for it is then in a state of anarchy) . But so long as the internal dissension has not come to this critical point, such interference by foreign powers would infringe on the rights of an independent people struggling with its internal disease; hence it would itself be an offense and would render the autonomy of all states insecure.

6. "No State Shall, during War, Permit Such Acts of Hostility Which Would Make Mutual Confidence in the Subsequent Peace Impossible: Such Are the Employment of Assassins (percussores), Poisoners (venefici), Breach of Capitulation, and Incitement to Treason (perduellio) in the Opposing State"

These are dishonorable stratagems. For some confidence in the character of the enemy must remain even in the midst of war, as otherwise no peace could be concluded and the hostilities would degenerate into a war of extermination (bellum internecinum). War, however, is only the sad recourse in the state of nature (where there is no tribunal which could judge with the force of law) by which each state asserts its right by violence and in which neither party can be adjudged unjust (for that would presuppose a juridical decision); in lieu of such a decision, the issue of the conflict (as if given by a so-called "judgment of God") decides on which side justice lies. But between states no punitive war (bellum punitivum) is conceivable, because there is no relation between them of master and servant.

It follows that a war of extermination, in which the destruction of both parties and of all justice can result, would permit perpetual peace only in the vast burial ground of the human race. Therefore, such a war and the use of all means leading to it must be absolutely forbidden. But that the means cited do inevitably lead to it is clear from the fact that these infernal arts, vile in themselves, when once used would not long be confined to the sphere of war. Take, for instance, the use of spies (uti exploratoribus). In this, one employs the infamy of others (which can never be entirely eradicated) only to encourage its persistence even into the state of peace, to the undoing of the very spirit of peace.

Although the laws stated are objectively, i.e., in so far as they express the intention of rulers, mere prohibitions (leges prohibitivae), some of them are of that strict kind which hold regardless of circumstances (leges strictae) and which demand prompt execution. Such are Nos. 1, 5, and 6. Others, like Nos. 2, 3, and 4, while not exceptions from the rule of law, nevertheless are sub- jectively broader (leges latae) in respect to their observation, containing permission to delay their execution without, however, losing sight of the end. This permission does not authorize, under No. 2, for example, delaying until doomsday (or, as Augustus used to say, ad calendas Graecas) the re-establishment of the freedom of states which have been deprived of it--i.e., it does not permit us to fail to do it, but it allows a delay to prevent precipitation which might injure the goal striven for. For the prohibition concerns only the manner of acquisition which is no longer permitted, but not the possession, which, though not bearing a requisite title of right, has nevertheless been held lawful in all states by the public opinion of the time (the time of the putative acquisition).2.
SECTION II

CONTAINING THE DEFINITIVE ARTICLES
FOR PERPETUAL PEACE AMONG STATES

The state of peace among men living side by side is not the natural state (status naturalis); the natural state is one of war. This does not always mean open hostilities, but at least an unceasing threat of war. A state of peace, therefore, must be established, for in order to be secured against hostility it is not sufficient that hostilities simply be not committed; and, unless this security is pledged to each by his neighbor (a thing that can occur only in a civil state), each may treat his neighbor, from whom he demands this security, as an enemy.3 

FIRST DEFINITIVE ARTICLE FOR PERPETUAL PEACE

 "The Civil Constitution of Every State Should Be Republican"

The only constitution which derives from the idea of the original compact, and on which all juridical legislation of a people must be based, is the republican. 4 This constitution is established, firstly, by principles of the freedom of the members of a society (as men); secondly, by principles of dependence of all upon a single common legislation (as subjects); and, thirdly, by the law of their equality (as citizens). The republican constitution, therefore, is, with respect to law, the one which is the original basis of every form of civil constitution. The only question now is: Is it also the one which can lead to perpetual peace?

The republican constitution, besides the purity of its origin (having sprung from the pure source of the concept of law), also gives a favorable prospect for the desired consequence, i.e., perpetual peace. The reason is this: if the consent of the citizens is required in order to decide that war should be declared (and in this constitution it cannot but be the case), nothing is more natural than that they would be very cautious in commencing such a poor game, decreeing for themselves all the calamities of war. Among the latter would be: having to fight, having to pay the costs of war from their own resources, having painfully to repair the devastation war leaves behind, and, to fill up the measure of evils, load themselves with a heavy national debt that would embitter peace itself and that can never be liquidated on account of constant wars in the future. But, on the other hand, in a constitution which is not republican, and under which the subjects are not citizens, a declaration of war is the easiest thing in the world to decide upon, because war does not require of the ruler, who is the proprietor and not a member of the state, the least sacrifice of the pleasures of his table, the chase, his country houses, his court functions, and the like. He may, therefore, resolve on war as on a pleasure party for the most trivial reasons, and with perfect indifference leave the justification which decency requires to the diplomatic corps who are ever ready to provide it.

In order not to confuse the republican constitution with the democratic (as is commonly done), the following should be noted. The forms of a state (civitas) can be divided either according to the persons who possess the sovereign power or according to the mode of administration exercised over the people by the chief, whoever he may be. The first is properly called the form of sovereignty (forma imperii), and there are only three possible forms of it: autocracy, in which one, aristocracy, in which some associated together, or democracy, in which all those who constitute society, possess sovereign power. They may be characterized, respectively, as the power of a monarch, of the nobility, or of the people. The second division is that by the form of government (forma regiminis) and is based on the way in which the state makes use of its power; this way is based on the constitution, which is the act of the general will through which the many persons become one nation. In this respect government is either republican or despotic. Republicanism is the political principle of the separation of the executive power (the administration) from the legislative; despotism is that of the autonomous execution by the state of laws which it has itself decreed. Thus in a despotism the public will is administered by the ruler as his own will. Of the three forms of the state, that of democracy is, properly speaking, necessarily a despotism, because it establishes an executive power in which "all" decide for or even against one who does not agree; that is, "all," who are not quite all, decide, and this is a contradiction of the general will with itself and with freedom.

Every form of government which is not representative is, properly speaking, without form. The legislator can unite in one and the same person his function as legislative and as executor of his will just as little as the universal of the major premise in a syllogism can also be the subsumption of the particular under the universal in the minor. And even though the other two constitutions are always defective to the extent that they do leave room for this mode of administration, it is at least possible for them to assume a mode of government conforming to the spirit of a representative system (as when Frederick II at least said he was merely the first servant of the state).5 On the other hand, the democratic mode of government makes this impossible, since everyone wishes to be master. Therefore, we can say: the smaller the personnel of the government (the smaller the number of rulers), the greater is their representation and the more nearly the constitution approaches to the possibility of republicanism; thus the constitution may be expected by gradual reform finally to raise itself to republicanism. For these reasons it is more difficult for an aristocracy than for a monarchy to achieve the one completely juridical constitution, and it is impossible for a democracy to do so except by violent revolution.

The mode of governments, 6 however, is incomparably more important to the people than the form of sovereignty, although much depends on the greater or lesser suitability of the latter to the end of [good] government. To conform to the concept of law, however, government must have a representative form, and in this system only a republican mode of government is possible; without it, government is despotic and arbitrary, whatever the constitution may be. None of the ancient so-called "republics" knew this system, and they all finally and inevitably degenerated into despotism under the sovereignty of one, which is the most bearable of all forms of despotism.

 SECOND DEFINITIVE ARTICLE FOR A PERPETUAL PEACE

 "The Law of Nations Shall be Founded on a Federation of Free States"

Peoples, as states, like individuals, may be judged to injure one another merely by their coexistence in the state of nature (i.e., while independent of external laws). Each of then, may and should for the sake of its own security demand that the others enter with it into a constitution similar to the civil constitution, for under such a constitution each can be secure in his right. This would be a league of nations, but it would not have to be a state consisting of nations. That would be contradictory, since a state implies the relation of a superior (legislating) to an inferior (obeying), i.e., the people, and many nations in one state would then constitute only one nation. This contradicts the presupposition, for here we have to weigh the rights of nations against each other so far as they are distinct states and not amalgamated into one.

When we see the attachment of savages to their lawless freedom, preferring ceaseless combat to subjection to a lawful constraint which they might establish, and thus preferring senseless freedom to rational freedom, we regard it with deep contempt as barbarity, rudeness, and a brutish degradation of humanity. Accordingly, one would think that civilized people (each united in a state) would hasten all the more to escape, the sooner the better, from such a depraved condition. But, instead, each state places its majesty (for it is absurd to speak of the majesty of the people) in being subject to no external juridical restraint, and the splendor of its sovereign consists in the fact that many thousands stand at his command to sacrifice themselves for something that does not concern them and without his needing to place himself in the least danger.7 The chief difference between European and American savages lies in the fact that many tribes of the latter have been eaten by their enemies, while the former know how to make better use of their conquered enemies than to dine off them; they know better how to use them to increase the number of their subjects and thus the quantity of instruments for even more extensive wars.

When we consider the perverseness of human nature which is nakedly revealed in the uncontrolled relations between nations (this perverseness being veiled in the state of civil law by the constraint exercised by government), we may well be astonished that the word "law" has not yet been banished from war politics as pedantic, and that no state has yet been bold enough to advocate this point of view. Up to the present, Hugo Grotius, Pufendorf, Vattel, and many other irritating comforters have been cited in justification of war, though their code, philosophically or diplomatically formulated, has not and cannot have the least legal force, because states as such do not stand under a common external power. There is no instance on record that a state has ever been moved to desist from its purpose because of arguments backed up by the testimony of such great men. But the homage which each state pays (at least in words) to the concept of law proves that there is slumbering in man an even greater moral disposition to become master of the evil principle in himself (which he cannot disclaim) and to hope for the same from others. Otherwise the word "law" would never be pronounced by states which wish to war upon one another; it would be used only ironically, as a Gallic prince interpreted it when he said, "It is the prerogative which nature has given the stronger that the weaker should obey him."

States do not plead their cause before a tribunal; war alone is their way of bringing suit. But by war and its favorable issue, in victory, right is not decided, and though by a treaty of peace this particular war is brought to an end, the state of war, of always finding a new pretext to hostilities, is not terminated. Nor can this be declared wrong, considering the fact that in this state each is the judge of his own case. Notwithstanding, the obligation which men in a lawless condition have under the natural law, and which requires them to abandon the state of nature, does not quite apply to states under the law of nations, for as states they already have an internal juridical constitution and have thus outgrown compulsion from others to submit to a more extended lawful constitution according to their ideas of right. This is true in spite of the fact that reason, from its throne of supreme moral legislating authority, absolutely condemns war as a legal recourse and makes a state of peace a direct duty, even though peace cannot be established or secured except by a compact among nations.

For these reasons there must be a league of a particular kind, which can be called a league of peace (foedus pacificum), and which would be distinguished from a treaty of peace (pactum pacis) by the fact that the latter terminates only one war, while the former seeks to make an end of all wars forever. This league does not tend to any dominion over the power of the state but only to the maintenance and security of the freedom of the state itself and of other states in league with it, without there being any need for them to submit to civil laws and their compulsion, as men in a state of nature must submit.

The practicability (objective reality) of this idea of federation, which should gradually spread to all states and thus lead to perpetual peace, can be proved. For if fortune directs that a powerful and enlightened people can make itself a republic, which by its nature must be inclined to perpetual peace, this gives a fulcrum to the federation with other states so that they may adhere to it and thus secure freedom under the idea of the law of nations. By more and more such associations, the federation may be gradually extended.

We may readily conceive that a people should say, "There ought to be no war among us, for we want to make ourselves into a state; that is, we want to establish a supreme legislative, executive, and judiciary power which will reconcile our differences peaceably." But when this state says, "There ought to be no war between myself and other states, even though I acknowledge no supreme legislative power by which our rights are mutually guaranteed," it is not at all clear on what I can base my confidence in my own rights unless it is the free federation, the surrogate of the civil social order, which reason necessarily associates with the concept of the law of nations--assuming that something is really meant by the latter.

The concept of a law of nations as a right to make war does not really mean anything, because it is then a law of deciding what is right by unilateral maxims through force and not by universally valid public laws which restrict the freedom of each one. The only conceivable meaning of such a law of nations might be that it serves men right who are so inclined that they should destroy each other and thus find perpetual peace in the vast grave that swallows both the atrocities and their perpetrators. For states in their relation to each other, there cannot be any reasonable way out of the lawless condition which entails only war except that they, like individual men, should give up their savage (lawless) freedom, adjust themselves to the constraints of public law, and thus establish a continuously growing state consisting of various nations (civitas gentium), which will ultimately include all the nations of the world. But under the idea of the law of nations they do not wish this, and reject in practice what is correct in theory. If all is not to be lost, there can be, then, in place of the positive idea of a world republic, only the negative surrogate of an alliance which averts war, endures, spreads, and holds back the stream of those hostile passions which fear the law, though such an alliance is in constant peril of their breaking loose again.8 Furor impius intus . . . fremit horridus ore cruento (Virgil).

THIRD DEFINITIVE ARTICLE FOR A PERPETUAL PEACE

 "The Law of World Citizenship Shall Be Limited to Conditions of Universal Hospitality"

Here, as in the preceding articles, it is not a question of philanthropy but of right. Hospitality means the right of a stranger not to be treated as an enemy when he arrives in the land of another. One may refuse to receive him when this can be done without causing his destruction; but, so long as he peacefully occupies his place, one may not treat him with hostility. It is not the right to be a permanent visitor that one may demand. A special beneficent agreement would be needed in order to give an outsider a right to become a fellow inhabitant for a certain length of time. It is only a right of temporary sojourn, a right to associate, which all men have. They have it by virtue of their common possession of the surface of the earth, where, as a globe, they cannot infinitely disperse and hence must finally tolerate the presence of each other. Originally, no one had more right than another to a particular part of the earth.

Uninhabitable parts of the earth--the sea and the deserts--divide this community of all men, but the ship and the camel (the desert ship) enable them to approach each other across these unruled regions and to establish communication by using the common right to the face of the earth, which belongs to human beings generally. The inhospitality of the inhabitants of coasts (for instance, of the Barbary Coast) in robbing ships in neighboring seas or enslaving stranded travelers, or the inhospitality of the inhabitants of the deserts (for instance, the Bedouin Arabs) who view contact with nomadic tribes as conferring the right to plunder them, is thus opposed to natural law, even though it extends the right of hospitality, i.e., the privilege of foreign arrivals, no further than to conditions of the possibility of seeking to communicate with the prior inhabitants. In this way distant parts of the world can come into peaceable relations with each other, and these are finally publicly established by law. Thus the human race can gradually be brought closer and closer to a constitution establishing world citizenship.

But to this perfection compare the inhospitable actions of the civilized and especially of the commercial states of our part of the world. The injustice which they show to lands and peoples they visit (which is equivalent to conquering them) is carried by them to terrifying lengths. America, the lands inhabited by the Negro, the Spice Islands, the Cape, etc., were at the time of their discovery considered by these civilized intruders as lands without owners, for they counted the inhabitants as nothing. In East India (Hindustan), under the pretense of establishing economic undertakings, they brought in foreign soldiers and used them to oppress the natives, excited widespread wars among the various states, spread famine, rebellion, perfidy, and the whole litany of evils which afflict mankind.

China 9 and Japan (Nippon), who have had experience with such guests, have wisely refused them entry, the former permitting their approach to their shores but not their entry, while the latter permit this approach to only one European people, the Dutch, but treat them like prisoners, not allowing them any communication with the inhabitants. The worst of this (or, to speak with the moralist, the best) is that all these outrages profit them nothing, since all these commercial ventures stand on the verge of collapse, and the Sugar Islands, that place of the most refined and cruel slavery, produces no real revenue except indirectly, only serving a not very praiseworthy purpose of furnishing sailors for war fleets and thus for the conduct of war in Europe. This service is rendered to powers which make a great show of their piety, and, while they drink injustice like water, they regard themselves as the elect in point of orthodoxy.

Since the narrower or wider community of the peoples of the earth has developed so far that a violation of rights in one place is felt throughout the world, the idea of a law of world citizenship is no high-flown or exaggerated notion. It is a supplement to the unwritten code of the civil and international law, indispensable for the maintenance of the public human rights and hence also of perpetual peace. One cannot flatter oneself into believing one can approach this peace except under the condition outlined here.

Go to the First Supplement, "Of the Guarantee for Perpetual Peace"

Go the the Second Supplement, "Secret Article for Perpetual Peace"

Go to Appendix I, "On the Opposition Between Morality and Politics With Respect to Perpetual Peace"

Go to Appendix II, "Of the Harmony Which the Transcendental Concept of Public Right Established Between Morality and Politics"
Footnotes

1. A hereditary kingdom is not a state which can be inherited by another state, but the right to govern it can be inherited by another physical person. The state thereby acquires a ruler, but he, as a ruler (i.e., as one already possessing another realm), does not acquire the state.

2. It has not without cause hitherto been doubted whether besides the commands (leges praeceptivae) and prohibitions (leges prohibitivae) there could also be permissive laws (leges permissivae) of pure reason. For laws as such contain a principle of objective practical necessity, while permission implies a principle of the practical contingency of certain actions. Hence a law of permission would imply constraint to an action to do that to which no one can be constrained. If the object of the law has the same meaning in both cases, this is a contradiction. But in permissive law, which is in question here, the prohibition refers only to the future mode of acquisition of a right (e.g., by succession), while the permission annuls this prohibition only with reference to the present possession. This possession, though only putative, may be held to be just (possessio putative) in the transition from the state of nature to a civil state, by virtue of a permissive law included under natural law, even though it is [strictly] illegal. But, as soon as it is recognized as illegal in the state of nature, a similar mode of acquisition in the subsequent civil state (after this transition has occurred) is forbidden, and this right to continuing possession would not hold if such a presumptive acquisition had taken place in the civil state. For in this case it would be an infringement which would have to cease as soon as its illegality was discovered.

I have wished only to call the attention of the teachers of natural law to the concept of a lex permissive, which systematic reason affords, particularly since in civil (statute) law use is often made of it. But in the ordinary use of it, there is this difference: prohibitive law stands alone, while permission is not introduced into it as a limiting condition (as it should be) but counted among the exceptions to it. Then it is said, "This or that is forbidden, except Nos. 1, 2, 3," and so on indefinitely. These exceptions are added to the law only as an afterthought required by our groping around among cases as they arise, and not by any principle. Otherwise the conditions would have had to be introduced into the formula of the prohibition, and in this way it would itself have become a permissive law. It is, therefore, unfortunate that the subtle question proposed by the wise and acute Count von Windischgrätz was never answered and soon consigned to oblivion, because it insisted on the point here discussed. For the possibility of a formula similar to those of mathematics is the only legitimate criterion of a consistent legislation, and without it the so-called ius certum must always remain a pious wish. Otherwise we shall have merely general laws (which apply to a great number of cases), but no universal laws (which apply to all cases) as the concept of law seems to requires.

3. We ordinarily assume that no one may act inimically toward another except when he has been actively injured by the other. This is quite correct if both are under civil law, for, by entering into such a state, they afford each other the requisite security through the sovereign which has power over both. Man (or the people) in the state of nature deprives me of this security and injures me, if he is near me, by this mere status of his, even though he does not injure me actively (facto); he does so by the lawlessness of his condition (statu iniusto) which constantly threatens me. Therefore, I can compel him either to enter with me into a state of civil law or to remove himself from my neighborhood. The postulate which is basic to all the following articles is: All men who can reciprocally influence each other must stand under some civil constitution.

Every juridical constitution which concerns the person who stands under it is one of the following:

(1) The constitution conforming to the civil law of men in a nation (ius civitatis).

(2) The constitution conforming to the law of nations in their relation to one another (ius gentium).

(3) The constitution conforming to the law of world citizenship, so far as men and states are considered as citizens of a universal state of men, in their external mutual relationships (ius cosmopoliticum).

This division is not arbitrary, being necessary in relation to the idea of perpetual peace. For if only one state were related to another by physical influence and were yet in a state of nature, war would necessarily follow, and our purpose here is precisely to free ourselves of war.

4. Juridical (and hence) external freedom cannot be defined, as is usual, by the privilege of doing anything one wills so long as he does not injure another. For what is a privilege? It is the possibility of an action so far as one does not injure anyone by it. Then the definition would read: Freedom is the possibility of those actions by which one does no one an injury. One does another no injury (he may do as he pleases) only if he does another no injury--an empty tautology. Rather, my external (juridical) freedom is to be defined as follows: It is the privilege to lend obedience to no external laws except those to which I could have given consent. Similarly, external (juridical) equality in a state is that relationship among the citizens in which no one can lawfully bind another without at the same time subjecting himself to the law by which he also can be bound. No definition of juridical dependence is needed, as this already lies in the concept of a state's constitution as such.

The validity of these inborn rights, which are inalienable and belong necessarily to humanity, is raised to an even higher level by the principle of the juridical relation of man to higher beings, for, if he believes in them, he regards himself by the same principles as a citizen of a supersensuous world. For in what concerns my freedom, I have no obligation with respect to divine law, which can be acknowledged by my reason alone, except in so far as I could have given my consent to it. Indeed, it is only through the law of freedom of my own reason that I frame a concept of the divine will. With regard to the most sublime reason in the world that I can think of, with the exception of God--say, the great Aeon--when I do my duty in my post as he does in his, there is no reason under the law of equality why obedience to duty should fall only to me and the right to command only to him. The reason why this principle of equality does not pertain to our relation to God (as the principle of freedom does) is that this Being is the only one to which the concept of duty does not apply.

But with respect to the right of equality of all citizens as subjects, the question of whether a hereditary nobility may be tolerated turns upon the answer to the question as to whether the pre-eminent rank granted by the state to one citizen over another ought to precede merit or follow it. Now it is obvious that, if rank is associated with birth, it is uncertain whether merit (political skill and integrity) will also follow; hence it would be as if a favorite without any merit were given command. The general will of the people would never agree to this in the original contract, which is the principle of all law, for a nobleman is not necessarily a noble man. With regard to the nobility of office (as we might call the rank of the higher magistracy) which one must earn by merit, this rank does not belong to the person as his property; it belongs to his post, and equality is not thereby infringed, because when a man quits his office he renounces the rank it confers and re-enters into the class of his fellows.

5. The lofty epithets of "the Lord's anointed...... the executor of the divine will on earth," and "the vicar of God," which have been lavished on sovereigns, have been frequently censured as crude and intoxicating flatteries. But this seems to me without good reason. Far from inspiring a monarch with pride, they should rather render him humble, providing he possesses some intelligence (which we must assume). They should make him reflect that he has taken an office too great for man, an office which is the holiest God has ordained on earth, to be the trustee of the rights of men, and that he must always stand in dread of having in some way injured this "apple of God's eye."

6. Mallet du Pan, in his pompous but empty and hollow language, pretends to have become convinced, after long experience, of the truth of Pope's well-known saying:

            "For forms of government let fools contest:
            Whate'er is best administered, is best."

If that means that the best-administered state is the state that is best administered, he has, to make use of Swift's expression, "cracked a nut to come at a maggot." But if it means that the best-administered state also has the best mode of government, i.e., the best constitution, then it is thoroughly wrong, for examples of good governments prove nothing about the form of government. Whoever reigned better than a Titus and a Marcus Aurelius? Yet one was succeeded by a Domitian and the other by a Commodus. This could never have happened under a good constitution, for their unworthiness for this post was known early enough and also the power of the ruler was sufficient to have excluded them.

7. A Bulgarian prince gave the following answer to the Greek emperor who good-naturedly suggested that they settle their difference by a duel: "A smith who has tongs won't pluck the glowing iron from the fire with his bare hands."

8. It would not ill become a people that has just terminated a war to decree, besides a day of thanksgiving, a day of fasting in order to ask heaven, in the name of the state, for forgiveness for the great iniquity which the human race still goes on to perpetuate in refusing to submit to a lawful constitution in their relation to other peoples, preferring, from pride in their independence, to make use of the barbarous means of war even though they are not able to attain what is sought, namely, the rights of a single state. The thanksgiving for victory won during the war, the hymns which are sung to the God of Hosts (in good Israelitic manner), stand in equally sharp contrast to the moral idea of the Father of Men. For they not only show a sad enough indifference to the way in which nations seek their rights, but in addition express a joy in having annihilated a multitude of men or their happiness.

9.To call this great empire by the name it gives itself, namely "China" and not "Sina" or anything like that, we have only to refer to [A.] Georgi, Alphabetum Tibetanum, pp. 651-54, especially note b. According to the note of Professor [Johann Eberhard] Fischer of Petersburg, there is no definite word used in that country as its name; the most usual word is "Kin," i.e., gold (which the Tibetans call "Ser"). Accordingly, the emperor is called "the king of gold," that is, king of the most splendid country in the world. In the empire itself, this word may be pronounced Chin, while because of the 'guttural sound the Italian missionaries may have called it Kin.--It is clear that what the Romans called the "Land of Seres" was China; the silk, however, was sent to Europe across Greater Tibet (through Lesser Tibet, Bukhara, Persia, and then on).

This suggests many reflections concerning the antiquity of this wonderful state, in comparison with that of Hindustan at the time of its union with Tibet and thence with Japan. We see, on the contrary, that the name "Sina" or "Tshina," said to have been used by the neighbors of the country, suggests nothing.

Perhaps we can also explain the very ancient but never well-known intercourse of Europe with Tibet by considering the shout, ('Konx Ompax'), of the hierophants in the Eleusinian mysteries, as we learn from Hysichius (cf. Travels of the Young Anacharsis, Part V, p. 447 ff.). For, according to Georgi, op. cit., the word Concoia means God, which has a striking resemblance to Konx. Pah-cio (ibid., 520), which the Greeks may well have pronounced pax, means the promulgator legis, divinity pervading the whole of nature (also called Cencresi, p. 177). Om, however, which La Croze translates as benedictus ("blessed"), when applied to divinity perhaps means "the beatified" (p. 507). P. Franz Orazio often asked the Lamas of Tibet what they understood by "God" (Concoia) and always got the answer, "It is the assembly of saints" (i.e., the assembly of the blessed ones who, according to the doctrine of rebirth, finally, after many wanderings through bodies of all kinds, have returned to God, or Burchane; that is to say, they are transmigrated souls, beings to be worshiped, p. 223). That mysterious expression Konx Ompax may well mean "the holy" (Konx), the blessed (Om), the wise (Pax), the supreme being pervading the world (nature personified). Its use in the Greek mysteries may indicate monotheism among the epopts in contrast to the polytheism of the people (though Orazio scented atheism there). How that mysterious word came to the Greeks via Tibet can perhaps be explained in this way; and the early traffic of Europe with China, also through Tibet, and perhaps earlier than communication with Hindustan, is made probable.

Return to Vinnie's Home Page

Go to the First Supplement, "Of the Guarantee for Perpetual Peace"

Go the the Second Supplement, "Secret Article for Perpetual Peace"

Go to Appendix I, "On the Opposition Between Morality and Politics With Respect to Perpetual Peace"

Go to Appendix II, "Of the Harmony Which the Transcendental Concept of Public Right Established Between Morality and Politics"