Selasa, 10 Februari 2015

LANGKAH DIPLOMASI INDONESIA TERHADAP AUSTRALIA DALAM KASUS PENYADAPAN

Hubungan Indonesia dan Australia kembali mengalami memanas ketika seorang mantan kontaktor badan intelejen Amerika, Edward Snowden membuka sebuah rahasia tentang penyadapan Australia terhadap beberapa pejabat Indonesia. Edward Snowden yang menjadi buronan pemerintan Amerika membeberkan file National Security Agency (NSA) bahwa Australia menyadap komunikasi Presiden Yudhoyono serta beberapa menteri di jajaran kabinet.
Tindakan penyadapan merupakan tindakan yang menyalahi hukum internasional mengenai etika berdiplomasi. Hal itu juga melanggar norma pergaulan internasional, padahal informasi bisa didapatkan melalui duta besar yang bertugas di negara tersebut. Dalam kasus ini, Australia apabila menginginkan informasi mengenai apa yang terjadi di Indonesia, Australia tinggal meminta duta besarnya melakukan tugas reporting yaitu dengan melaporkan apa yang sedang terjadi di Indonesia.
Indonesia dan Australia pada dasarnya memiliki hubungan yang harmonis. Kedua negara saling berkerjasama dalam berbagai bidang seperti politik yang tergabung dalam ASEAN Regional Forum, pertahanan dengan terbentuknya Ikanatan Alumni Pertahanan Indonesia-Australia (IKAHAN) dan lain-lain.
Dengan adanya kasus penyadapan ini, dapat merugikan kedua belah pihak. Indonesia merasa terancam dengan tindakan spionase Australia. Sedangkan, bagi Australia, tindakan spionase dilakukan atas dasar kepentingan nasional yang harus mereka capai.
Dalam tulisan ini, akan disusun secara sistematis mengenai siapa aktornya, bagaimana interaksi antar aktor, bagaiamana peran setiap aktor,  batasan atau scope wilayah, struktur interaksi. Pemetaan ini akan mempermudah dalam memahami masalah penyadapan Australia terhadap Indonesia.
Aktor yang terlibat dan perannya
Dalam masalah ini, terdapat beberapa aktor yang terlibat seperti Indonesia, Australia, Edward Snowden, dan Amerika Serikat.
Australia merupakan aktor yang berperan sebagai penyadap dalam kasus ini. Australia merlakukan tindakan tersebut untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Indonesia merupakan aktor yang menjadi korban penyadapan. Indonesia berupaya mendapatkan penjelasan yang sebenarnya ke Australia melalui jalur diplomasi. Edward Snowden merupakan aktor wisthle blower yang berperan sebagai individu yang membeberkan berbagai data intelejen Amerika yang melakukan penyadapan dan operasi-operasi di seluruh dunia.  Amerika Serikat sebagai negara sekutu Australia, merupakan negara yang menyebarkan jaringan intelejen ke seluruh dunia yang kerapkali melanggar kedaulatan sebuah negara.
Batasan Wilayah
Kasus ini dapat dikategorikan sebagai kasus regional. Indonesia dan Australia memiliki letak geografis di kawasan Asia Tenggara. Bahkan Australia dan Indonesia berbatasan langsung, sehingga kedua negara memiliki kepentingan strategis yang saling terkait.
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan penjelasan mengenai masalah ini, bagaimana langkah diplomasi yang diambil oleh Indonesia dalam merespon tindakan penyadapan oleh Australia?
AMERIKA SERIKAT
 
Kondisi Interaksi
SNOWDEN
 
INDONESIA
 
AUSTRALIA
 
 







Penjelasan pola interaksi diatas, menunjukan bahwa terdapat beberapa aktor yang terlibat langsung. Permasalah muncul ketika, Australia menggunakan cara-cara tidak legal untuk mendapatkan informasi dari Indonesia. Rahasia intelejen Australia terbongkar karena Snowden, seorang mantan kontraktor NSA membeberkan hal itu di situsnya wikileaks.com.
Kerangka Teori
Kerangka Teori terdiri atas dua yaitu, Teori Diplomasi serta Rezim Internasional. Kedua landasan teori itu cukup untuk menjelaskan langkah-langkah diplomasi Indonesia dalam menghadapi masalah ini
Diplomasi
Diplomasi berasal dari kata diploum dalam bahasa yunani yang berarti melipat. Praktik diplomasi pada zaman Yunani dan Romawi biasanya berupa pertukaran utusan yang membawa surat jalan atau saat ini dapat dikategorikan sebagai passport (Muchsin, 2010:4). Seiring berjalannya waktu, praktik diplomasi semakin berkembang pesat mengikuti perkembangan zaman modern saat ini.
Menurut Harold Nicholson (1960:55, dalam Muchsin), definisi Diplomasi itu sendiri ialah:
Diplomacy is the management of international relations by negotiation, the method by wich these relations are adjusted and managed by ambassadors and envoys; the business or art of the diplomatist”
Prof. Brownlie dalam bukunya yang berjudul “Principles of Public International Law” menyatakan bahwa diplomasi adalah metode yang diambil untuk membangun hubungan komunikasi antara satu negara dengan negara lain, atau melakukan kegiatan politik/hukum melalui wakil yang ditunjuk (Muchsin, 2010:5).
Rezim Internasional
Kerjasama merupakan salah satu interaksi yang harus dilakukan oleh negara untuk mencapai kepentingan nasional secara maksimal. Dalam sistem internasional, dikenal adanya Rezim Internasional, menurut Stephen D. Krasner, Rezim Internasional ialah suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, proses pembuatan keputusan, baik yang bersifat eksplisit mapupun implicit, yang berkaitan dengan ekspektasi atau pengharapan aktor-aktor dan memuat kepentingan aktor dalam hubungan internasional (Perwita dan Yanyan, 2006:28).
Dalam konteks tulisan ini, akan dijelaskan mengenai rezim internasional yang dibangun oleh Indonesia dan Australia untuk menangulangi masalah penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap Indonesia. Rezim atau Code of Conduct berisi peraturan yang membahas mengenai norma yang harus dipatuhi oleh dua negara tersebut.
Analisa
Kabar mengenai adanya penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta beberapa Menteri RI menggoyahkan hubungan dua negara tersebut. Rakyat Indonesia yang mudah tersulut emosi mulai melakukan aksi protes di depan Keduataan Besar Australia di Jakarta (Republika, 2013).
Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa menyatakan bahwa Indonesia tidak menerima tindakan penyadapan yang dilakukan oleh Asutralia karena bertentangan dengan asas diplomasi dan hukum internasional apapun alasannya (Kemlu, 2013). Selain itu juga, tindakan tersebut telah melanggar kedaulatan Indonesia dan mencederai hubungan persahabatan antara kedua negara.
            Merespon kejadian itu, akhirnya Indonesia melalu Kementerian Luar Negeri memerintahkan pemanggilan Duta Besar Australia untuk Indonesia di Jakarta serta Duta Besar Indonesia di Canberra. Hal itu dibutuhkan untuk menghindari asumsi-asumsi yang tidak jelas dan konsolidasi sikap yang perlu diambil setelah Indonesia mengetahui sebenarnya apa yang terjadi.
            Pada November 2013, Duta Besar Australia Greg Moriarty memenuhi panggilan Kemenlu di Jakarta untuk melakukan klarifikasi. Hal ini diperlukan untuk memberikan kesempatan bagi Australia untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Praktik Diplomasi seperti ini menunjukan bahwa asas persahabatan dan saling menghormati masih berlaku walaupun dua negara mengalami perselisihan.
            Lalu mengapa Australia repot melakukan penyadapan terhadap Indonesia?sedangkan secara hubungan politik dan hukum, Indonesia merupakan partner utama Australia dalam menghadapi terorisme. Tragedi teroris Bom Bali yang menewaskan ratusan warga Australia menjadi alasan utama mengapa Indonesia berarti secara strategis bagi Australia. Dalam sebuah laporan yang dilansir oleh Sydney Morning Herald, sebuah Koran di Australia menjelaskan bahwa kegiatan penyadapan ini berkaitan erat dengan niat Australia menduduki kursi Dewan Keamanan PBB. Pada pertemuan G20 di London pada tahun 2009. Australia dengan bantuan intelejen Amerika Serikat dan Inggris melakukan sejumlah penyadapan terhadap pemimpin dunia saat itu khususnya negara pasifik seperti Presiden India, Manmohan Singh, Presiden Tiongkok, Hu Jintao dan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (Kompas, 2013).
            Indonesia melalui Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya memutuskan untuk melakukan langkah-langkah penyelesaian kasus ini dengan membuat enam langkah awal (Bisnis, 2013), yaitu:
·         pertama, menugasi menlu atau utusan khusus untuk membicarakan secara mendalam isu-isu yang sensitif berkaitan dengan hubungan Indonesia-Australia pascapenyadapan.
·         Kedua, setelah terjadi kesepahaman dan muncul kesepakatan dari kedua belah pihak, diharapkan akan ditindaklanjuti dengan pembahasan protokol dan kode etik secara lengkap dan mendalam.
·         Ketiga, Presiden SBY akan memeriksa sendiri draf protokol dan kode etik itu untuk memastikan kode etik tersebut sudah memadai dan menjawab keinginan Indonesia pascakasus penyadapan.
·         Keempat, setelah protokol dan kode etik itu selesai dipersiapkan, pengesahannya dapat dilakukan dihadapan para pemimpin pemerintahan, yang dihadiri oleh Presiden SBY maupun Perdana Menteri Autralia Tony Abbot.
·         Kelima, tugas kedua negara selanjutnya adalah membuktikan bahwa protokol dan kode etik itu sungguh dipenuhi dan dijalankan.
·         Keenam, setelah kedua negara, khususnya Indonesia, telah memiliki kembali kepercayaan dan kemudian protokol serta kode etik itu benar-benar dijalankan maka kerja sama bilateral yang nyata-nyata membawa manfaat bersama dapat dilanjutkan, termasuk kerja sama militer dan kepolisian kedua negara.
      Untuk menindaklanjuti perbaikan hubungan antara dua negara tersebut, Indonesia dan Australia sepakat membangun sebuah tata kelola hubungan yaitu ” Code of Conduct on Framework for Security Cooperation”. Perjanjian ini ditandatangani oleh Menlu Indonesia, Marty Natalegawa dan Menlu Australia, Julie Bishop di sela-sela pertemuan Forum Global UNAOC ke-6 di Bali pada 28 Agustus 2014 (Kemlu, 2014).
CoC tersebut merupakan sesuatu yang unik terjadi dalam praktik diplomasi antara dua negara. Dalam CoC tersebut diatur mengenai pelarangan menggunakan sumber data intelejen untuk menggali informasi yang dapat merugikan kedua negara. Dengan adanya CoC tersebut, menunjukan bahwa sifat rasional negara yang egois dapat ditekan oleh sebuah rezim internasional yang saling mengikat demi menghormati satu sama lainnya. Indonesia dan Australia kedepannya diharapkan bisa saling menghormati kedaulatan negara masing-masing, serta menumbuhkan asas kerjasama lebih lanjut dalam berbagai bidang.
Kesimpulan
Kematangan Indonesia dalam menghadapi konflik dengan negara lain semakin teruji dan terasah. Indonesia mampu mengelola konflik secara produktif dengan memecahkan masalah melalui negosiasi dan diplomasi secara damai. Aksi penyadapan yang dilakukan oleh Australia pada dasarnya telah merobek kedaulatan Indonesia sebagai negara, terlebih yang menjadi sasaran penyadapan adalah seorang Presiden. Namun, melalui pemikirian yang matang serta keputusan Kemenlu yang hati-hati, masalah penyadapan dapat diselesaikan dengan kerjasama.
Terbentuknya CoC menunjukan bahwa jalan kerjasama sangat relevan pada saat ini untuk menghindari konflik terbuka. Khususnya untuk Indonesia, mampu menahan diri untuk tidak membalas atau memutuskan tindakan berlebihan untuk merespon pelanggaran Australia. Pemanggilan Duta Besar ke negara asal merupakan kebiasaan praktik diplomasi yang wajar dalam menghadapi suatu masalah, bukan berarti mengusir atau menarik secara permanen.

Daftar Pustaka
Muchsin, Aiyub. 2010. Diplomasi: Teori dan Praktek Serta Kasus-Kasus.
Perwita, Anak Agung dan Yanyan Muhammad. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung:PT Rosda Karya
Maharani, Esti. 2013. Pemerintah Jamin Keselamatan Diplomat dan WN Australia di Indonesia. Republika, 21-11-13, diakses pada 26-01-15
Kemlu. 2013. Menlu RI: Kami Tidak Terima Alasan Penyadapan Australia. Diakses pada 26-01-15
Kompas. 2013. Kemlu Harus Minta Penjelasan Australia-Inggris Terkait Penyadapan SBY. Diakses pada 26-01-15

Bisnis. 2013. Penyadapan Australia:Enam Langkah Penyelesaian Dimulai. Diakses pada 26-01-15

Krisis Energi

Pada zaman industrialisasi saat ini, semua negara di dunia berkompetisi untuk memproduksi barang dan jasa demi mendapatkan keuntungan yang besar. Negara seperti AS, China, Jepang, Jerman adalah contoh negara industri yang mengedepankan tekhnologi yang canggih. Setiap tekhnologi pasti membutuhkan bahan bakar yaitu minyak bumi. Dan inilah yang menjadi masalah, ketika minyak bumi sebagai unrenewable resource diperkirakan akan habis pada 30 tahun mendatang.
dalam politik dan kebijakan internasional memang sudah dilakukan usaha untuk pencegahan krisis dunia dengan mengadakan protokol Kyoto. Protokol Kyoto dengan jargon untuk mengurangi emisi GRK dunia, berarti secara langsung juga mengurangi pemakaain energi dunia, belum mampu memberikan solusi yang bagus. Keengganan Negara-negara maju (dalam Protokol Kyoto disebut dengan negara annex I) menekankan laju memakaian energi, diungkapkan dalam siasat moneter berupa perdagangan karbon yaitu Joint Implementation (JI), Emission Trading (ET), dan Clean Development Mechanism (CDM)[1].
CDM mewajibkan Negara berkembang untuk mencari proyek-proyek yang dapat mengurangi emisi karbon. Pengurangan emisi tersebut kemudian akan dibeli oleh Negara-negara maju. Dengan mekanisme seperti ini, sudah jelas terlihat bahwa negara-negara maju masih bebas menjalankan industri-industrinya yang boros energi. Padahal, justru di Negara-negara majulah yang mengkonsumsi energi paling banyak.
Saat ini banyak negara di dunia yang sudah mulai sadar dan khawatir akan krisis energi yang mengerikan ini. Sehingga tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh kecuali dua hal utama yaitu gerakan penghematan energi dan program penemuan sumber energi baru. Dua program besar inilah saat ini menjadi perhatian besar bagi beberapa Negara maju seperti Jepang, Amerika, Jerman dan lain-lain.
sebagai manusia yang bertanggung jawab, kita tidak serta merta menyalahkan pihak perusahaan yang mengkonsumsi energi yang besar. Kita pun mengkonsumsi energi seperti bensin, listrik, gas dll. Untuk menghemat energi dunia kita dapat memulainya dari diri kita sendiri. Dari hal yang kecil seperti mengurangi pemakaian bensin untuk kendaraan, maka kita dapat menghemat energi.
Pada awal tahun ini, dunia digemparkan dengan terjadinya bencana tsunami di jepang. Bukan hal aneh memang tsunami bagi jepang, yang menjadi masalah dunia adalah bocornya PLTN Fukushima. Hal ini yang menjadi masalah besar bagi Jepang bahkan bagi dunia. Karena radiasi nuklir sangat membahayakan bagi mahluk hidup apabila terpapar langsung.
Negara Jepang merupakan salah satu kekuatan ekonomi dunia, terutama di bidang industri. Perkembangan ekonomi Jepang yang cukup menakjubkan terutama juga didukung oleh sumberdaya energi. Sejak tahun 1970an, Jepang menikmati sumberdaya energi gas bumi terutama dalam bentuk LNG (Liquefied Natural Gas) dari Indonesia untuk mengembangkan industri negaranya. Selain itu, Jepang juga sudah mengembangkan nuklir sebagai pembangkit energi utama.
Terjadinya gempa dahsyat berskala 8.9 Richter di bagian timur Jepang menimbulkan kegemparan yang begitu dahsyat. Apalagi disertai oleh gelombang tsunami yang meluluhlantakkan daerah pesisir Timur pulau Honshu. Gempa dahsyat tersebut memang hanya menimbulkan sedikit kerusakan pada bangunan-bangunan di Jepang yang sudah didesain secara khusus untuk bertahan menghadapi gempa. Namun, gempa tersebut telah menimbulkan potensi kebocoran di Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima.
Sekarang ini, Jepang mengalami krisis energi terutama karena kekurangan suplai listrik karena tidak beroperasinya sejumlah PLTN yang seharusnya mampu menghasilkan 12 GW tenaga listrik. Diperkirakan ada 4 (empat) reaktor nuklir atau sekitar 4.7 GW yang kelihatannya tidak bisa dioperasikan lagi karena injeksi air laut yang bersifat korosif  untuk mencegah pemanasan reaktor. Selain itu, sebesar 7.7  GW tidak dapat beroperasi paling tidak selama setahun[2].
Ketakutan akan bahaya nuklir ini tidak hanya menyebabkan ditutupnya PLTN di Jepang, tetapi juga menimbulkan kepanikan di Amerika Serikat dan Eropa yang menutup sebagian PLTN-nya. Jerman sudah menutup 7 pembangkit tenaga nuklir karena ketakutan tersebut.
Dengan tidak beroperasinya Pusat Listrik Tenaga Nuklir di Jepang, maka negara itu sekarang harus bergantung kepada sumberdaya energi lain, seperti minyak dan gas bumi serta batubara. Hal ini memicu peningkatan permintaan sumberdaya migas dan batubara yang diperlukan oleh Jepang. Tak pelak lagi, harga gas bumi  terutama harga spot gas bumi di Eropa mengalami kenaikan tajam karena permintaan sumberdaya gas dari Jepang.
Kenaikan harga gas tersebut sebelumnya juga pernah terjadi di tahun 2007/2008 di mana Jepang meningkatkan impor LNG, sehingga harga gas mencapai $20/mmbtu. Kemungkinan besar, permintaan Jepang akan gas bumi akan terus meningkat selama 1-2 tahun mendatang dan akan memicu kenaikan harga gas dunia. Bahkan pihak Jepang pun sudah melakukan pendekatan kepada negara-negara produsen gas untuk membantu suplai gas ke Jepang. Indonesia pun sudah diminta oleh Jepang untuk meningkatkan suplai gas LNG untuk mengatasi krisis energi di Jepang. Kilang LNG Bontang di Kalimantan sudah mengindikasikan akan menawarkan 20 kargo LNG gas untuk membantu krisis energi Jepang[3].
Permintaan energi yang besar dari Jepang untuk menutupi kekurangan energi nuklirnya, tentunya sedikit banyak akan mempengaruhi harga gas dunia. Ditambah lagi dengan krisis yang muncul di Libia akan menimbulkan ketidakpastian ekonomi dunia dengan menurunnya produksi migas dari Libia, dan akan berpotensi meningkatkan harga minyak dan gas bumi karena Libia merupakan salah satu negara produsen migas yang cukup besar. Padahal harga minyak dunia sekarang sedang merangkak naik dan menembus batas psikologis $100/barel. Karena pengaruh krisis energi Jepang, konflik sekutu di Libia akan memicu lagi kenaikan harga minyak dengan potensi harga minyak sebear $150-200/barel dalam waktu beberapa bulan mendatang[4].
            Menurut penulis, krisis energi dapat dikategorikan sebagai ancaman bagi manusia dan ancaman bagi negara. Ketika energi seperti minyak bumi habis, maka akan terjadi penjajahan kontemporer terhadap negara yang memiliki cadangan minyak yang besar. Semisal, sebuah negara menyerang negara lain atas nama memberantas terorisme dunia tetapi dibalik penyerangan tersebut terdapat niat untuk mengeruk minyak bumi(AS-Iraq).
            Terdapat energi alternatif yang dapat menggantikan energi yang tak bisa diperbaharui yaitu:
Nano Tekhnologi
Taknologi nano merupakan salah satu terobosan penting dunia yang pada hakikatnya adalah eksplorasi dunia bawah selevel nano. Semboyan ini pertama kali tercetus oleh seorang ilmuwan bernama Richard Feynman yang terkenal dengan kata-katanya, "there is plenty room at the bottom".
Pengembangan teknologi nano selain bertujuan untuk mensukseskan penghematan besar-besaran juga untuk usaha penemuan energi baru yang belum terpikirkan manusia sebelumnya. Teknologi nano salah satunya dapat mudah dipahami dengan istilah miniaturisasi teknologi. Kaitannya dengan hemat energi, teknologi ini sudah dengan mudah bisa menjawab bahwa dengan semakin kecil sebuah bahan dibuat semakin kecil pula konsumsi energi yang diperlukan.
Pengambangan teknologi nano kini telah diterapkan ke berbagai teknologi yang sudah tersedia, seperti teknologi IC (integrated circuit), semikonduktor, mesin-mesin atau bahkan industri berat dan otomotif. Salah satu keberhasilan teknologi nano dapat dirasakan pada miniaturiasi televisi. Pada awal munculnya TV masih berupa tabung yang sangat besar, kemudian sterlah ditemukan teknologi CRT (cathode ray tube) dimensinya berubah drastis menjadi cukup kecil, setelah itu ketika teknologi layar plasma mulai ditemukan, tabung televisi yang biasanya berada di bagian belakang TV bisa direduksi dan ukurannya pun kian kecil dan ramping[5].
Akhir-akhir ini teknologi layar organik juga telah berhasil ditemukan walaupun belum diproduksi secara massal tetapi layar TV yang tebalnya kurang lebih setebal plastik telah berhasil ditemukan dan siap dinikmati beberapa waktu ke depan. Terobosan luar biasa ini diprediksikan akan menjadi salah satu solusi permasalahan krisis energi dunia. Penelitian-penelitian di bidang nano memang masih terpusat di beberapa negara-negara maju seperti Jepang, Amerika, Jerman, Spanyol, dan juga Turki.

Tekhnologi Nuklir
Nuklir  merupakan  istilah  yang  berhubungan  dengan  inti  atom  yang  tersusun  atas  dua buah  partikel  fundamental,  yaitu  proton  dan  neutron.  Di  dalam  inti  atom  terdapat  tiga buah  interaksi  fundamental  yang  berperan  penting,  yaitu  gaya  nuklir  kuat  dan  gaya elektromagnetik  serta pada  jangka waktu  yang panjang terdapat  gaya nuklir  lemah.  Gaya nuklir  kuat  merupakan interaksi antara partikel quark  dan  gluon  yang dibahas dalam teori quantum  chromodynamics  (QCD)  sedangkan  gaya  nuklir  lemah  adalah  interaksi  yang terjadi  dalam  skala  inti  atom  seperti  peluruhan  beta  yang  dibahas  dalam  elecroweak theory.2
Energi  nuklir  dihasilkan  di  dalam  inti  atom  melalui  dua  buah  jenis  reaksi  nuklir,  yaitu reaksi fusi dan reaksi fisi. Reaksi fusi adalah suatu reaksi yang  menggabungkan beberapa partikel  atomik  menjadi  sebuah  partikel  atomik  yang  lebih  berat.  Reaksi  fusi  dapat menghasilkan  energi  yang  sangat  besar  seperti  yang  terjadi  pada  bintang.  Salah  satu reaksi contoh reaksi fusi adalah  penggabungan partikel  deuterium (D  atau 2H)  dan  tritium (T  atau  3H)  (Gambar  1.a).  Langkah  pertama,  deuterium  dan  tritium  dipercepat  dengan arah  yang  saling  mendekati  pada  suhu  termonuklir.  Penggabungan  antara  dua  buah partikel  tersebut  membentuk  helium-5  (5He)  yang  tidak  stabil  sehingga  mengakibatkan peluruhan.  Dalam  proses  peluruhan  ini,  sebuah  neutron  dan  partikel  helium-4  (4He) terhambur  disertai  dengan  energi  yang  sangat  besar,  yaitu  14,1  MeV  untuk penghamburan  neutron  dan  3,5  MeV  untuk  penghamburan  helium-4.  Sampai  saat  ini, reaksi  fusi  belum  dapat  dirancang  oleh  manusia  karena  membutuhkan  suhu  yang  sangat tinggi. Hal ini  menyebabkan pemanfaatan reaksi fusi sebagai sumber energi listrik belum dapat direalisasikan[6].




















Global Politics of Power: Justice and Death for IR

Kopas Link

https://sites.google.com/site/defensediplomacyblogspotcom/download/Anderson%2C%20P%20J%202005%20The%20global%20politics%20of%20power%2C%20justice%26death-An%20introduction%20to%20IR.pdf?attredirects=0&d=1

Feminist Methodology for International Relation

Kopas Link

https://sites.google.com/site/defensediplomacyblogspotcom/download/Ackerly%2C%20B%20A%202006%20Feminist%20Methodologies%20for%20IR.pdf?attredirects=0&d=1

International Relations Theory; A critical Introductions 3rd Edition

Kopas Link

https://sites.google.com/site/defensediplomacyblogspotcom/download/International%20Relations%20Theory%20A%20Critical%20Introduction%203rd%20Edition.pdf?attredirects=0&d=1

International Relations Theory in the 21th Century

Kopas Link

https://sites.google.com/site/defensediplomacyblogspotcom/download/International%20Relations%20Theory%20in%20the%2021%20century.pdf?attredirects=0&d=1

International Relations; A very Short Introduction

Kopas Link

https://sites.google.com/site/defensediplomacyblogspotcom/download/Handbook%20of%20International%20Relations.pdf?attredirects=0&d=1

International Relations: Key Concept

Copas Link

https://sites.google.com/site/defensediplomacyblogspotcom/download/Handbook%20of%20International%20Relations.pdf?attredirects=0&d=1

International Theory and Beyond by Ricahrd Asley

Copas Link

https://sites.google.com/site/defensediplomacyblogspotcom/download/Handbook%20of%20International%20Relations.pdf?attredirects=0&d=1

Handsbook of International Relations

Copas Link nya

https://sites.google.com/site/defensediplomacyblogspotcom/download/Handbook%20of%20International%20Relations.pdf?attredirects=0&d=1

Tiga Faktor yang Menentukan Terciptanya Sebuah Kerjasama antar Negara

Dalam kajian ilmu hubungan internasional, kata kerjasama seringkali digunakan untuk sebuah interaksi antara dua negara atau lebih guna mencapai sesuatu dengan mengusahakannya secara bersama-sama. Kerjasama antar negara akan terjadi apabila kerjasama itu menghasilkan keuntungan bagi negara yang terlibat. Setiap negara memiliki kepentingan nasional masing-masing yang perlu diperjuangkan demi melanjutkan kehidupannya. Akan tetapi, tidak semua kepentingan nasional negara dapat terpenuhi dengan maksimal apabila negara bertindak individu. Oleh karena itu, kerjasama internasional menawarkan sesuatu yang lebih menguntungkan bagi negara.
Pemikir seperti Grotius, Pufendorf, Hobbes dan Smith berpendapat bahwa seseorang atau negara membutuhkan pihak lain untuk mendapatkan kepentingan atau tujuannya, maka oleh karena itu, negara terpaksa harus bergabung dan membentuk sebuah komunitas internasional atau organisasi internasional (Lebow, 2007:309).
Kalangan Liberalis menayatakan bahwa kerjasama merupakan salah satu aspek terpenting yang harus dilakukan oleh negara dalam pemenuhan kepentingan nasional. Dengan terbentuknya kerjasama, maka akan tercipta kedamaian di dunia (Jackson dan Sorensen, 2013:42). Sedangkan bagi kaum Realis, mereka mengakui bahwa kerjasama merupakan interaksi yang mungkin akan dilakukan oleh sebuah negara. Akan tetapi, negara tetap harus memaksimalkan keuntungan dalam sebuah kerjasama dengan negara lain. Negara tetap harus berkompetisi dalam sebuah kerjasama tersebut (Jackson dan Sorensen, 2013:49).
Kerjasama internasional merupakan pilihan lain yang dimanfaatkan oleh negara untuk menyelesaikan atau mencapai kepentingan nasional yang tidak bisa dicapai apabila dilakukan oleh satu negara. Kerjasama internasional dapat memecahkan berbagai masalah seperti masalah ekonomi, politik, sosial, kemiskinan, kesehatan, pendidikan, pengungsi dan lain-lain. Dalam dunia internasional, dikenal adanya Organisasi Internasional dan Rezim Internasional seperti PBB, UNHCR, UNICEF, IOM, APEC, OPEC, G20 dan lain-lain.
Organisasi Internasional merupakan kelanjutan komitmen kerjasama internasional yang dibentuk oleh negara. Negara membentuk sebuah kerjasama internasional yang kemudian diformalkan menjadi sebuah Organisasi Internasional. Saat ini, Organisasi Internasional dapat dikategorikan sebagai aktor non negara yang memiliki pengaruh dan peran penting dalam memecahkan permasalah di dunia ini.
Keohane (1989) dalam bukunya yang berjudul “International Intistutions and State Power” menjelaskan bahwa kerjasama internasional yang dibangun oleh negara akan membentuk sebuah institusi. Institusi merupakan aktor non negara yang memiliki peran sebagai wadah bagi negara-negara untuk bekerjasama.
Kerjasama dibagi menjadi dua yaitu kerjasama bilateral dan kerjasama multilateral. Kerjasama bilateral merupakan kerjasama antara dua negara dalam berbagai bidang seperti sosial, politik, budaya, ekonomi, militer dan lain-lain. Sedangkan kerjasama multilateral merupakan kerjasama yang dibangun oleh lebih dari dua negara, biasanya kerjasama multilateral ini akan dilanjutkan dengan pembentukan sebuah institusi.
                Setelah menjelaskan secara singkat mengenai definisi singkat kerjasama, maka dilanjutkan pada pertanyaan dalam paper ini yang harus dijawab yaitu kondisi atau faktor yang mempengaruhi kerjasama yang meliputi tiga komponen diantaranya, mutuality of interest, shadow of the future, dan numbers of player. Fokusnya, bagaimana ketiga komponen tersebut mempengaruhi kerjasama.
            Setelah menelisik lebih dalam mengenai ketiga komponen tersebut, rupanya itu merupakan gagasan Robert Axelrod dan Robert Keohane dalam tulisannya yang berjudul Achieving Cooperation Under Anarchy: Strategies and Institutions. Hal menarik yang perlu digarisbawahi adalah kondisi anarki, ketika tidak ada kedaulatan atau kekuasaan di atas negara. Setiap negara berhak untuk memutuskan dan menentukan nasib sendiri, tidak dapat diintervensi oleh negara lain. Walaupun pada praktiknya, hingga saat ini masih banyak negara berkembang di Asia dan negara terbelakang di Afrika yang masih disetir oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, China dan lain-lain.
            Axelrod dan Keohan berpendapat bahwa mencapai kata sepakat dan membentuk kerjasama dalam dunia internasional sangatlah sulit dan kompleks. Setiap negara memiliki kepentingan masing-masing yang patut diperjuangkan bahkan akan berbenturan dengan kepentingan negara lain. Malahan, akibat dari perbenturan kepentingan akan menciptakan konflik antar negara bahkan peperangan. Namun, pada abad 21 seperti sekarang ini, perang terbuka semakin dihindari oleh tiap negara, negara sekaliber Amerika Serikat pun mulai menyadari bahwa peperangan yang mereka lakukan di kawasan Timur Tengah hanya berdampak buruk pada keseimbangan ekonomi domestiknya.
            Pada dasarnya tidak ada kepentingan bersama pada setiap negara. walaupun sistem politik, ekonomi dan sosial memiliki kesamaan, negara berbeda pasti memiliki kepentingan yang berbeda pula. Namun, tidak berarti kerjasama tidak bisa dicapai. Yang perlu diperhatikan adalah komponen pertama yaitu mutuality of interest. Hal yang perlu dipahami oleh setiap negara adalah tidak adanya common interest, namun, perlu dipahami mengenai persepsi kepentingan itu sendiri bukan pada substansi yang menjadi kepentingan. Semisal yang bisa digambarkan pada Game Theory Prisoner Dilemma. Dalam keadaan terdesak, dua orang yang tertangkap diinterogasi secara berbeda tempat dan waktu. Dari dua keterangan tersebut, siapa yang berani bersikap kooperatif maka dia akan selamat. Apabila satu orang dari tahanan tersebut berbohong, dan temannya jujur, maka dua orang tersebut akan ditahan. Maka, jalan terbaik adalah, kedua tahanan tersebut harus bersikap kooperatif.
            Contoh kasus lain adalah pada kasus Misil Kuba. Amerika Serikat dan Uni Soviet dihadapkan pada pilihan perang nuklir terbuka atau sama-sama menurukan tensi dan menarik mundur pasukannya. Dalam kasus itu terlihat bahwa Uni Soviet memilih untuk bersikap kooperatif dan menarik misilnya dari Kuba. Sedangkan Amerika sebelumnya memilih melakukan blockade daripada melakukan serangan penuh ke Kuba. Itu menunjukan bahwa kepentingan dua negara tersebut sangatlah berbeda, akan tetapi terdapat mutuality of interest yang menyatukan mereka, yaitu menghindari perang terbuka yang menyebabkan kehancuran dua negara tersebut.
            Komponen selanjutnya adalah shadow of the future. Penjelasan mudah dari komponen ini ialah dengan adanya prospek yang baik mengenai masa depan, maka kerjasama akan lebih mudah dicapai. Maksudnya, dengan adanya kerjasama, makan negara-negara yang terlibat dalam kerjasama tersebut perlu memandang ke depan mengenai kepentingan masing-masing yang akan mudah dicapai apabila saling bekerjasama. Salah satu bukti nyata seperti Uni Eropa saat ini, kita tahu bahwa Jerman pada masa Hitler merupakan musuh bersama negara-negara Eropa pada saat itu. Namun, saat ini, dengan melupakan sejarah kelam perang dunia kedua, Jerman bersama negara Eropa lainnya bekerjasama dalam memajukan Uni Eropa.
            Terdapat tiga faktor mengapa shadow of the future dapat efektif dalam membangun kerjasama yaitu:
·         Long time horizon
·         Regularity of stakes
·         Reliability of information about the others actions
·         Quick feedback about changes in the others actions
Menurut Axelrod dan Keohane, dimensi shadow of the future berguna untuk membedakan antara isu militer dan isu politik ekonomi. Hal ini untuk menunjukan bahwa terdapat fenomena menarik mengapa kerjasama yang menyangkut isu politik ekonomi lebih mudah dicapai daripada isu keamanan internasional.
Komponen selanjutnya yaitu numbers of players. Dalam membentuk sebuah kerjasama, selain memperhatikan aspek kepentingan dan struktur kerjasama yang akan dibangun, negara juga perlu mempertimbangkan jumlah pemain yang tergabung dalam permainan kerjasama dan bagaimana mereka membangun hubungan yang terstruktur. Dalam sebuah kerjasama yang berbentuk seperti institusi atau organisasi internasional, terdapat berbagai macam sifat negara yang dapat mengganggu sistem dalam institusi tersebut.
Menurut Axelrod, untuk menstimulasi kerjasama yang melibatkan aktor negara yang memiliki kepentingan nasional masing-masing, terdapat tiga kondisi yang menjadi pertimbangan yaitu (1)players can identify the defectors,( 2)they are able to focus retaliation on defectors dan (3)they have sufficient longrun incentives to punish defectors. Pertama, para aktor yang terlibat dalam kerjasama perlu mengidentifikasi negara mana yang memiliki peluang sebagai pembelot dalam struktur kerjasama. Kedua, anggota kerjasama juga perlu fokus terhadap pembalasan dendam yang dilakukan oleh negara pembelot dalam struktur kerjasama. Terakhir, negara anggota kerjasama perlu memberikan hukuman terhadap negara pembelot kerjasama.
Masalah muncul ketika negara anggota kerjasama tidak mampu memberikan sanksi tegas terhadap negara pembelot dalam struktur kerjasama. Contoh kasus yang digambarkan oleh Axelrod dan Keohane adalah pemboman yang menimpa kedutaan besar Amerika Serikat di Lebanon pada tahun 1983. Amerika menuduh kelompok terroris Syria bertanggung jawab langsung terhadap aksi pemboman ini. Akan tetapi mereka menolak tuduhan tersebut, namun tuduhan dan kebencian terhadap Syiria sudah terlanjur berkembang. Sedangkan pihak teroris yang melakukan pemboman tersebut tidak tersentuh sama sekali dikarenakan negara tidak mampu mengidentifikasi siapa pelaku sebenarnya.


Reciprocity Sebagai Strategi Dalam Kerjasama
Setelah sebelumnya dijelaskan mengenai komponen dalam pembentukan kerjasama yaitu mutuality of interests, shadow of the future dan numbers of actors, maka selanjutnya akan dijelaskan mengenai strategi apa yang perlu dilakukan lebih lanjut oleh negara dalam membangun sebuah sistem struktur kerjasama yang saling menguntungkan dan berpotensi memenuhi kepentingan nasional.
Robert Axelrod menjelaskan mengenai sebuah strategi yang relevan diaplikasikan dalam bangunan kerjasama antar negara yaitu reciprocity as strategy in multilevel games. Dalam tulisannya bersama Keohane, Axelrod menyatakan bahwa startegi reciprocity mampu mempromosikan kerjasama antar negara, walaupun negara sebagai aktor rasional memiliki sifat egoistic.
Reciprocity apabila diartikan ke dalam Bahasa Indonesia berarti timbal-balik, pembalasan dan pertukaran (hak). Apabila dijelaskan dalam konteks pembahasan ini, reciprocity dapat diartikan sebagai strategi timbal balik. Contoh mudahnya, apabila negara saling bekerjasama dengan baik, maka dia akan mendapatkan insentif dari sifat kooperatifnya, namun apabila negara tersebut melanggar kententuan dalam kerjasama, maka dia akan mendapatkan penalty.
Strategi ini merupakan problem solver  yang dihadapi oleh struktur kerjasama yang berkaitan dengan number of actors yang terlibat. Dijelaskan pada bagian pertama bahwa seringkali sebuah institusi kerjasama mengalami kesulitan dalam memberikan sanksi bagi negara yang melanggar ketentuan. Hal ini berdasarkan fakta bahwa sistem internasional bersifat anarchy, tidak adanya kedaulatan di atas negara dan negara berhak melakukan apa saja berdasarkan kepentingan nasionalnya. Walaupun pada dasarnya, dalam sistem internasional yang terstruktur terdapat norma, kebiasaan, hukum dan rezim internasional yang secara eksplisit mengikat setiap gerak-gerik negara dalam dunia internasional.
Kunci keberhasilan dalam struktur kerjasama ialah adanya mutual of interest yang akan memuncul kan mutual cooperation antara negara. Walaupun benih-benih pelanggaran yang akan dilakukan oleh beberapa negara tetap berpotensi muncul. Namun, seringkali sanksi bagi negara yang melanggar ketentuan tidak bisa ditegakkan apabila berhadapan dengan negara besar seperti Amerika Serikat. Pada tahun 2003, ketika Amerika Serikat secara unilateral melakukan invasi langsung terhadap Irak. Padahal Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak merestui penyerangan tersebut. Secara hukum internasional, tindakan tersebut tentu saja melanggar dan secara struktur kerjasama, Amerika Serikat dapat dikategorikan tidak kooperatif.
Kata sepakat dalam kerjasama seringkali mengalami jalan buntu, kepentingan tiap negara yang berbeda-beda, sifat aktor rasional yang egois dan lain-lain. Asas timbal balik dapat dijadikan opsi bagi negara untuk mendapatkan kompensasi dalam struktur kerjasama. Contoh nyata yang akan dihadapi oleh ASEAN, yaitu ASEAN Community 2015. Sebuah sistem yang berlaku bagi seluruh anggota ASEAN berupa terbuka dan bebasnya lalu lintas barang dan jasa, keuangan, manusia di kawasan Asia Tenggara. Dalam asas timbal balik, Indonesia yang bebas melakukan perdagangan dengan negara lain tanpa pemberlakuan pajak cukai. Hal itu juga berlaku bagi segala barang dan jasa dari luar yang akan masuk ke Indonesia. Sanksi akan diberikan kepada negara yang melanggar ketentuan bersama ini, dapat berupa sanksi dikucilkan dari pergaulan internasional.
Dalam pergaulan internasional, negara akan memilih bekerjasama dengan negara yang memiliki sejarah kerjasama yang baik. Pada hakikatnya, dalam pembentukan kerjasama harus saling menguntungkan satu sama lain. Tidak ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Negara yang memiliki reputasi baik, maka akan mudah membangun kerjasama dengan negara lain. Confident Building Measures (CBM) merupakan aspek yang penting dalam pergaulan internasional saat ini. Tiap negara berlomba menciptakan kesan  kooperatif dalam setiap kesempatan. Seperti yang seringkali digaungkan oleh Indonesia, zero enemies, thousand friends. Meskipun pada konteks pertahanan, semboyan tersebut terkesan lemah dan terima apa adanya, namun tren masa kini, kerjasama lebih masuk akal daripada berkonflik. Dunia sudah terlalu sibuk dengan masalah ketahanan pangan, kesulitan air bersih, kelaparan, ebola, dan terorisme. Maka seharusnya, konflik antar negara sudah tidak masuk akal lagi dilakukan atas nama kepentingan nasional. Seperti yang dijelaskan pada bagian pertama, setiap negara perlu memahami arti mutuality of interest yaitu menjaga perdamaian dunia.


Kesimpulan
Dari penjelasan bagian pertama dan kedua, dapat disimpukan bahwa kerjasama merupakan tren pada pergaulan internasional saat ini. Setiap negara berusaha mengembangkan pasar ekonominya dengan mempromosikan kerjasama dengan negara lain. Kerjasama dapat dicapai apabila setiap negara dapat menyatukan perbedaan kepentingan nasionalnya. Memang benar negara bersifat egois bahkan licik demi kepentingan nasional, akan tetapi, negara tetap akan memperhitungkan setiap keuntungan lebih yang didapat apabila melakukan kerjasama dengan negara lain.
Asas timbal balik merupakan salah satu strategi untuk mempromosikan kerjasama. Negara yang bersikap kooperatif dalam sebuah institusi, maka akan mendapatkan insentif. Sedangkan negara yang bersifat pembelot, melanggar kententuan, maka sewajarnya mendapatkan sanksi, atau setidaknya dikucilkan dari pergaulan internasional.
Maka, kerjasama dalam situasi sistem internasional yang anarki, dapat terjadi dan sangat mungkin terjadi. Karena pada dasarnya, negara ingin survive dengan cari apapun dan bagaimanapun. Kerjasama dan konflik akan selalu menghiasi perjalanan sebuah negara, tegantung bagaimana negara tersebut menyikapi dan menghadapinya.
Lebow, Richard Ned. 2007. Coercion, Cooperation, and Ethics in International Relation. New York:Routlegde
Jackson dan Sorensen. 2013. Introduction to International Relation: Theories and Approaches. London: Oxford University Press
Axelrod R, Keohane RO 1985. Achieving cooperation under anarchy: Strategies and institutions. World Polit, 38(1): 226-254.


SECURITY ON GLOBAL GOVERNANCE CRIMEA KOMPETISI ANTAR AKTOR UNTUK MENGUASAI WILAYAH LAUT HITAM

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertentangan antara Blok Timur dan Blok Barak pada Perang Dingin sebenarnya sudah berakhir dengan ditandai runtuhnya Uni Soviet dan Amerika sebagai last man standing. Akan tetapi, benih-benih dendam masih terlihat ketika Rusia sebagai pewaris utama Uni Soviet tetap muncul sebagai anti-tesis Amerika Serikat.
Kompetisi Rusia dan Amerika Serikat melebar dalam perebutan power di kawasan Eropa. Negera Eropa Barat yang tergabung dalam North Atlantic Treaty Organization (NATO) hadir sebagai sekutu Amerika Serikat di wilayah Eropa. Sedangkan Rusia berusaha membangun kerjasama dengan negara-negara pecahan Uni Soviet. Masalah muncul ketika negara pecahan Uni Soviet lebih memilih untuk bergabung dengan NATO ketimbang dengan Rusia.
Kasus yang paling menunjukan kompetisi antara Amerika Serikat dengan Rusia saat ini adalah kasus Crimea. Crimea merupakan Republik Otonom Ukraina yang melakukan referendum pemisahan diri dari Ukraina. Ukraina yang telah tergabung dalam NATO dan lebih dekat dengan Eropa Barat dan Amerika Serikat membuat Rusia melakukan counter dengan mendukung kemerdekaan Crimea dari Ukraina (Tempo 2014).
Dalam memperjelas masalah ini, maka akan dibagi beberapa sub yang memperlihatkan siapa aktor yang terlibat, apa kepentingan dan perannya dan bagaimana negosiasi dan resolusi konflik yang dilakukan oleh antar aktor.
Aktor dan Kepentingan
Terdapat beberapa aktor yang terlibat dalam masalah ini, diantaranya Amerika Serikat, Rusia, NATO, Ukraina, dan Crimea.
Dalam masalah ini, Amerika Serikat merupakan salah satu anggota NATO. Keterlibatan Amerika Serikat dalam masalah ini untuk mendukung Ukraina mempertahankan Crimea. Selain itu juga, Amerika Serikat hadir sebagai balance of power terhadap Rusia yang mulai mengembangkan pakta Euresia Union dengan menggandeng negara-negara pecahan Uni Soviet.
Rusia merupakan aktor negara yang menjadi competitor abadi Amerika Serikat. Kehadiran Rusia dalam masalah ini untuk mendukung kemerdekaan Crimea. Selain itu juga, Rusia mulai mengembangkan sayap Euresia Union ke negara-negara pecahan Uni Soviet.
NATO merupakan sebuah kerjasama collective security yang dibangun oleh Amerika Serikat paska Perang Dunia II. NATO awalnya dibangun dengan tujuan mengcounter Pakta Warsawa buatan Uni Soviet kala itu. Namun, sejak Uni Soviet runtuh, NATO mulai melebarkan sayap dengan menggandeng negara-negara pecahan Uni Soviet seperti Ukraina.
Ukraina awalnya bagian dari Uni Soviet. Kemudian paska runtuhnya Uni Soviet, Ukraina mendeklarasikan diri sebagai negara berdaulat. Berjalannya waktu, Ukraina bergabung dengan Uni Eropa dan NATO. Akan tetapi, masih terdapat beberapa wilayah di Ukraina yang lebih memilih dekat dengan Rusia seperti Crimea.
Crimea merupakah salah satu dari wilayah Ukraina yang lebih memilih bergabung dengan Rusia. Penduduk Crimea 60% beretnis Rusia, sehingga tidak aneh mereka lebih memilih dekat dengan Rusia ketimbang Barat.
Kondisi Interaksi
Masalah Crimea saat ini bagaikan ladang pertempuran bagi kelompok yang pro-barat dan pro-Rusia. Ukraina terpecah menjadi dua, ketika Presiden Ukraina Viktor Yanukovych lebih condong ke Rusia. Sehingga terjadi penolakan besar-besar yang melengserkan Presiden Viktor. Situasi perebuatan kekuasaan di Ukraina sangatlah rumit, Amerika Serikat, NATO, Rusia, Uni Eropa bahkan tragedi jatuhnya Pesawat Malaysia Airlines menambah runyam siapa aktor yang bertanggung jawab dalam kecelakaan itu.
Dibawah ini akan digambarkan sebuah skema yang menunjukan hubungan antar aktor yang terlibat dalam konflik di Semenanjung Crimea tersebut.



KONDISI INTERAKSI ANTAR AKTOR
 









                                       Kerjasama
                                       Kompetisi
           Rumitnya interaksi antar aktor diatas menunjukan bahwa masalah Crimea mampu menjadi pemicu konfrontasi lama antara Amerika Serikat dan Rusia sebagai pewaris utama Uni Soviet. Bahkan bukan tidak mungkin, peperangan secara terbuka antara negara akan terjadi. Namun, tren saat ini, setiap negara menghindari hal itu, mereka menggunakan forum negosiasi di PBB atau Uni Eropa untuk saling menekan dan berargumentasi untuk menjatuhkan lawannya.
Terjadinya ketegangan di Crimea antara kepentingan Rusia dan pelanggaran kedaulatan Ukraina sampai kini masih dibicarakan. Meskipun sudah ada resolusi yang tidak mengikat dari PBB tentang masalah Crimea, namun Rusia tetap kokoh dalam pendiriannya ingin mendorong Crimea untuk merdeka dan nantinya dapat bekerjasama dengan Rusia. Ketegangan di Crimea tidaklah lepas dari beberapa faktor. Faktor utama yakni sejarah, Crimea pernah menjadi republik pada tahun 1917 setelah Revolusi Rusia, namun menjadi propinsi ketika perang dunia kedua berakhir. Dan pada tahun 1954, perdana menteri Uni Sovyet saat itu yaitu Nikita Kruschev menyerahkan Crimea menjadi bagian dari Ukraina yang pada saat itu masih menjadi bagian dari Uni Sovyet. Pada tahun 1991, Crimea menjadi wilayah otonom seiring dengan berdirinya Republik Ukraina.
Ukraina merupakan negara yang cukup besar dan terletak bersebelahan dengan Uni Eropa, sehingga menyebabkan ketertarikan Ukraina untuk bergabung dengan organisasi tersebut. Sebagai negara bekas Uni Sovyet, Ukraina pernah menjadi tempat penyimpanan hulu ledak nuklir, juga memiliki jumlah pasukan terbesar kedua setelah Rusia. Dengan kepemilikan senjata nuklir ini, maka pada tahun 1994, sesuai dengan perjanjian antara Rusia, Amerika Serikat dan Inggris, maka kedaulatan dan pengakuan diberikan secara penuh dengan imbal balik agar Ukraina menyerahkan senjata nuklir miliknya. Setelah hulu ledak senjata nuklirnya dilucuti dan diserahkan semua, Ukraina merasa khawatir akan keamanannya sendiri. Sesuai dengan teori Realis bahwa negara mempertimbangkan keamanannya sendiri (Rose, 1998, hal. 149), maka Ukraina meminta NATO untuk dapat memberikan bantuan jika ada invasi ke Crimea. Kesepakatan antara NATO dan Ukraina terjadi pada tahun 1997 yang menjamin bantuan akan diberikan jika Ukraina terancam.
Dengan kedaulatan yang dimiliki Ukraina, maka Ukraina bebas menentukan sikap dan kebijakan luar negerinya. Salah satu kebijakan Ukraina untuk mendekati NATO dan Uni Eropa, membuat Rusia merasa tidak aman. Sesuai dengan sejarah dan perang dingin, pihak barat merupakan musuh bebuyutan dari Rusia (Sovyet pada masa itu). Kekhawatiran itu juga memuncak akibat adanya pembagian kekuasaan operasional dengan Ukraina di Laut Hitam, yang berbatasan langsung dengan Crimea. Apabila NATO dapat masuk ke Laut Hitam lewat daerah Ukraina, maka kekayaan alam didalamnya akan tersedot dan dieksploitasi oleh pihak barat. Hal tersebut didukung pula oleh konflik politik Ukraina pada saat Parlemen Ukraina memecat Presiden Victor Yanukovych yang anti bergabung dengan Uni Eropa. Maka pada tanggal 26 Februari 2014, pasukan pro Rusia menduduki wilayah Crimea untuk mensukseskan pemisahan Crimea dari Ukraina, sehingga dapat tetap berada dalam pengaruh Rusia.
Rumusan Masalah
Tulisan ini fokus pada analisis mengenai isu perebutan kekuasaan di kawasan Crimea. Terdapat beberapa aktor yang ikut terlibat dalam isu ini seperti AS, NATO, Rusia, Ukraina. Posisi Crimea yang strategis bagi Rusia, menyebabkan Rusia bersikeras mendukung kemerdekaan Crimea dari Ukraina. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas sejauh mana arti penting Crimea bagi kubu AS, NATO, serta Ukraina dan bagi kubu Rusia.



BAB II
KERANGKA TEORI
Realisme Klasik
Bagi kaum Realis Klasik, negara adalah aktor utama dalam hubungan internasional yang memiliki sistem internasional yang anarki. Oleh karena itu, Realisme mengkaji fenomena-fenomena yang berkaitan langsung dengan negara  sebagai aktor utamanya. Dalam politik internasional, negara harus bersaing dan berjuang untuk mendapatkan kepentingan nasionalnya berupa power. Power dalam arti konkret bisa berupa ekonomi, militer, dan dalam arti abstrak adalah kemampuan negara untuk mendominasi negara lainnya (Trevor C. Salmon, 2008)
Dengan menggunakan power maka negara bisa memenuhi seluruh kepentingan nasionalnya yang tak bisa diakomodasi oleh domestiknya. Bagi Macchiavelli, dengan adanya power maka sebuah negara dapat menjaga keamanan nasionalnya bahkan dengan menyerang negara lain bisa dijadikan justifikasi sebagai usaha survive dalam dunia internasional (Griffiths, 2007). Bapak Realisme Klasik, Hans Morghentau menyatakan bahwa negara mengejar kepentingan nasional yang berupa power karena didasarkan atas human nature. Bagi kalangan realis, human nature ini digambarkan dimana keadaan sebelum terbentuknya negara, yaitu masih berbentuk individu yang berlomba-lomba untuk saling mengalahkan sehingga terjadi konflik antar kelompok (Griffiths, 2007).
Global Governance
Global governance merupakan konsep yang baru dalam kajian hubungan internasional pada awal tahun 1990an (Sugiono, 2004). Pertama kali terminologi global governance diperkenalkan oleh Rosenau dan Czempiel dalam tulisannya berjudul Governance without Government (1992). Konsep global governance menjadi kabur dan semakin luas. Para ahli hubungan internasional seringkali berbeda pendapat mengenai arti dari konsep itu sendiri.
Global governance merupakan tatanan politik yang berkembang sebagai respon terhadap globalisasi, atau lebih khusus lagi merupakan mekanisme atau sarana institusional bagi kerjasama sebagai aktor negara ataupun bukan negara sebagai konsekuensi munculnya globalisasi (Messner dalam Sugiono, 2004).

Stimulus Respon
Teori Stimulus Respon merupakan sebuah skema yang dilakukan oleh individu atau non individu untuk merespon tindakan yang muncul dari luar. Menurut Fogus (1966) persepsi adalah pelibatan seluruh indra seseorang dalam mencari sebuah informasi. Bower (1989) juga mengatakan bahwa persepsi berkaitan dengan seluruh proses yang berkenaan dengan rangsangan eksternal terhadap perilaku organism.

TEORI STIMULUS RESPON
Melalui Teori Stimulus Respon, kita bisa melihat tindakan yang dilakukan oleh Rusia dengan membantu dan mendukung Crimea sebagai negara berdaulat merupakan respon atas kebijakan Ukraina yang cenderung akan beraliansi dengan NATO. Oleh karena itu, Rusia beranggapan bahwa dengan bergabungnya Ukraina ke NATO, akan berdampak buruk bagi kepentingan Rusia terhadap jalur lalu lintas di Laut Hitam. Karena berdasarkan Geopolitik, Crimea merupakan wilayah penting yang harus dipertahankan dominasinya oleh Rusia sebagai jalur lalu lintas armada perang Laut Hitam milik Rusia.
Security Studies
Security atau dalam bahasa berarti keamanan merupakan salah satu kajian utama dalam kajian Hubungan Internasional. Security dalam artian sederhana ialah aman dari rasa sakit atau ancaman orang lain. Jika dikaitkan dalam hubungan antar negara, security adalah keadaan atau kondisi aktor yang merasa aman dari ancaman aktor lain (Griffiths, 2008:293).
Kaum Realis beranggapan bahwa aktor utama dalam hubungan internasional adalah aktor negara. Negara yang memiliki sifat rasional akan melindungi setiap kepentingan termasuk kedaulatan negara. Oleh karena itu, negara akan selalu memaksimalkan atau mencari power sebesar-besarnya untuk memperkuat kapabilitasnya.
Dalam konteks makalah ini, isu keamanan bagi negara sangat kental terlihat. Tabrakan kepentingan antara dua kubu yaitu kubu AS dan NATO melawan kepentingan Rusia di kawasan Laut Hitam. Perebutan pengaruh atas Ukraina terkait letak strategis Ukraina dan Crimea yang menjadi pintu bagi Armada laut Hitam Rusia.
  
BAB III
PEMBAHASAN
Permasalahan Crimea bukanlah masalah sederhana yang terjadi hanya dalam beberapa tahun terakhir. Namun permasalahannya sesuai dengan faktor sejarah yang terjadi sejak mulai Revolusi Rusia pada tahun 1917 dengan digulingkannya sistem pemerintahan Tsar, dan berdirinya sistem republik liberal (Wood, 2003). Selanjutnya beralih setelah perang dunia ke-2, dimana Rusia (Sovyet kala itu) berebut pengaruh di bagian Eropa Timur dengan pihak sekutu yang memiliki pengaruh di Eropa Barat. Hal ini memicu terjadinya perang dingin, dengan motornya adalah Amerika Serikat dibantu anggota NATO melawan Uni Sovyet. Pecahnya Uni Sovyet pada tahun 1991, tidaklah menghentikan perang dingin secara keseluruhan. Meskipun di permukaan tampak bahwa Rusia dan Amerika Serikat sudah berbaikan, namun dengan adanya kepentingan Nasional masing-masing, maka konflik kepentingan terus berlanjut.
Laut Hitam yang dulunya merupakan bagian dari kekuasaan Uni Sovyet, memiliki banyak kandungan gas bumi yang menjadi andalan Ukraina. Meskipun berada di wilayah Uni Sovyet, eksplorasi minyak bumi juga diadakan oleh perusahaan asing seperti Exxon Mobil, Royal Dutch Shell, ENI dan OMV (Gloystein, 2014). Dengan adanya pengembangan bagi perusahaan asing lainnya, maka perusahaan gas Rusia seperti Gazprom tidak dapat mengeksplorasi wilayah Laut Hitam. Faktor kepentingan inilah merupakan salah satu penyebab munculnya kepentingan Rusia untuk mengamankan jalur suplai dan produksi gas bumi.
Dengan potensi kekayaan dan ekonominya, negara-negara disekitar Laut Hitam membentuk suatu badan kerjasama ekonomi pada Juni 1992 yang dinamakan The Black Sea Economic Cooperation (BSEC) dan dilegalkan pada 1 Mei 1999, dimana anggotanya terdiri dari 6 negara yang berbatasan langsung dengan Laut Hitam (Bulgaria, Georgia, Romania, Russia, Turki dan Ukraina), dengan 5 negara tetangga (Albania, armenia, Azerbaijan, Yunani dan Moldova) serta negara lainnya seperti Makedonia, Serbia, Montenegro, Austria, Perancis, Jerman, Israel, Italia, Polandia, Slovakia, dan Tunisia (Mustafa, 2004). BSEC mempromosikan kerjasama perdagangan dan mempromosikan keamanan serta perdamaian bersama di Laut Hitam. Meskipun Rusia tergabung dalam organisasi ini, namun masih memiliki konflik dengan Ukraina tentang nasib dari Armada Laut Hitam eks-Uni Sovyet.
Dengan melihat penjelasan diatas maka beberapa aktor utama dalam krisis Crimea dapat disebutkan seperti Rusia dan Ukraina. Selanjutnya ada aktor lain yang berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan keamanan wilayah Eropa dan juga Ukraina yaitu adanya NATO yang didukung oleh Amerika Serikat. Juga adanya organisasi Uni Eropa yang berkepentingan dengan kelangsungan suplai sumber daya energi. Dan kerangka ekonomi lainnya yang terkena dampaknya adalah negara tetangga yang tergabung dalam BSEC. Melihat betapa rumitnya permasalahan ini, organisasi internasional yaitu PBB juga turut serta dalam menentukan arah kebijakan dan negosiasi antar pihak.
Kepentingan Rusia di Ukraina Berdasarkan Teori Stimulus Respon
Ukraina merupakan negara di Eropa bagian timur, yang berdekatan dan berbatasan langsung dengan Rusia. Dengan geopolitik seperti ini, maka kebijakan luar negeri Rusia mengadopsi beberapa pertimbangan (Golani, 2011). Pertama, Ukraina merupakan sabuk pengaman yang strategis bagi Rusia. Dengan geografinya, Ukraina berada di tengah-tengah antara pihak barat dan Rusia. Dengan pertimbangan ini maka Rusia harus memastikan kesetiaan Ukraina, terutama dengan munculnya rencana pengembangan NATO dan Uni Eropa ke bagian Eropa timur. Selanjutnya juga rute perdagangan ke arah pegunungan Balkan, Mediteranian dan wilayah Trans-Dniester juga melalui Ukraina. Hal yang strategis lainnya yaitu sebagai tempat armada Laut Hitam Rusia, yang bertempat di Sevastopol di wilayah Crimea. Kedua, posisi Ukraina secara geopolitis menguntungkan Rusia dalam bidang ekonomi. Ukraina memiliki lebih dari 50 juta penduduk yang merupakan pasar yang besar. Selanjutnya fakta yang ada yaitu distribusi energi berupa migas ke Eropa melalui pipa yang dibangun di wilayah Ukraina. Juga sebagian hasil minyaknya dikirimkan melalui terminal minyak di pelabuhan–pelabuhan Ukraina seperti di Odessa, Yuzhnyi dan Feodosiia. Sehingga kepenitngan Rusia untuk mengontrol infrastruktur dam rute transportasi di Ukraina menjadi salah satu tujuan kebijakan luar negeri Rusia. Lagipula, industri logam, pertanian, milter Ukraina serta kelistrikan bergantung sepenuhnya kepada Rusia. Ketiga, banyaknya populasi masyarakat Rusia dengan sentimen pro-Rusia menjadi salah satu pemicu keinginan Rusia untuk menyatukan kembali Ukraina.
Sebagai negara berdaulat, Ukraina menginginkan kebebasan bertindak dari apa yang diinginkan oleh Rusia. Setelah adanya perjanjian Budapest, maka Rusia dan Amerika menghormati integritas dan kedaulatan Ukraina sebagai negara yang merdeka. Sejak 1994, Ukraina mulai mencanangkan penggabungan ke Uni Eropa dan NATO. Hal ini tidak dianggap sebagai sebuah ancaman, sebab Rusia juga menyatakan aspirasinya untuk bergabung dalam Uni Eropa yang tersirat pada pidato Putin kepada Federal Assembly di tahun 2003. Namun sejak 2005, dengan adanya dialog yang intensif dengan Ukraina, maka Rusia menganggap hal ini merupakan ancaman yang serius. Maka Putin memberikan ancamannya pada pertemuan NATO tahun 2008, yaitu jika Ukraina bergabung dengan NATO, maka negara ini akan berhenti untuk hidup (Golani, 2011:45).
Pada saat Ukraina merdeka, armada laut hitam dinyatakan sebagai bagian dari tentara Ukraina, dan  mengklaim seluruh properti milik eks Uni Sovyet dan nuklirnya menjadi milik mereka. Dengan langkah seperti ini, maka Ukraina dihambat dan ditekan oleh Rusia dengan menggunakan ekonomi dan politik dengan mengeksploitasi ketergantungan akan suplai energi serta banyaknya komunitas Rusia di Ukraina. Dengan banyaknya hutang biaya atas pembelian gas, Rusia menawarkan pertukaran program. Setelah menjalani banyak hambatan dan tantangan dari dalam negeri, maka pada bulan Mei 1997, Rusia menyetujui penghapusan hutang Ukraina dengan pertukaran persetujuan Ukraina untuk mengkontrakan Sevastopol selama 20 tahun sebagai perjanjian kedua negara tentang armada Laut Hitam. Pada April 2010, Rusia melonggarkan kembali hutang Ukraina dengan perjanjian kontrak Sevastopol sampai tahun 2042 (Medetsky, 2010). Setelah adanya krisis Crimea, maka Rusia mengakhiri perjanjian tersebut pada 31 Maret 2014 (TASS, 2014).


BAB IV
KESIMPULAN
Wilayah Crimea merupakan wilayah strategis bagi NATO dan Rusia.Di sisi lain, laut hitam merupakan wilayah penting karena merupakan jalur utama menuju timur tengah dan negara-negara kawasan mediterania. Bagi Rusia, Krimea penting untuk memperkuat pengaruhnya ke negara pada wilayah-wilayah tersebut. Rusia juga telah memiliki pangkalan angkatan laut utama di kota Crimea bernama Sevastopol dimana Rusia menaruh Armada Laut Hitamnya, namun karena selama ini lokasi tersebut dimiliki oleh pemerintah Ukraina, pergerakan militer Rusia terbatas karena masih berstatus menyewa dan tentunya segala aktifitas militer Rusia harus dengan sepengetahuan pemilik wilayah tersebut, yaitu pemerintah Ukraina. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu motif mengapa Rusia ingin memiliki wilayah tersebut.
Secara garis besar, Ukraina juga memiliki keinginan yang sama dengan Rusia untuk mempertahankan wilayah Krimea. Ukraina sebagai negara berdaualat ingin melepaskan pengaruh dari Rusia yang sudah sejak lama bercokol di wilayah tersebut. Disisi lain strategisnya wilayah Krimea dan Laut Hitam tentunya dibutuhkan Ukraina untuk mempertahankan kepentingannya. Secara hukum, Crimea adalah bagian dari Ukraina. Hal tersebut tertuang dalam sebuah memorandum yang menyatakan bahwa Crimea adalah sebuah republik otonom di Ukraina(Abadi, 2014). Memorandum tersebut ditanda tangani juga oleh AS, Inggris dan Perancis pada tahun 1994. Inilah yang menjadi dasar klaim bagi Ukraina.
Bagi Amerika Serika membendung pengaruh Russia merupakan salah satu motif mengapa Crimea tidak boleh jatuh menjadi wilayah Rusia kembali. Selain karena merupakan musuh lama pada masa perang dingin, secara strategik wilayah Crimea perlu dipertahankan untuk melemahkan pengaruh Rusia masuk ke wilayah timur tengah, Asia, dan Afrika. Jika dilihat secara geopolitk, Rusia berbatasan dengan negara-negara seperti Polandia, Belaruss, dan Ukraina. Dimana Polandia lebih cenderung condong ke pengaruh AS dan Bellarus condong ke pengaruh Rusia. Dengan demikian, Ukraina menjadi negara kunci untuk melemahkan pengaruh Rusia ke wilayah timur tengah. Selain itu AS bersama NATO ingin memasang sistem persenjataan balistik untk mengamankan kepentingan NATO di Ukraina dan Polandia, namun hal ini ditentang Rusia karena menganggap hal tersebut merupakan tindakan AS untuk memperkuat pengaruhnya. Di sisi lain Uni Eropa juga tidak ingin Rusia kembali menjadi negara yang kuat seperti halnya Uni Soviet. Bagi Uni Eropa, bayangan masa lalu pada saat terjadinya perang dunia ke 2 tentunya menjadi pertimbangan kuat untuk meredam pengaruh Rusia. Namun Uni Eropa tidak bisa begitu saja berkonfrontasi dengan Rusia, karena Uni Eropa sendiri masih memiliki ketergantungan Gas dari Rusia. Selain itu, kekuatan militer Rusia yang kuat dapat menjadi ancaman bagi negara-negara Uni Eropa.


Bibliography


Gloystein, H. (2014, Maret 7). Ukraine's Black Sea gas ambitions seen at risk over Crimea. Retrieved November 15, 2014, from Reuters: http://www.reuters.com/article/2014/03/07/ukraine-crisis-gas-crimea-idUSL6N0M41R320140307
Golani, H. Y. (2011). Policy in the Commonwealth of Independent States: The Cases of Belarus and Ukraine. Jerusalem, Israel.
Griffiths, M. (2007). Internation Relation Theory for the Twenty First Century An Introduction. New York : Routlegde.
Medetsky, A. (2010, April 22). Deal Struck on Gas, Black Sea Fleet. Retrieved November 25, 2014, from The Moscow Times: http://www.themoscowtimes.com/business/article/deal-struck-on-gas-black-sea-fleet/404501.html
Mustafa, A. (2004). Europe's next shore: the Black Sea region after EU enlargement. Paris: L'Alenconnaise d'Impressions.
Rose, G. (1998). Review:Neoclassical Realism and Theories of Foreign Policy. World Politics , 51 (1), 144-172.
Sugiono, M. (2004). Global Governance Sebagai Agenda Penelitian Dalam Studi Hubungan Internasional. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik , 197.
TASS. (2014, Maret 31). State Duma approves denunciation of Russian-Ukrainian agreements on Black Sea Fleet. Retrieved November 25, 2014, from Tass-Russian News Agency: http://en.itar-tass.com/russia/725964
Trevor C. Salmon, M. F. (2008). Issues in Internatonal Relation 2nd. New York: Routlegde.
Wood, A. (2003). The Origins of the Russian Revolution, 1861-1917 (3rd Edition ed.). London: Routledge.